Haji Abd Halim Pardede

Haji Abd Halim Pardede
Senin, 30 Januari 2017

Gondang Batak Dalam Ritual Parmalim  

0 komentar


Jika ada yang bertanya, “Apa hubungan tulisan ini dengan topik acara “Peringatan 100 Tahun Gugurnya Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII?” Apalagi dikaitkan dengan tema “menginterpretasikan kembali nilai-nilai Batak dan Kebatakan” dalam konteks identitas saat ini dan mendatang? Satu-satunya pintu masuk untuk menjawab pertanyaan itu adalah bahwa warga Parmalim merupakan bagian penting dari sejarah kehidupan masyarakat Batak Toba itu sendiri. Lebih khusus lagi, mereka memiliki hubungan emosional-spiritual yang kuat dengan figur/tokoh Si Singamangaraja XII. Komunitas Parmalim, sebagai hal yang paradoksal, tampak sering teralienasi dari cerita sejarah itu sendiri. Apakah ini berhubungan dengan bagaimana teralienasinya sebagian besar warga masyarakat Batak Toba saat ini dengan akar budaya musikal—gondang—yang sudah barang tentu menjadi bagian dari formulasi identitas “Batak” dan “Kebatakan” itu sendiri?
Tulisan ini tidak akan membicarakan dinamika maupun problematika persoalan besar di atas. Tulisan ini lebih berupa ulasan umum mengenai gondang Batak, khususnya yang terdapat dalam ritual komunitas masyarakat Parmalim yang berpusat di desa Hutatinggi kecamatan Laguboti kabupaten Toba Samosir. Isi tulisan meliputi gambaran historis dari keberadaan komunitas Parmalim Batak Toba; makna gondang dalam konteks kehidupan masyarakat Batak Toba secara umum dan kehidupan masyarakat Parmalim secara khusus. Tulisan ini juga mengulas secara ringkas mengenai aspek performatif meliputi ensambel musik, repertoir musik dan praktik ritual-musikal yang terdapat di tengah komunitas warga Parmalim Hutatinggi.


Tentang Parmalim Hutatinggi
Parmalim merupakan kelompok komunitas masyarakat keagamaan lokal tradisional Batak Toba yang terdapat di provinsi Sumatera Utara. Parmalim Nasiakbagi adalah salah satu sekte ajaran yang secara organisatoris berpusat di desa Hutatinggi kecamatan Laguboti di Kabupaten Toba-Samosir. Secara historis, sekte Nasiakbagi, kadangkala disebut dengan parNasiakbagi (pemeluk ajaran Nasiakbagi), didirikan sekitar tahun 1870-1889 oleh Raja Mulia Naipospos, salah seorang pengikut dari Raja Si Singamangaraja XII. Pada waktu berdirinya aliran keagamaan ini, para pengikutnya telah mendapat tantangan berupa pelarangan oleh Rheins Mission Gessenschaft (institusi zending Kristen German yang datang dan sangat berpengaruh di wilayah tanah Batak pada masa itu) dan pelarangan tersebut mendapat dukungan dari pihak kolonial Belanda yang sedang berkuasa (lihat M. Hiroshue 1988).
Sejalan dengan melemahnya tekanan yang diberikan kepada pengikut Parmalim, pemerintah kolonial Belanda akhirnya memberi izin pada warga kepercayaan ini untuk dapat mendirikan rumah peribadatan (bale pasogit/bale partonggoan) bertempat di desa Hutatinggi. Sebelumnya, kolonial Belanda telah menghancurkan bale pasogit Parmalim di Bakkara ketika perang yang terjadi antara Raja Si Singamangaraja XII dan pengikutnya melawan kolonial Belanda di tahun 1883. Momentum perizinan ini dapat dilihat dari dikeluarkannya surat resmi dari Controleur Van Toba, Nomer: 1943/13 tertanggal 25 Juni 1921, sekaligus menandai aliran keagamaan Parmalim diakui secara legal oleh pemerintah Hindia Belanda. Sejak saat itu desa Hutatinggi secara formal menjadi pusat dari berbagai kegiatan kepercayaan Parmalim Nasiak Bagi. Momentum pendirian rumah ibadah ini sekaligus dijadikan oleh Raja Mulia Naipospos dan para pengikutnya menjadi tahun berdirinya Ugamo Malim. 
Keberadaan komunitas Parmalim Hutatinggi di masa pasca kemerdekaan Republik Indonesia tidak begitu mendapat perhatian, baik dalam dalam kehidupan sosial maupun spiritualnya. Secara administratif pemerintahan, warga komunitas Parmalim mulai mendapat pengakuan resmi di tahun 1980an dengan menempatkan bingkai spiritualitas kepercayaan yang mereka anut dalam kategori “aliran kepercayaan.” Hal ini mensyiratkan keberadaan mereka secara resmi telah diakui oleh negara. 
“UGAMO MALIM adalah agama Batak asli yang berkembang di tanah Batak di bawah pimpinan Raja Si Singamangaraja, di dalam upaya manusia menuju dan Menyembah Tuhan Mulajadi Na Bolon. … Setelah gugurnya Raja Si Singamangaraja pada tanggal 17 Juni 1907dan perjuangan mengusir penjajah, maka dengan perjuangan yang cukup berat dan penuh tantangan, setelah mendapat izin dari pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1921 penganut UGAMO MALIM di bawah pimpinan Raja Mulia Naipospos berhasil mendirikan Bale Pasogit di Hutatinggi sebagai pusat UGAMO MALIM hingga sekarang…” (dikutip dari Pelly, 1987:ix dalam “Hasil Penelitian Organisasi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Provinsi Sumatera Utara”).
Pola regenerasi kepemimpinan spiritual dalam ajaran Parmalim Hutatinggi dapat dilihat hubungannya dengan figur Raja Si Singamangaraja. Raja Si Singamangaraja XII, sebagai dinasti terakhir Raja Si Singamangaraja, meninggal pada tanggal 17 Juni 1907. Setelah wafatnya Raja Si Singamangaraja XII, kepeminpinan spiritual dilanjutkan oleh figur Raja Mulia Naipospos (sebagai generasi pertama pimpinan Parmalim Nasiakbagi Hutatinggi). Raja Mulia Naipospos meninggal dunia pada hari Senin, 16 April 1956 dalam usia 130 tahun, beliau diberi gelar Induk Bolon Parmalim. Setelah wafatnya Raja Mulia Naipospos, kepemimpinan spiritual ajaran Parmalim Hutatinggi beralih kepada anaknya, yaitu Raja Ungkap Naipospos. Raja Ungkap Naipospos merupakan generasi kedua, pimpinan Parmalim Nasiakbagi Hutatinggi selama periode tahun 1956-1981. Beliau meninggal pada hari Senin 16 Februari 1981 dalam usia 64 tahun. Setelah wafatnya Raja Ungkap Naipospos, beliau digantikan oleh anaknya Raja Marnangkok Naipospos (generasi ketiga), pimpinan Parmalim Nasiakbagi Hutatinggi sejak tahun 1981 hingga saat ini. 
Komunitas ritual dalam tradisi Parmalim Nasiakbagi terbagi atas beberapa sub kelompok yang disebut punguan. Masing-masing punguan dipimpin oleh seorang ulu punguan (pimpinan kelompok berdasarkan wilayah persebaran dimana masyarakat Parmalim berdomisili). Persebaran dari kelompok masyarakat kepercayaan Parmalim meliputi beberapa wilayah di Indonesia, seperti wilayah kabupaten Tapanuli Utara dan Toba-Samosir, kota Medan, Sidikalang, Batam, Pekanbaru, hingga sebagian di pulau Jawa, Kalimantan dan Irian Jaya. Para pengikut ajaran ini pada umumnya berkumpul di desa Hutatinggi sebagai pusat keagamaan, sedikitnya dua kali dalam setahun, pada waktu dimana upacara besar tahunan (perayaan Sipaha sada dan Sipaha lima) diselenggarakan.
Gondang: Kontekstualisasi Makna 
Di masyarakat Batak Toba kata “gondang” pada dasarnya memiliki pengertian yang beragam (multifacet meaning), tergantung pada situasi serta konteks apa dan bagaimana kata tersebut digunakan. Berbeda halnya dengan pendapat kebanyakan masyarakat di luarnya, gondang pada umumnya dimengerti sebagai “(ensambel) musik tradisi” atau “gendang”nya orang Batak Toba. Bagi orang Batak Toba, kata gondang dapat memiliki makna diantaranya adalah: 1) perangkat alat musik; 2) ensambel musik; 2) reportoar musik; 3) satu komposisi lagu (musical peice); 4) tempo lagu; 5) suatu upacara; atau 6) menunjukkan satu segmen tertentu dari kelompok kekerabatan yang sedang manortor (tarian sosial) pada sebuah upacara (Lihat Harahap, 1991). 
Gondang dalam pengertian perangkat alat musik misalnya dijumpai dalam penyebutan “gondang Batak;” gondang dalam konteks ini secara implisit mengandung makna sebagai “ensambel musik,” yakni spesifik untuk menyebut ensambel musik “Gondang Sabangunan,” atau juga dapat bermakna untuk menyebutkan set dari alat musik taganing, (set-gendang bernada/tuned drums) yang terdapat dalam ensambel Gondang Sabangunan. Penggunaan kata gondang dalam konteks penyebutan ensambel musik bisa ditemukan pada pengkategorian dua bentuk ensambel musik tradisi Batak Toba, yakni Gondang Sabangunan (Gondang Bolon) dan Gondang Hasapi; kata gondang pada konteks ke dua kata “sabangunan” dan “hasapi” bermakna “ensambel musik.” 
Kata gondang dalam pengertian reportoar musik dapat dijumpai penggunaannya, misalnya adalah gondang Hatutubu/Pangharoanan, gondang Tangiang/Doa, gondang Elek-elek/Lae-lae, dan gondang Somba. Gondang Hatutubu terdiri dari rangkaian 12 lagu gondang yang berbeda; gondang Tangiang terdiri dari rangkaian 10 lagu gondang yang berbeda; gondang Elek-elek, terdiri dari beberapa lagu gondang (lagu gondang Elek-elek Somba tu Debata; Elek-elek dan lainnya); gondang Somba juga terdiri dari beberapa lagu gondang, umumnya terkait dengan figur dari supranatrural dalam mitologi batak Toba. Kata gondang dalam pengertian komposisi lagu (musical peice) menunjukkan bahwa makna kata yang mengikuti setelah kata gondang biasanya menunjukkan nama dari sebuah komposisi musik gondang, misalnya gondang Haro-haro, gondang Raja na Opatpuluh Opat; Gondang Sibunga Jambu, dan lainnya. Kata gondang juga dapat mengandung pengertian menunjukkan tempo sebuah lagu. Misalnya dalam susunan kata gondang Didang-didang atau gondang Elek-elek, kata “didang-didang” dan kata “elek-elek” menunjukkan karakteristik dari tempo gondang tertentu. Atau suatu upacara; atau menunjukkan satu segmen tertentu dari kelompok kekerabatan yang sedang manortor (tarian sosial) pada sebuah upacara.
Gondang dalam Konteks Ritual Parmalim
Bagi masyarakat Parmalim Batak Toba, gondang tidak semata-mata dimaknai hanya sebatas ungkapan ekspresif estetik-musikal tradisi Batak Toba, lebih dari itu gondang merupakan “representasi simbolik” dari ungkapan penyampaian doa (tonggo) yang ditujukan bagi Sang Pencipta serta berbagai kekuatan supranatural yang mereka yakini. Di dalam konteks peribadatan Parmalim, hubungan antara gondang (“musik”) dan tonggo (“doa pujian”) merupakan dua hal yang saling berkaitan (intertwine). Dapat dikatakan bahwa, jika tonggo berupa manifestasi pujian dalam bentuk verbal-tekstual, gondang berupa manifestasi pujian dalam bentuk simbolik bunyi (sounds symbolic). Ekspresi dari penyampaian tonggo dan gondang di masyarakat Parmalim semata-mata hanya dilakukan dalam konteks ritual keagamaan.
Salah satu contoh tonggo yang ada dapat dilihat dari bagaimana bentuk pujian yang disampaikan kepada Ompunta Raja Uti, salah satu figur supranatural yang terdapat dalam kepercayaan Parmalim Hutatinggi.


Mauliate ma hudok hami tu sahala ni Raja na marsangap raja namartua, Patuan raja Uti. Uti na so ra mate, uti na so ra matua, sijalo hoda sombaon sipangidoon gabe na niulia, sipangidohon anak na marsangap dohot boru na martua. Hamu do Raja nami Raja na jumolo tubu, bungka ni harajaon na guminjang sian ahu, na umbuntul sian dolok, paruhum na sintong na so jadi juaon. Uhum Mi do Patuan Raja Uti, tinindangkon ni amani Raja Nasiakbagi ido na huingot hami saluhut ginomgom ni tondi ni amani Raja Nasiakbagi umbahen marluhut hami di Bale Pasogit Partonggoan na on, nang dohot dongan nami na tinggal di huta nang dohot pangarantoan di luat na leban. Sada haroroan do hami manombahon pelean puji-pujian di ari marsangap di ari martua on di Suma ni Anggara di bulan Si Paha Sada, ima ari hatutubu ni Tuhan Simarimbulubosi. Di son ma parningotan nami raja nami nang dohot di ari hatutubu marhite lapik ni tangan mandok mauliate somba puji-pujian nami tu Ho, ima, indahan na las, dengke na nilaean, pira ni ambalungan, manuk jarum bosi, hambing puti, na hualu-aluhon hami marhite parhinaloan on. ... 
Translasi: 
Terima kasih kami ucapkan kepada sahala Raja kami yang sakti, Raja yang bertuah, Patuan Raja Uti. Raja yang tidak pernah mati dan tua, tempat meminta berkat agar panen berlimpah, tempat meminta berkat agar diberikan keturunan. Engkaulah Raja kami yang lebih dahulu lahir, yang membuka kerajaan yang lebih tinggi, yang melahirkan keadilan. Hukum Patuan Raja Uti ditegakkan oleh Bapak kami Raja Nasiakbagi, oleh sebab itulah kami seluruhnya yang bernaung di bawah jiwa Raja Nasiakbagi berkumpul di Bale Pasogit Partonggoan, ikut para kerabat kami yang tinggal di desa dan yang diperantauan. Satu tujuan kami mempersembahkan sajian puji-pujian di hari yang agung dan mulia di Suma dan Anggara pada bulan Si Paha Sada, itulah hari kelahiran Tuhan kami, Tuhan Simarimbulubosi. Itulah hari peringatan kami maupun hari kelahiranMu dengan tangan berlipat mengucapkan terima kasih mempersembahkan puji-pujian kami kepadaMu, yaitu nasi putih, ikan, telur ayam dan kambing putih yang kami persembahkan dengan iringan bunyi puji-pujian. ...
Bentuk tonggo lainnya adalah pujian yang disampaikan kepada Raja Sisingamangaraja dapat dilihat sebagai berikut, 
Mauliate ma hudok nami to sahala ni Raja nami Sisingamangaraja, Singa na mangalompoi, Singa na so halompoan, sian Tano Bakkara, sian Bakkara julu, sian Bakkara jae, na mardindingkan dolok, marhori-horion ombun, parbale pandan parbale pasogit, bale paradatan, bale paruhuman, bale pamujion tu Ompunta Mulajadi Na Bolon, na manggontor tu ronggo tatarodo, hatian pamonaran, solup si opat bale, jual si onom solup, parmasan si sampula dua, ampang si duapuluh opat, jala hatian na so ra miling, tu ginjang na so ra miring, to toru so ra meleng. Ima patik harajaon jinalom Raja nami sian Ompunta Debata Mulajadi Na Bolon, na ni aturhonMu tu angka Raja Parbaringin, na marganuphon Bius, na marpusoran onan. Alai nunga suksang uhum harajaonMi Raja nami alai marsiulak do roha ni Ompung Mulajadi Na Bolon, dipangke ni tondiNa, ima Amanami Raja Nasiakbagi, Raja Tubu, Raja Sitao-tao, Patuan Raja Malim, parajar sioloan, parmeme sibondutan i. Uhum harajaon tinonahonMu dohot hamalimon ni Mulajadi Na Bolon na niugamahonNa, ima huingot hami ale Ompung di ari marsangap di ari martua on, di Suma ni Anggara di bulan Si Paha Sada ima Hatutubu ni Tuhanta, Tuhan Simarimbulubosi.

Translasi:
Terima kasih kami ucapkan kepada sahala Raja kami Sisingamangaraja, singa yang melampaui, singa yang tak terlampaui, dari tanah Bakkara, Bakkara utara dan di selatan, yang berdindingkan gunung, bertiraikan embun, yang memiliki balai pandan, balai pasogit, balai adat, balai hukum, balai persembahan kepada Tuhan Mulajadi Na bolon, yang penuh keadilan, permulaan ukuran ... ..., yang mempunyai hukum keadilan, ke atas tidak oleng,, ke bawah pun tidak oleng. Itulah hukum kerajaan yang Engkau terima dari Tuhan Mulajadi Na Bolon, yang Engkau haturkan kepada para raja-raja negeri (Parbaringin) di tiap Bius di semua penjuru kampung. Namun, hukum kerajaanMu itu telah porak poranda, namun karena kasih sayang Tuhan Mulajadi Na Bolon yang tak terbatas,, melalui roh suciNya, yaitu Bapak kami Raja Nasiakbagi, raja yang lahir, Raja yang maha mengetahui, Tuan Raja yang suci, pemberi ajaran yang harus dituruti, dan pemberi makanan kehidupan itu. Hukum kerajaan dan kuasa yang Engkau pesankan serta kesucian Mulajadi Na Bolon yang menjadi panutanNya dan sabdaNya, itulah yang kami ingat ya Tuhan pada hari yang mulia dan berbahagia ini, pada Suma dan Anggara bulan Si Paha Sada kelahiran Tuhan kita, Tuhan Simarimbulubosi.
Adapun figur-figur supranatural (supranatural deities) yang terdapat di dalam kepercayaan Parmalim Hutatinggi yang direpesentasikan lewat tonggo maupun gondang adalah Mulajadi Na Bolon, Debata Na Tolu (Batara Guru, Sori Sohaliapan, dan Bane Bulan), Si Boru Deak Parujar, Naga Padoha ni Aji, Si Boru Saneang Naga, Patuan Raja Uti, Si Marimbulubosi, Raja na Opatpuluh Opat, Si Singamangaraja, dan Raja Nasiakbagi. Masing-masing figur supranatural memiliki gondang yang sifatnya prerogatif. Kumpulan dari sepuluh gondang-gondang tersebut dikategorikan pada apa yang disebut dengan gondang tangiang (“doa”). 

Di luar gondang tangiang, terdapat pula ritual gondang penting lainnya yang disebut dengan gondang pangharoanan. Gondang pangharoanan merupakan rangkaian gondang-gondang yang terdiri dari duabelas gondang yang berbeda. Ke-duabelas gondang ini terdiri dari: Gondang Inanta ni Tuhan Simarimbulubosi; Gondang Hatutubu ni Tuhan Simarimbulubosi; Gondang Pangharoanan ni Tuhan Simarimbulubosi; Gondang Didang-didang ni Tuhan Simarimbulubosi; Gondang Hapososon ni Tuhan Simarimbulubosi; Gondang Sabda/Ulaonna ni Tuhan Simarimbulubosi; Gondang Habengeton ni Tuhan Simarimbulubosi; Gondang Panghongkoppon Ni Tuhan Simarimbulubosi; Gondang Hasiakbagion ni Tuhan Simarimbulubosi; Gondang Hamonangan ni Tuhan Simarimbulubosi; Gondang Parolop-olopan ni Tuhan Simarimbulubosi; dan Gondang Hasahatan-Sitio-tio ni Tuhan Simarimbulubosi. 
Ke dua belas gondang diatas pada dasarnya merupakan sebuah rangkaian kisah tentang kelahiran (hatutubu) Raja Simarimbulubosi , tokoh yang dianggap sebagai pembawa ajaran Parmalim. Adapun makna dari keduabelas gondang yang ada dapat dilihat berikut ini,
1) Gondang Inanta ni Tuhan Simarimbulubosi, yakni gondang pembuka dari duabelas gondang yang ada. Gondang ini ditujukan pada Ibunda yang melahirkan Simarimbulubosi serta mengisahkan tentang kemuliaan dari IbundaNya. Proses dari kelahiran Simarimbulubosi yang merupakan jelmaan dari Tuhan Debata Mulajadi Na Bolon melalui kuasa supranatural Debata Guru. 
2) Gondang Hatutubu ni Tuhan Simarimbulubosi, yakni gondang yang dibunyikan sebagai ungkapan simbolis menandakan saat lahirnya Simarimbulubosi. Debata Mulajadi Na Bolon, dengan kasih sayangNya, mengutus Simarimbulubosi untuk menyampaikan ajaraNya demi keselamatan manusia.
3) Gondang Pangharoanan ni Tuhan Simarimbulubosi, yakni gondang yang dibunyikan untuk menyambut lahirnya Simarimbulubosi, sekaligus ungkapan rasa kegembiraan umat Parmalim dalam menyambut kelahiran TuhanNya ke muka bumi.
4) Gondang Didang-didang ni Simarimbulubosi, yakni gondang yang mengisahkan rasa kasih sayang Ibu terhadap anaknya Simarimbulubosi pada saat masih dalam usia bayi, dalam gendongan Ibundanya. Gondang ini juga merupakan ungkapan dari usia anak dari Simarimbulubosi yang selalu dilindungi oleh Debata Mulajadi Na Bolon.
5) Gondang Haposoon ni Tuhan Simarimbulubosi, yakni gondang yang mengisahkan masa di saat Simarimbulubosi beranjak remaja/dewasa dan mulai bekerja menyebarkan ajaran, titah, dan hukum Tuhan kepada manusia, yakni menyampaikan tentang ajaran Hamalimon. Gondang ini juga mengandung kisah bagimana Simarimbulubosi mendapat cobaan dalam mengajarkan dan menjalankan kepercayaanya, yakni berupa penghinaan dari orang-orang yang memang hidupnya telah lari dari ajaran Tuhan. Manifestasi dari sikap pemuda Marimbulubosi yang berhati dan berfikiran bersih dan suci (marroha hamalimon), berprilaku baik dan suci (marpangalaho hamalimon), dan memiliki jasmaniah dan rohaniah yang suci (mardaging dohot martondi hamalimon) digambarkan lewat bunyi gondang ini.
6) Gondang Sabda/Ulaonna ni Tuhan Simarimbulubosi, yakni gondang yang meriwayatkan dan menggambarkan saat-saat Simarimbulubosi dalam mengajarkan dan menunaikan tugas keagamaannya.
7) Gondang Habengeton Ni Tuhan Simarimbulubosi, yakni gondang yang menggambarkan penderitaan dari Simarimbulubosi dalam menunaikan tugasnya. Penderitaan yang tak pernah dibalaskannya terhadap orang yang tidak menyukainnya. Gondang ini menyiratkan tentang bagaimana ujian tentang kesabaran dari kehidupan yang dialami oleh Simarimbulubosi dalam mengajarkan perintah dari Mulajadi Nabolon.
8) Gondang Panghongkoppon Ni Tuhan Simarimbulubosi, yakni gondang yang menggambarkan bagaimana Simarimbulubosi tetap melindungi manusia, walaupun dengan berbagai rintangan dari orang-orang sekelilingnya. Kasih sayang yang tak terhingga (parholong roha, parroha simulak-ulak) dari Simarimbulubosi malah berbuah pengharapan kepada Mulajadi Na Bolon agar manusia tetap dijaga (dihopol) dan dipelihara untuk tidak terjerumus ke dalam dosa.
9) Gondang Hasiakbagion ni Tuhan Simarimbulubosi, yakni gondang yang menggambarkan bagaimana Simarimbulubosi menderita karena ingin memeperjuangkan umatnya. Ia berpesan agar umatnya merasakan kepantangan dan arti dari kepahitan hidup. Karena, kepahitan adalah jalan untuk menuju dan mencapai kemuliaan selama-lamanya.
10) Gondang Hamonangan ni Tuhan Simarimbulubosi, yakni gondang yang menggambarkan kegembiraan Simarimbulubosi pada saat menang melawan iblis (sibolis) sebagai kekuatan yang jahat. Setelah itu ia berangkat, kembali kepada Mulajadi Na bolon, Sang Pencipta yang menyuruh dan mengutusnya.
11) Gondang Parolop-olopan ni Tuhan Simarimbulubosi, yakni gondang yang menggambarkan kegembiraan setiap umat yang turut merasakan kepahitan Simarimbulubosi. Kepahitan adalah pedoman hidup di dalam firman Tuhan, hukum Tuhan di dalam hamalimon.
12) Gondang Hasahatan-Sitio-tio ni Tuhan Simarimbulubosi, yakni gondang yang terakhir sebagai penutup. Gondang ini menggambarkan kemenangan iman dari umat Parmalim dan pengharapan pada Mulajadi Na Bolon atas berkat yang terus-menerus dariNya serta rezeki yang akan kehidupan yang berkecupan. 
Di luar kedua bentuk repertoir gondang seperti tersebut diatas, terdapat pula gondang-gondang lainnya yang penggunaannya tidak terikat pada rangkaian gondang tangiang maupun gondang pangharoanan, misalnya gondang Malim; gondang Siopat Pusoran; gondang Elek-elek (dengan beberapa varian komposisi musik yang berbeda), dan lainnya. 
Meskipun hubungan tonggo-tonggo dan gondang kelihatannya merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan, namun bagi masyarakat Batak Toba pengikut Parmalim kedudukan gondang dalam ekspresi spiritual mereka mendapat tempat yang sangat tinggi. Hal ini terungkap dalam filosofi dari ajaran yang mereka anut yang mengatakan bahwa “gondang merupakan jalan untuk menghubungkan antara manusia dan Penciptanya” (wawancara dengan alm. Osner Gutom, Juli 2002). Representasi tonggo-tonggo dan gondang dalam tradisi kepercayaan Parmalim umumnya dihadirkan dalam dua bentuk ritual kolektif keagamaan yang mereka lakukan, yakni pada perayaan Hatutubu Tuhan Simarimbulubosi Sipaha Sada, umumnya dilaksanakan pada bulan Maret setiap tahunnya; dan perayaan Pameleon Bolon Sipaha Lima yang dilaksanakan sekitar bulan Juli dalam setiap tahunnya. 
Aspek Performatif: 
Ensambel Musik, Repertoir Musik dan Praktik Ritual-Musikal
Terdapat dua jenis ensambel musik utama di dalam tradisi ritual Parmalim Hutatinggi, yaitu: gondang hasapi dan gondang sabangunan. Ensamble gondang hasapi digunakan pada saat upacara Hatutubu Tuhan Simarimbulubosi Sipaha Sada, sedangkan gondang sabangunan digunakan pada perayaan Pameleon Bolon Sipaha Lima. 
Ensambel musik gondang hasapi terdiri dari: sarune etek (klarinet kecil); hasapi ende dan hasapi doal (jenis alat petik dua senar); garantung (ksilofon bilah lima); dan hesek (alat perkusi metal, botol). Peangkat alat musik yang terdapat pada ensambel gondang sabangunan terdiri dari: sarune bolon (oboe); taganing (lima buah gendang rak bernada); gordang bolon (bas drum); odap (gendang kecil muka dua); ogung (set gong terdiri dari empat buah: oloan-ihutan, panggora dan doal); dan hesek (alat perkusi metal, botol). Pada umumnya, berbagai jenis repertoir lagu gondang yang ada dapat dimainkan pada kedua ensambel musik (shared reportoires).
Even ritual Sipaha Sada merupakan peringatan hari lahir utusan Tuhan Mulajadi Na Bolon, yakni Raja Si Marimbulubosi (Raja yang Penuh Penderitaan), sekaligus menjadi simbol kemenangan bagi warga Parmalim dalam meraih keimanan. Perayaan biasanya dilaksanakan di dalam bale partonggoan, rumah peribadatan Parmalim di desa Hutatinggi. Upacara dilangsungkan selama dua hari, diawali dengan ritual puasa pada hari pertama (mangan napaet), diikuti dengan ritual bersama pada hari kedua.
Even ritual Sipaha Lima merupakan upacara persembahan besar (pameleon bolon), di mana seluruh warga Parmalim Nasiak bagi dari berbagai penjuru tempat berkumpul di desa Hutatinggi sekali dalam setahunnya. Perayaan dilaksanakan di lapangan terbuka, tepat di halaman depan bale partonggoan di desa Hutatinggi. Upacara dilaksanakan selama tiga hari berturut-turut. Hari pertama (suma) berupa ritual parsahadatan (mohon pengampunan dosa). Pada hari ini warga Parmalim melaksanakan ritual “memohon pengampunan dosa” dari Debata Mulajadi Na Bolon, sekaligus memohon agar pelaksanaan ritual Pameleon Bolon yang akan diselenggarakan esok harinya mendapat berkat dariNya. Hari kedua merupakan inti dari ritual persembahan pameleon bolon, dimana hewan kurban disembelih diiringi dengan tarian ritual (tortor). Hari ketiga merupakan ritual penutup (manatti), dilaksanakan di dalam bale partonggoan. 
Disamping ke dua jenis upacara ritual komunal—Sipaha Sada dan Sipaha Lima—masyarakat Parmalim Hutatinggi juga memiliki beberapa ritual penting lainnya. Salah satu bentuk ritual yang juga sering diiringi dengan permainan ensambel musik, apakah dengan iringan ensambel gondang hasapi atau gondang sabangunan, adalah mardebata. Upacara mardebata dilakukan pada umumnya sebagai sarana ritual pembersihan diri dari kesalahan yang telah dilakukan maupun usaha untuk mendapatkan perolehan berkat dari Yang Maha Kuasa, umumnya lebih pada kebutuhan yang sifatnya personal (private ritual). 
Terdapat beberapa reportoir gondang yang inti di dalam ritual peribadatan Parmalim Hutatinggi. Dari keseluruhan repertoir gondang yang ada dapat dikelompokkan pada: gondang Alu-alu; gondang Tangiang (Doa); gondang Hatutubu/Pangharoanan; gondang Somba; gondang Pujian Tu Sahala; dan gondang Hasahatan Gondang Alu-alu merupakan rangkaian 3 buah gondang, yang dimainkan khusus dalam konteks penyampaian doa kepada Debata Mulajadi Na Bolon, Raja Na Opatpuluh Opat dan Raja Nasiak Bagi. Gondang Tangiang (Doa) merupakan rangkaian 10 komposisi gondang persembahan ditujukan untuk Debata Mulajadi Na bolon dan kekuatan supranatural lainnya. Gondang Hatutubu/Pangharoanan merupakan rangkaian 12 komposisi gondang untuk memperingati hari lahirnya Raja Si Marimbulubosi, utusan Debata Mulajadi Na Bolon yang membawa ajaran Parmalim ke tengah orang Batak. 
Pada permainan ensambel gondang sabangunan, gondang alu-alu (lit.: “pemberitahuan’), hanya dimainkan oleh alat musik taganing. Secara kompositoris, ketiga gondang memiliki persamaan pola melodis. Sedangkan pada esambel gondang hasapi repertoair gondang dimainkan oleh seluruh alat musik. Gondang alu-alu pada umumnya dimainkan sebagai pembuka (opening ritual ceremony). Dalam konteks pertunjukan ritual Parmalim, gondang alu-alu hanya spesifik diminta dan diperuntukkan bagi Debata Mulajadi Na Bolon, Raja Na Opatpuluh Opat, dan Raja Nasiak Bagi.
Repertoir gondang tangiang terdiri dari 10 komposisi gondang dimana masing-masing gondang memiliki komposisi lagunya tersendiri. Kekecualian terjadi untuk gondang Raja Simarimbulubosi—dengan komposisi gondang yang sama—juga disebut dengan gondang Haposoon Ni Tuhan Si Marimbulubosi. Demikian pula dengan komposisi gondang Siboru Deak Parujar, dalam konteks tertentu juga disebut dengan gondang Pangharoanan. 
Repertoir gondang Hatutubu/Pangharoanan terdiri dari 12 gondang yang masing-masing berbeda antara satu dan lainnya. Pada perayaan upacara Hatutubu Sipaha Sada, ke duabelas gondang yang ada biasanya dimainkan secara berurutan (fixed repertoire), terutama pada bagian awal pembuka kegiatan ritual, dimana raja ihutan (pimpinan upacara) memulai acara kegiatan ritual dimaksud. Namun, pereduksian jumlah gondang dalam repertoir dapat saja terjadi ketika aktifitas ritual beralih kepada kelompok punguan. 
Hal yang juga menjadi penting dalam hal aspek performatif ritual untuk dilihat adalah permintaan tonggo dan permainan gondang untuk rangkaian gondang dalam repertoir gondang tangiang dan repertoir gondang hasahatan. Jika dalam pelaksanaan permintaan tonggo dan permainan gondang pada gondang tangiang diawali oleh gondang Mulajadi Na Bolon (pertama) hingga gondang Raja Nasiak Bagi (kesepuluh) dan ditutup dengan gondang Hasahatan-Sitiotio; permainan gondang pada reperoir gondang Hasahatan (penutup) diawali dengan gondang Raja Nasiak Bagi dan diakhiri dengan gondang Mulajadi Nabolon, kemudian ditutup oleh gondang Hasahatan/Sitiotio.
Meskipun ensambel gondang hasapi dan gondang sabangunan pada dasarnya berbagi reportoir gondang yang sama, pada praktiknya ke dua jenis ensambel musik ini tidak pernah dimainkan dalam upacara ritual yang sama. Masing-masing ensambel musik pada dasarnya dimainkan secara terpisah. 
Satu bentuk kaidah etik musikal yang terdapat di dalam kebudayaan musik tradisional masyarakat Batak Toba, dimana dikatakan bahwa di dalam mengakhiri sebuah gondang “harus diselesaikan” dengan memainkan bagian awal motif atau frase dari gondang. Hampir dapat dikatakan, etika penyelesaian permainan gondang seperti ini sudah amat jarang dijumpai di berbagai konteks permainan gondang yang ada; hal yang menarik justru aturan seperti ini masih kita dapatkan dalam permainan ensambel musik yang terdapat di masyarakat Parmalim Batak Toba. 
Batas tipis antara nada-nada pasti (fixed melodic) dan nada-nada ornamentasi/variasi (ornamental melodic) di dalam permainan musik gondang, khususnya dalam tradisi musik Parmalim, juga menjadi satu hal yang sangat penting didiskusikan. Gondang tidak semata dimaknai sekedar sebagai ungkapan estetik musikal, lebih dari itu, gondang dianggap sebagai manifestasi “bunyi” dari “kata-kata (doa pujian).” Pandangan ini tampaknya terkait dengan satu pandangan filosofis tradisional Batak Toba, terutama dalam konsepsi bunyi alat musik pada ensambel gondang Sabangunan, yang berbunyi, “sarune marhata-hata, taganing marungut-ungut, ogung marhuolon” (lit.: sarune “berkata-kata,” taganing “bersungut-sungut,” ogung “bergema”). Ke tiga ungkapan makna bunyi metaforis ini pada dasarnya mengacu pada pandangan yang menganggap bahwa, “bunyi” sarune merupakan “media kata-kata” yang menjadi hal yang utama; metafor bunyi dari taganing “bersungut-sungut” menjelaskan sebuah persepsi musikal yang menganggap bahwa taganing dapat “mengikuti atau berjalan bersama “kata-kata” sarune; dan bunyi ogung yang “bergema” merupakan metafor dari harmoni bunyi yang mengambarkan “ruang suara” yang memenuhi diantara bangunan “kata-kata” itu. 
Pandangan filosofi seperti ini kemudian tertuang di dalam etika permainan, khususnya di dalam ensambel gondang Sabangunan, dimana dalam memainkan gondang-gondang tertentu, hanya sarune bolon yang hanya berperan memainkan melodi; sedangkan taganing, yang semestinya juga dapat bermain secara paralel mengikuti melodi sarune bolon, hanya memainkan pola-pola ritem dasar memberikan aksentuasi-aksentuasi ritmis diantara garis melodi yang dibentuk oleh permainan sarune bolon. Istilah untuk menunjukkan peran permainan taganing seperti ini disebut mangodap-odapi. Etika permainan seperti ini sudah sangat jarang ditemukan lagi. Kalau pun ada umumnya pola permainan mangodap-odapi dilakukan pada alat yang sama, yakni taganing atau kadangkala pada gordang bolon. Permainan mangodap-odapi yang dilakukan pada alat odap masih ditemukan pada komunitas musik ritual Parmalim Hutatinggi. 
Penutup
Peradaban sebuah masyarakat dapat diproyeksikan melalui sebuah kesadaran akan sejauhmana masyarakat tersebut mampu mengenal, memahami, memaknai akar dan perjalanan sejarah yang pernah terjadi di dalam kehidupannya. Begitu pula dengan peradaban musik sebagai bagian dari wujud dari membangun kebanggaan etnis (ethnic pride). Perayaan 100 tahun akan tokoh besar Raja Si Singamangaraja XII, sebagai ikon sejarah khususnya bagi masyarakat batak Toba, esok akan terlupakan, jika itu hanya menjadi sebuah seremonialitas. Tidak demikian halnya bagi warga Parmalim Hutatinggi. Nilai-nilai spiritualitas, sosial dan kebudayaan Batak yang diamanatkan (poda) oleh Raja Si Singamangaraja tetap dipelihara dan dijaga, tidak hanya melalui ritus keagamaan yang personal-komunal, akan tetapi melalui ritus sosial keseharian mereka. Peradaban musik gondang, yang menjadi ciri otentik dari identitas “Kebatakan” tetap terpelihara, bukan hanya untuk sebuah alasan sosial, terlebih lagi untuk sebuah alasan spiritual. 
“Batak” dan “Kebatakan” adalah sebuah tafsir jamak, yang kejamakannya akan memberi warna atas kekayaan peradaban Batak itu sendiri. Peradaban musik ritual Parmalim Hutatinggi hanya satu sisi dari kekayaan peradaban ekspresif musikal, tidak hanya bagi kebanggaan manusia Batak (Kebatakan?), tetapi juga bagi kebanggaan ilmu pengetahuan dan peradaban Batak itu sendiri. 
sumber:Irwansyah Harahap


Rabu, 23 November 2016

Berkabung di keluarga Namboru Na Roida br Pardede dengan Amang boru MA. Situmorang  

0 komentar

Senin, 23 September 2013

Masuknya Islam Ke Tapanuli Utara  

0 komentar

Masjid Jamik, Dusun Hopong, Kecamatan Simangumban, 
Kabupaten Taput, Sumut. Berkukuran 8 x 10 meter ,
 

Masuk dan Berkembangnya Islam di Tapanuli Utara
I.              Pendahuluan
Islam merupakan agama yang terbesar di Indonesia dan karena itulah mereka selalu banyak bertindak dan bahkan mau memberikan suatu keputusan di dalam Negara republik Indonesia. Perkembangan agama ini sangat pesat dan penyebaran yang dilakukan mereka untuk menyebarkan agama ini dengan cara perdagangan, perkawinan, dan juga pendekatan dengan petinggi-petinggi tiap daerah itu.
Penyebaran islam di Indonesia dengan menggunakan tiga teori yaitu teori Gujarat, Makkah dan juga Persia. Penyebaran islam ke Indonesia tersebut langsung diterima oleh masyarakat yang dimasuki oleh para pedagang yang dari Arab tersebut.
Masuknya islam ke daerah Tapanuli utara tersebut berawal dari perang Padri yang mana pada waktu itu Tuanku Rao merupakan orang yang sangat besar dalam penyebaran terhadap islam dan hal tersebut dilakukan karena rasa kebenciannya kepada Sisingamangaraja X dan akhirnya Raja Sisingamangaraja mati ditangan Jatengger Siregar . Ada juga yang mengatakan bahwa Penyebaran islam di Tapanuli Utara melalui daerah Aceh, Mandailing, Barus dan juga yang lainnya. Namun pergerakan islam di Tapanuli Utara tidak dapat berkembang pesat karena masyarakat yang tinggal di daerah Tapanuli Utara lebih tertarik dengan kekristenan yang di bawa oleh kolonial.
Untuk itu penulis sangat senang bisa menuliskan sejarah masuknya islam ke Tapanuli Utara dan dapat menambah pengetahuan dari Penulis. Namun di dalam tulisan ini penulis tidak banyak menemukan buku yang mendukung dan untuk  itulah penulis menyajikan tulisan dengan sumber dari internet dan juga dari pendapat dari orang yang tinggal di tapanuli.
II.            Isi
a.    Perjalanan Masuknya Islam ke Sumatera Utara
Tanah batak merupakan bagian penginjilan dari wilayah yang sekarang kita kenal dengan sumatera utara. Pada masa pemerintahan colonial Hidia-Belanda, yaitu pada tahun1898 (ada juga yang mencatat sejak tahun 1842), pemerintah H-B membentuk keresidenan Tapanuli (termasuk kawasan yang sebelumnya masuk ke propinsi sumatera west kust atau sumera bagian barat). Sebagian besar dari tanah batak yaitu Pakpak-Dairi, Samosir, Toba, Silindung, Pantai Barat (Sibolga dan sekitarnya), angkola,hingga mandailing masuk kedalam keresidenan ini. Sedangkan sebagian kecil, yaitu tanah karo dan simalungun masuk ke provinsi sumatera Oos Kust atau sumatera bagian timur. Yang menjadi perhatian dari  butir ini yaitu melihat pertemuan Kristen dan islam dikawasan tanah batak yang kemudian masuk keresidenan Tapanuli. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan bahwa sebelum masuknya Injil di tanah Batak, daerah ini sudah terlebih dahulu dimasuki Islam. Terutama beberapa bagian di utara (Karo), Timur (Simalungun), selatan (Mandailing dan Angkola) dan barat (Sibolga hingga Barus). Kehadiran islam ini diperkirakan sudah ada pada abad ke-16 hingga awal abad ke-19 menurut Lance Castles, namun pengaruh islam pada waktu itu sangat kecil.
Dalam hal ini perlu juga diperhatikan bagaimana cara masuknya islam ke Tanah Batak yaitu dengan interaksi dengan orang-orang sekitar, yaitu orang di daerah Karo dan Simalungun dan ini terjadi pada abad ke-13. Batak sudah masuk islam jauh sebelum tahun 1820, namun kepastian ini beluym jelas. Salah satu motif atau dasar orang batak masuk islam adalah ekonomi, karena pedagang atau orang yang berjualan pada waktu itu adalah orang muslim. Dengan adanya [ergaulan atau hubungan tersebutlah membuat mereka bergaul demi mendapatkan keuntungan.
Periode sebelum tahun 1800 Bangkitnya rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan Baab Ullah menentang Portugis disebabkan karena tindakan bangsa Portugis yang sudah melampaui batas. Terlebih lagi setelah kaki tangan bangsa Portugis menikam Sultan Hairun, ketika memasuki benteng untuk merayakan perjanjian perdamaian yang disepakatinya. Dengan tewasnya Sultan Hairun maka sejak tahun 1570 rakyat Ternate menghalangi aktivitas bangsa Portugis yang dijalankan dalam benteng. Tahun 1575 Sultan Baab Ullah menawarkan agar Portugis menyerah dan dijamin keselamatannya untuk meninggalkan Ternate. Di Ambon bangsa Portugis mendirikan benteng namun pada tahun 1605 Ambon direbut VOC. Portugis tergusur dan menetap di pulau Timor bagian timur sampai tahun 1976. Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Akibatnya, aktivitas perdagangan para pedagang Islam di Selat Malaka terhenti dan para pedagang Islam mencari jalan sendiri untuk menjalin hubungan dengan pedagang-pedagang Islam di sebelah barat Indonesia. Serangan Kerajaan Demak ke Malaka dipimpin oleh Dipati Unus (putera Raden Patah) merupakan bukti kecemasan terhadap Portugis. Armada Demak bersama-sama dengan Armada Aceh, Palembang, dan Bintan berusaha merebut kota Malaka. Namun dua kali serangannya yaitu tahun 1512 dan 1513 mengalami kegagalan. Ketika Malaka dikuasai Portugis, di Sumatera bagian utara berdiri Kerajaan Aceh dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Kerajaan Aceh mengirim pasukan untuk menyerang Portugis di Malaka, namun serangan itu mengalami kegagalan.
Masuknya agama Islam ke Sumatera Utara dan Timur, juga awalnya dibawa oleh pedagang-pedagang dari Gujarat dan Cina. Setelah kembalinya beberapa tokoh Islam dari Mazhab Hambali yang ingin menerapkan alirannya di Sumatera Barat, timbul pertentangan antara kaum adat dan kaum ulama, yang bereskalasi kepada konflik bersenjata. Karena tidak kuat melawan kaum ulama (Paderi), kaum adat meminta bantuan Belanda, yang tentu disambut dengan gembira. Maka pecahlah perang paderi yg berlangsung dari tahun 1816 sampai 1833. Selama berlangsungnya Perang Paderi, pasukan kaum Paderi bukan hanya berperang melawan kaum adat dan Belanda, melainkan juga menyerang Tanah Batak Selatan, Mandailing, tahun 1816 - 1820 dan kemudian megislamkan tanah batak selatan dengan kekerasan senjata, bahkan dibeberapa tempat dengan tindakan yg sangat kejam. Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen ke Tanah Batak, selain agama asli Batak yaitu Parmalim, seperti di hampir di seluruh Nusantara, agama yang berkembang di Sumatera Utara adalah agama Hindu dan Buddha. Sedangkan di Sumatera Barat pada abad 14 berkembang aliran Tantra Ä’aivite (Shaivite) Mahayana dari agama Buddha, dan hingga tahun 1581 Kerajaan Pagarruyung di Minangkabau masih beragama Hindu 
Agama Islam yang masuk ke Mandailing dinamakan oleh penduduk setempat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang dari Bonjol. Seperti juga di jawa timur dan banten rakyat setempat yg tidak mau masuk islam, menyingkir ke utara dan bahkan akibat agresi kaum paderi dari bonjol, tak sedikit yg melarikan diri sampai malaya. Penyerbuan Islam ke Mandailing berawal dari dendam keturunan marga Siregar terhadap dinasti Singamangaraja dan seorang anak hasil incest (hubungan seksual dalam satu keluarga) dari keluarga Singamangaraja X. Ketika bermukim di daerah Muara, di Danau Toba, Marga Siregar sering melakukan tindakan yang tidak disenangi oleh marga-marga lain, sehingga konflik bersenjatapun tidak dapat dihindari. Raja Oloan Sorba Dibanua, kakek moyang dari Dinasti Singamangaraja, memimpin penyerbuan terhadap pemukiman Marga Siregar di Muara. Setelah melihat kekuatan penyerbu yang jauh lebih besar, untuk menyelamatkan anak buah dan keluarganya, peminpin marga Siregar, Raja Porhas Siregar menantang Raja Oloan Sorba Dibanua untuk melakukan perang tanding -satu lawan satu- sesuai tradisi Batak. Menurut tradisi perang tanding Batak, rakyat yang pemimpinnya mati dalam pertarungan satu lawan satu tersebut, harus diperlakukan dengan hormat dan tidak dirampas harta bendanya serta dikawal menuju tempat yang mereka inginkan. Dalam perang tanding itu, Raja Porhas Siregar kalah dan tewas di tangan Raja Oloan Sorba Dibanua. Anak buah Raja Porhas ternyata tidak diperlakukan seperti tradisi perang tanding, melainkan diburu oleh anak buah Raja Oloan sehingga mereka terpaksa melarikan diri ke tebing-tebing yang tinggi di belakang Muara, meningggalkan keluarga dan harta benda. Mereka kemudian bermukim di dataran tinggi Humbang. Pemimpin Marga Siregar yang baru, Togar Natigor Siregar mengucapkan sumpah, yang diikuti oleh seluruh Marga Siregar yang mengikat untuk semua keturunan mereka, yaitu: Kembali ke Muara untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya. Dendam ini baru terbalas setelah 26 generasi, tepatnya tahun 1819, ketika Jatengger Siregar –yang datang bersama pasukan Paderi, di bawah pimpinan Pongkinangolngolan (Tuanko Rao)- memenggal kepala Singamangaraja X, keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, dalam penyerbuan ke Bakkara, ibu kota Dinasti Singamangaraja.
Perdaganganlah yang menyebabkan agama-agama berkembang terutama di Indonesia yaitu para kelompok pedagang mengambil rempah-rempah dan membawa ke negaranya. Pada saat itu juga banyak yangmendirikan kerajaan-kerajaan kecil misalnya Ternate di Maluku, Perlak Di Sumatera utara. Para pedagang mulai yang datang dari arab pada abad ke-13 mulai berdatangan ke Indonesia dan mereka menyebarkan agama mereka dan cara penyebaran yang mereka gunakan yaitu dengan cara menikah dan menetap di daerah tersebut.
b.    Kehidupan Tuanku Rao
Kehidupan dari Tuanku Rao di muat penulis di dalam tulisannya ini adalah untuk memberitahukan bahwa di dalam kehidupannya ada hubungan dengan masuknya islam ke Tapanuli Utara. Dengan demikian pengolahan tradisi lisan paling monumental tentang asal usul Tuanku Rao dalam historiografi tradisonal Batak adalah apa yang dilakukan Mangaradja Onggang Parlindungan (MOP). Monumental karena karya ini banyak dirujuk penulis-penulis Batak untuk mengukuhkan pembenaran tradisi lisan yang ada. Menurut MOP Si Pongkinangolngolan lahir dari hubungan incest antara putra dari Singa Mangaraja VIII yang bernama Gindoporang Sinambela dan Putri dari Singa Mangaraja IX yang bernama Putri Gana Sinambela. Oleh karena orang Batak tidak membolehkan kawin semarga maka Singa Mangaraja IX mengusir mereka agar tidak di hukum oleh khalayak ramai. Mereka berdua keluar dari Bakkara dan menuju Singkil lalu masuk Islam, dengan nama Muhammad Zainal Amiruddin Sinambela dan istrinya tetap pada kepercayaannya, sehingga mereka tidak dapat menikah secara Islam. Putri Gana Sinambela melahirkan seorang putra dan diberi nama Muhammad Fakih Amirudin Sinambela dan Putri Gana Sinambela menyebutnya “Pongki Na Ngolngolan” = “Fakih yang menunggu-nunggu”. Ketika Pongkinangolngolan datang ke Bakkara/Toba, ia menjadi anak mas dari Singa Mangarja X. 
Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh 3 orang Datu (tokoh spiritual) yang dipimpin oleh Datu Amantagor Manurung. Mereka meramalkan, bahwa Pongkinangolngolan suatu hari akan membunuh pamannya, Singamangaraja X. Oleh karena itu, Pongkinangolngolan harus dibunuh. Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati atas keponakan yang disayanginya. Namun dia memutuskan, bahwa Pongkinangolngolan tidak dipancung kepalanya, melainkan akan ditenggelamkan di Danau Toba. Dia diikat pada sebatang kayu dan badannya dibebani dengan batu-batu supaya tenggelam. Di tepi Danau Toba, Singamangaraja X pura-pura melakukan pemeriksaan terakhir, namun dengan menggunakan keris pusaka Gajah Dompak ia melonggarkan tali yang mengikat Pongkinangolngolan, sambil menyelipkan satu kantong kulit berisi mata uang perak ke balik pakaian Pongkinangolngola. Perbuatan ini tidak diketahui oleh para Datu, karena selain tertutup tubuhnya, juga tertutup tubuh Putri Gana Sinambela yang memeluk dan menangisi putra kesayangannya. Tubuh Pongkonangolngolan yang terikat kayu dibawa dengan rakit ke tengah Danau dan kemudian di buang ke air. Setelah berhasil melepaskan batu-batu dari tubuhnya, dengan berpegangan pada kayu Pongkinangolngolan berhasil mencapai sungai Asahan, di mana kemudian di dekat Narumonda, ia ditolong oleh seorang nelayan, Lintong Marpaung. Setelah bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok, Pongkinangolngolan memutuskan untuk pergi ke Minangkabau, karena selalu kuatir suatu hari akan dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak.
Pongkinangolngolan kemudian merantau ke Minangkabau, atas anjuran Tuanku Nan Rentjeh. Pongkinagolngolan di chitan sesuai dengan sarat-sarat chitan serta syahadat, pada tanggal 9 Rabiulawal 1219/H = 1804/M diislamkan dengan nama: “Umar Katab” dibalik menjadi “Umar Batak”. Pongkinangolngolan Sinambela alias Umar Katab menjadi General Officer Padry Army, dengan gelar Tuanku Rao. Oleh Padri Army Command Tuanku Rao diperintahkan tugas belajar ke Luar Negeri. Sementara itu satu versi lain tentang asal usul Tuanku Rao diungkapkan oleh Basyral dalam bukunya Greget Tuanku Rao (2007). Bagi Basyral Tuanku Rao bukan berasal dari Batak Utara tapi dari kawasan Batak Selatan. Menurutnya Tuanku Rao adalah orang Mandailing asli. Basyral mendasarkan argumennya dari sumber naskah Tuanku Imam Bonjol yang menyebut Tuanku Rao adalah Pakih Muhammad, ayahnya orang Huta Gadang (Hutanagodang di Mandailing Kecil) dan Ibunya orang Rao. 
Menarik untuk melihat keberadaan Pakih Muhammad sebagai Imam Besar Nagari Rao gelar Tuanku Rao. Ayah Tuanku Rao menurut sumber Basyral adalah orang Huta Gadang (Hutanagodang?) dan ibunya orang Rao sehingga Basyral membuat kesimpulan Tuanku Rao adalah orang Mandailing. Sayang sekali, dalam uraian asal-usul Tuanku Rao ini Basyral belum mengeksplorasi sumber-sumber Mandailing lainnya. Muhammad Said (1961) berdasar sumber yang dikutipnya meresepsi historiografi Batak tentang asal usul Tuanku Rao. Menurut Said Si Pokki Nangolngolan adalah “agresor” yang pernah datang ke tanah Batak untuk melaksanakan pengislaman. Tuanku Rao adalah Si Pokki Nangolngolan yang telah membunuh pamannya yaitu Ompu Tuan Na Bolon atau Singa Mangaraja X. Tetapi Said sangat menyayangkan sekali peristiwa penetrasi orang-orang Bonjol apalagi mengenai riwayat hidup Tuanku Rao tidak di dapat dalam sumber Padri atau sumber yang dipertahankan kenetralannya. Dalam hal ini Said memegang sumber yang lebih dianggap netral karena sumber yang diperoleh dari tangan pertama, dimana orang-orangnya masih berada dan turut serta dalam kejadian itu. Sumber tersebut ditulis oleh J.B. Neumann 1866 seorang Kontelir B.B yang menulis tentang “Studies ever Bataks en Batakschelanden” (hal 51) dan menyebut bahwa Tuanku Rao adalah berasal dari Padang Matinggi, tidak disebut bahwa Tuanku Rao berasal dari Toba. Neumann sendiri mengambil sumber karangannya dari Residen T.J Willer yang berada di Tapanuli tahun 1835. Tapi dengan menyatakan bahwa Tuanku Rao adalah si Pongki, maka sebenarnya Said lebih setuju kalau Tuanku Rao memang berasal dari tanah Batak, bukan sebagaimana disebut sumber-sumber Belanda.
Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadhan 1231 H (tahun 1816 M), dengan penyerbuan terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan oleh Marga Lubis. 5.000 orang dari pasukan berkuda ditambah 6.000 infanteri meluluhlantakkan benteng Muarasipongi, dan seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakan seorangpun. Kekejaman ini sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan penaklukkan. Setelah itu, satu persatu wilayah Mandailing ditaklukkan oleh pasukan Paderi, yang dipimpin oleh Tuanku Rao dan Tuanku Lelo, yang adalah putra-putra Batak sendiri. Selain kedua nama ini, ada sejumlah orang Batak yang telah masuk Islam, ikut pasukan Paderi menyerang Tanak Batak, yaitu Tuanku Tambusai (Harahap), Tuanku Sorik Marapin (Nasution), Tuanku Mandailing (Lubis), Tuanku Asahan (Mansur Marpaung), Tuanku Kotapinang (Alamsyah Dasopang), Tuanku Daulat (Harahap), Tuanku Patuan Soripada (Siregar), Tuanku Saman (Hutagalung), Tuanku Ali Sakti (Jatengger Siregar), Tuanku Junjungan (Tahir Daulay) dan Tuanku Marajo (Harahap).
Penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara, dilaksanakan tahun 1819. Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok dipimpin oleh Jatengger Siregar ikut dalam pasukan penyerang, guna memenuhi sumpah Togar Natigor Siregar dan membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, yaitu Singamangaraja X. Jatengger Siregar menantang Singamangaraja untuk melakukan perang tanding. Walaupun sudah berusia lanjut, namun Singamangaraja tak gentar dan menerima tantangan Jatengger Siregar yang masih muda. Duel dilakukan dengan menggunakan pedang di atasmkuda. Duel yang tak seimbang berlangsung tak lama. Singamangaraja kalah dan kepalanya dipenggal oleh pedang Jatengger Siregar. 
Tahun 1820 Tuanku Rao bermaksud menarik mundur seluruh
pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga rencana pengIslaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Namun Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya tetap di Tanah Batak, untuk menghadang masuknya tentara Belanda. Ketika keadaan bertambah parah, akhirnya Tuanku Rao melakukan pembangkangan terhadap perintah Tuanku Imam Bonjol, dan memerintahkan sisa pasukannya keluar dari Tanah Batak Utara dan kembali ke Selatan. Enam dari panglima pasukan Paderi asal Batak, yaitu Tuanku Mandailing, Tuanku Asahan, Tuanku Kotapinang, Tuanku Daulat, Tuanku Ali Sakti dan Tuanku Junjungan, tahun 1820 memberontak terhadap penindasan asing dari Bonjol/Minangkabau dan menanggalkan gelar Tuanku yang dipandang sebagai gelar Minangkabau. Bahkan Jatengger Siregar hanya menyandang gelar tersebut selama tiga hari. Mereka sangat marah atas perilaku pasukan Paderi yang merampok dan menguras Tanah Batak yang telah ditaklukkan. Namun hanya karena ingin balas dendam kepada Singamangaraja, Jatengger Siregar menahan diri sampai terlaksananya sumpah Togar Natigor Siregar dan ia behasil membunuh Singamangaraja X. Mansur Marpaung (Tuanku Asahan) dan Alamsyah Dasopang (Tuanku Kota Pinang) dengan tegas menyatakan tidak mau tunduk lagi kepada Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Nan Renceh, dan kemudian mendirikan kesultanan/kerajaan sendiri. Marpaung mendirikan Kesultanan Asahan dan mengangkat dirinya menjadi sultan, sedangkan Dasopang mendirikan Kerajaan Kotapinang, dan ia menjadi raja. Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air bangis pada 5 September 1821, sedangkan Tuanku Lelo (Idris Nasution) tewas dipenggal kepalanya dan kemudian tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti, salah satu tawanan yang dijadikan selirnya. 
c.     Alasan Masuknya Islam di tanah Batak
Menurut penulis, setidaknya ada dua alasan mengapa penyerbuan ke Tanah Batak tersebut dilakukan dengan kekerasan. Selain menyebarkan Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, penyerbuan itu juga dipicu oleh dendam keturunan marga Siregar terhadap Raja Oloan Sorba Dibanua, dinasti Singamangaraja, yang pernah mengusirnya dari Tanah Batak. Togar Natigor Siregar, pemimpin marga Siregar, pun sampai mengucapkan sumpah yang diikuti seluruh marga Siregar, akan kembali ke Batak untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya.
Agama Islam Mazhab Hambali yang masuk ke Mandailing dinamakan penduduk setempat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang dari Bonjol, meski dipimpin orang-orang Batak sendiri, seperti Pongkinangolngolan Sinambela (Tuanku Rao), Idris Nasution (Tuanku Nelo), dan Jatengger Siregar (Tuanku Ali Sakti). Dalam silsilah yang terlampir di buku ini, disebutkan bahwa Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap antara Gana Sinambela (putri Singamangaraja IX) dengan pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela (adik Singamangaraja IX). Gindoporang dan Singamangaraja IX adalah putra Singamangaraja VIII, sedangkan Gana Sinambela adalah kakak Singamangaraja X. Walaupun terlahir sebagai anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat mengasihi dan memanjakan keponakannya.
Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh tiga orang Datu (tokoh spiritual) yang dipimpin Datu Amantagor Manurung. Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati kepada keponakan yang disayanginya dengan menenggelamkandi Danau Toba. Tapi, bukannya mati tenggelam, Pongkinangolngolan terselamatkan arus hingga mencapai Sungai Asahan dan ditolong seorang nelayan bernama Lintong Marpaung. Setelah bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok, Pongkinangolngolan memutuskan pergi ke Minangkabau karena takut dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak. Di Minangkabau, pada 1804, Pongkinangolngolan diislamkan oleh Tuanku Nan Renceh, lalu dikirim ke Makkah dan Syria serta sempat mengikuti pendidikan kemiliteran pada pasukan kavaleri Janitsar Turki. Sekembalinya, pada 1815, Pongkinangolngolan diangkat menjadi perwira tentara Paderi dan mendapat gelar Tuanku Rao.
Ternyata Tuanku Nan Renceh menjalankan politik divide et impera seperti Belanda, yaitu menggunakan orang Batak untuk menyerang Tanah Batak. Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadan 1231 H (1816 M) terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan Marga Lubis. Muarasipongi berhasil diluluhlantakkan dan seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakan seorang pun. Kekejaman ini sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan penaklukan guna penyebaran agama Islam Mazhab Hambali. Setelah itu, penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara dilaksanakan 1819. Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok dipimpin Jatengger Siregar ikut dalam pasukan penyerang untuk memenuhi sumpah Togar Natigor Siregar dan membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, yaitu Singamangaraja X. Jatengger Siregar menantang Singamangaraja untuk melakukan perang tanding satu lawan satu. Singamangaraja kalah dan kepalanya dipenggal pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah dendam yang tersimpan selama 26 generasi.
Penyerbuan pasukan Paderi terhenti pada 1820, karena berjangkitnya penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara Paderi yang memasuki Tanah Batak pada 1818, hanya tersisa sekitar 30.000orang. Sebagian terbesar bukan tewas di medan pertempuran, melainkan mati karena berbagai penyakit. Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, pada 1820 Tuanku Rao bermaksud menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga rencana pengislaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Sementara itu, Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya tetap di Tanah Batak untuk menghadang masuknya tentara Belanda. Akhirnya, Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air Bangis pada 5 September 1821, sedangkan Tuanku Lelo tewas dipenggal kepalanya, sedangkan tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti, salah satu tawanan yang dijadikan selirnya.
d.    Adanya perbedaan Tapanuli Selatan dengan Tapanuli Utara yang menyebabkan Islam sulit berkembang di Tapanuli Utara
Berdasarkan disertasi Dr Lance Castles yang berjudul ”Tapanuli: Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera,” menurut Prof Pelly bisa menjelaskan mengapa terjadi perbedaan yang tajam antara masyarakat Taput dengan Tapsel. Dalam penelitiannya itu, sosiolog asal Belanda ini mengungkapkan, saat menduduki Tapanuli (1915–1942), Belanda menetapkan Taput sebagai daerah penyangga (penyekat) antara Aceh dan Minangkabau. Untuk menyekat kedua wilayah Islam ini, Belanda melancarkan strategi Kristenisasi dan penguasaan politik di Taput. Belanda berkeyakinan, hanya dengan dikristenkan, masyarakat Taput bisa menjadi ’benteng’ meluasnya pengaruh Islam dari Aceh dan Minang. Selain itu, Jika Aceh dan Minang bersatu, secara geostrategi, akan menyulitkan posisi Belanda (hlm 20–21).
Selanjutnya, Prof Pelly yang juga menjadi Staf Ahli Gubernur Sumatera Utara ini, menjelaskan proses ”pencerai-beraian” rumpun budaya Tapanuli oleh Belanda yang ditulis Castles. Pertama, sebagai bekas daerah pendudukan Kaum Paderi dari Sumatera Barat, Tapsel mengenal Islam dalam situasi perang. Belanda berusaha keras menyebarkan Kristen di wilayah ini, tapi gagal. Sampai pendudukan Belanda berakhir, misionaris Kristen hanya merekrut 4.000 penganut. Sedangkan Islam dianut oleh 16.000 penduduk Tapsel.
Kepala-Kepala Kuria (Kepala Adat) yang diangkat Belanda, agar masuk Kristen dan mau membantu kegiatan misionaris, ternyata tetap keukeuh memegang Islam. Bahkan, hingga akhir abad ke 19, semua Kepala Kuria di Tapsel, berbalik melawan misionaris dan melindungi Islam (hlm 21). 
Berdasarkan perhitungan Castles, untuk memisahkan Aceh dan Minang, sebenarnya tak perlu mengkristenkan Taput. Cukup dengan mendukung agama asli orang Batak Toba. Tapi, Belanda berkeras, hanya dengan cara dikristenkan, masyakarakat Taput bisa dimanfaatkan untuk menghalangi masuknya Islam di kawasan ini. Pada tahun 1873 Sebuah mesjid di Tarutung, Silindung, dirombak oleh Belanda. Haji-haji dan orang-orang Islam, kebanyakan, dari marga Hutagalung, diusir dari tanah leluhur dan pusaka mereka di Lembah Silindung. Belanda melakukan pembersihan etnis, terhadap muslim Batak.
Akibat Kristenisasi, Belanda harus berhadapan dengan Sisingamangaraja ke-XII. Setidaknya, terdapat dua kali pertempuran besar antara pasukan Sisingamangaraja dengan Belanda. Yakni pada tahun 1878 di pantai Selatan Danau Toba dan tahun 1883 di Tanggbatu (sekarang Balige, ibukota Kabupaten Toba Samosir).
 Setelah pertempuran, Belanda memperlambat gerak maju menguasai Samosir dan Dairi. Apalagi, Belanda harus menghadapi pertempuran di Aceh melawan pasukan Islam. Meski begitu, misionaris Kristen terus disusupkan Belanda memasuki wilayah-wilayah pedalaman, hingga hampir 100% penduduknya mengimani Kristen.
Prof Pelly menjelaskan, serangkaian proses penaklukan di atas menyebabkan satu rumpun budaya yang sama, kini tercerai-berai. Belanda menggunakan agama Kristen untuk memisahkan keduanya dari pengaruh Islam di Aceh dan Minang. ”Tapi, di luar dugaan ahli antropologi, Tapsel justru muncul menjadi perpanjangan kekuatan Islam Minangkabau di Tapanuli. Sedangkan Taput, tumbuh menjadi Kristen yang berfungsi menyekat pengaruh Islam dari Aceh dan Minang,” lanjutnya.
Proses politisasi Islam dan Kristen di Tapanuli, melahirkan identitas politik pada masing-masing kelompok. Menurut Erickson (1989: 182), identitas politik ini adalah suatu bentuk penyadaran yang tajam akan keberadaan diri sendiri dan kelompoknya. Selain itu, identitas ini merupakan satu kesatuan unik untuk memelihara masa lampaunya sendiri, baik bagi dirinya maupun orang lain. 
Karenanya, ujar Pally, jika masyarakat Taput ingin memelihara masa lalunya dengan mendirikan Provinsi Tapanuli, maka pembentukan provinsi ini bisa dilihat sebagai usaha untuk memelihara identitas politiknya yang khas. Yaitu, identitas politik yang terbentuk karena proses Kristenisasi, pemisahan budaya dan politik dari saudaranya serumpun di selatan. Hal yang sama, juga berlaku bagi masyarakat Tapsel. Penolakan mereka bergabung dalam satu provinsi merupakan manifestasi kesadaran politik, budaya dan keberagamaan masyarakat Tapsel. Mereka merasa memiliki identitas politik yang khas sebagai manifestasi identitas politik Islam yang berbeda dengan saudaranya di Taput yang Kristen.
Perkembangan islam di Tapanuli sangatlah sulit karena di dalam kehidupan Tapanuli Utara telah mempercayai kekristenanlah yang menjadi agama mereka. Penyebaran islam di Tapanuli Utara itu kebanyakan dilator belakangi dari tindakan pemerintah khususnya pemerintah Suharto yang memasukkan orang-orang dari pulau jawa ke tanah batak dengan alasan transmigrasi. Namun perkembangan islam tersebut belum begitu pesat dan itu dapat kita lihat pada sekarang ini. Perkembangan islam di tapanuli Utara itu juga dilakukan oleh para pedagang muslim yang datang dari pulau jawa atau luar sumatera dan menikah dengan orang batak (perempuan atau laki batak).
III.           Kesimpulan
Dari sajian ini penulis dapat menyimpulkan bahwa masuknya kekristenan di dalam Tapanuli Utara, itu dilatarbelakangi adanya perang padri yang menyerbu tanah batak yang dipimpin oleh Tuanku Rao karena Tuanku Rao adalah orang batak yang sudah lama tinggal di Minang Kabau. Atau dengan kata lain hal ini terjadi demi pemanfaatan yang dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Nanrenceh yang menyuruh mereka untuk menyerang tanah Batak. Penghambatan di islamisasi di Tapanuli utara juga dipengaruhi oleh adanya colonial Belanda yang menyebarkanb agama Kristen di tapanuli Utara untuk menghambat penyebaran Islam. Dalam hal ini bisa kita rasakan begitu banyaknya gereja-gereja yang ada di Tapanuli Utara, namun yang menjadi perhatian kita saat ini adalah apabila kita tidak bersatu atau berpecah belah maka islam yang ada di Tapanuli Utara tersebut akan berusaha untuk mengambil kesempatan karena pemerintah menyebarkan Islam di Tapanuli Utara dengan pembangunan masjid-masjid ditiap-tiap daerah.

HUKUM PERNIKAHAN BEDA AGAMA  

0 komentar

Memilih pasangan hidup makin tak mungkin dibatasi sekatgeografis, etnis, warna kulit, bahkan agama. Jika dahulu orang-orang diIndonesia menikah dengan orang yang paling jauh beda kabupaten, sekarang sudahkerap dengan orang beda provinsi bahkan negara. Dahulu, biasanya orang menikahdengan yang satu etnis, kini menikah dengan yang beda etnis sudah jamakterjadi. Orang Jawa tak masalah menikah dengan orang Minang. Orang Sunda pun takpantang menikah dengan orang Bugis. Tak sedikit orang berkulit sawo matangmenikah dengan yang berkulit putih, juga hitam. Orang Arab menikah dengan yangnon-Arab. Bule Amerika menikah dengan perempuan Batak.

Pernikahan beda agama pun tak terhindarkan. Globalisasimeniscayakan perjumpaan tak hanya terjadi antar orang-orang yang satu agama,melainkan juga yang beda agama. Tunas cinta bisa bersemi di kantor-kantormodern yang dihuni para karyawan beragam agama. Ruang-ruang publik sepertimall, kafe, dan lain-lain membuat perjumpaan kian tak tersekat agama. Sekatprimordial agama terus lumer dan luluh diterjang media sosial seperti facebookdan twitter. Orang tua tak mungkin membatasi agar anaknya hanya bergaul denganyang segama.

Mengahadapi kenyataan itu, para agamawan memiliki pandanganberbeda. Ada yang bersikukuh bahwa pernikahan beda agama tak diretusi Tuhan.Sebab, agama dirinya adalah terang, sementara agama orang lain adalah gelap.Terang dan gelap tak mungkin dipersatukan dalam satu ikatan perkawinan. Para agamawan yang galau ini coba menepiskan fakta, dan terus merujuk Sabdabahwa nikah beda agama adalah haram. Menurut mereka, bukan hukum Tuhan yangharus disesuaikan dengan kenyataan, tapi kenyataan lah yang harus ditundukkanpada kehendak harafiah teks Qur’an. Analogi yang sering disampaikan, bukankepala yang harus dicocokkan dengan ukuran kopyah, tapi peci lah yang mestimengikuti besar-kecilnya kepala.

Ada juga agamawan yang pasrah pada kenyataan. Menurut mereka,nikah beda agama tak mungkin untuk dilawan. Agama tak boleh mengharamkan begitusaja. Sebab manusia bebas dalam memilih agama, maka ia juga bebas menentukanpilihan pasangan dalam keluarga. ”Dalam dunia yang terus mengarah padakesederajatan agama-agama, kita tak mungkin memandang agama orang lain sebagaigelap”, tandas mereka. Dengan demikian, menurut mereka, agama harus terusditafsirkan untuk diadaptasikan dengan kondisi zaman yang selalu berubah.
Agumen Teologis Islam

Tentang nikah beda agama, para ulama Islam terbelah ke dalamtiga kelompok. Pertama, ulama yang mengharamkan secara mutlak. Dasarnya adalahal-Qur’an (al-Baqarah [2]: 221) yang mengharamkan orang Islam menikah denganlaki-laki dan perempuan musyrik. Juga, QS al-Mumtahanah [60]: 10 yang melarangorang Islam menikah dengan orang kafir. Sementara QS, al-Ma’idah ayat 5 yangmembolehkan laki-laki Muslim menikah dengan perempuan Ahli Kitab, menurutkelompok ini, sudah dibatalkan dua ayat sebelumnya itu. Secara statistik,menurut mereka, tak mungkin dua ayat yang mengharamkan bisa dikalahkan olehsatu ayat yang menghalalkan nikah beda agama. Bagi mereka, kata ”musyrik”,”kafir” dan ”Ahli Kitab” adalah sinonim (satu makna), sehingga yang satu bisamembatalkan yang lain.

Ulama pertama ini pun mengacu pada tindakan Umar ibn Khattab.Ibn Katsir menceritakan bahwa ketika QS, al-Mumtahanah: 10 turun, Umar ibnKhattab langsung menceraikan dua isterinya yang masih kafir, yaitu Binti AbiUmayyah ibn Mughirah dari Bani Makhzum dan Ummu Kultsum binti Amr bin Jarwaldari Khuza’ah.  Umar pernah hendak mencambuk orang yang menikah denganAhli Kitab. Umar marah karena ia khawatir tindakan beberapa orang yang menikahiperempuan-perempuan Ahli Kitab itu akan diikuti umat Islam lain, sehingga perempuan-perempuanIslam tak menjadi pilihan laki-laki Islam. Namun, kemarahan Umar  takmengubah pendirian sebagian Sahabat Nabi yang tetap menikahi perempuan AhliKitab. Dikisahkan, Umar pernah berkirim surat pada Khudzaifah agar yangbersangkutan menceraikan istrinya yang Ahli Kitab itu. Khudzaifah bertanyakepada Umar, ”apakah anda menyangka bahwa pernikahan dengan perempuan AhliKitab haram?”. Umar menjawab, ”tidak. Saya hanya khawatir”. Menurut saya,jawaban Umar ini menunjukkan bahwa ketidak-setujuan Umar itu tak didasarkansecara sungguh-sungguh pada teks al-Qur’an, melainkan pada kehati-hatian dankewaspadaan.

Kedua, ulama yangberpendapat bahwa keharaman menikahi orang Musyrik dan Kafir sudah dibatalkanQS, al-Maidah [5]: 5 yang membolehkan laki-laki Muslim menikahi perempuan AhliKitab. Para ulama berpendapat bahwa tiga ayat tersebut memang sama-sama turundi Madinah. Akan tetapi, ayat pertama (al-Mumtahanah ayat 10 dan al-Baqarahayat 221) lebih awal turun, sehingga dimungkinkan untuk dianulir ayat ketiga(al-Ma'idah ayat 5). Ibn Katsir mengutip pernyataan Ibnu Abbas melalui Ali binAbi Thalhah berkata bahwa perempuan-perempuan Ahli Kitab dikecualikan darial-Baqarah ayat 221. Dengan perkataan lain, keharaman menikahi orang musyrikdan orang kafir seperti tertera dalam al-Baaqarah: 221 dan al-Mumtahanah: 10telah ditakhshish (dispesifikasi) oleh al-Maidah:5.

Pendapat ini juga didukung oleh Mujahid, Ikrimah, Said binJubair, Makhul, al-Hasan, al-Dhahhak, Zaid bin Aslam, dan Rabi’ bin Anas.Thabathabai berpendirian bahwa pengharaman itu hanya terbatas pada orang-orangWatsani (para penyembah berhala), dan tidak termasuk di dalamnya orang-orangAhli Kitab. Beberapa buku tarikh mendaftar para sahabat Nabi yang melakukannikah beda agama, di antaranya adalah Utsman bin ‘Affan, Thalhah bin Abdullah,Khudzaifah ibn Yaman, Sa’ad ibn Abi Waqash, dan sebagainya. Menurut IbnuQudamah, Hudzaifah menikah dengan perempuan Majusi. Sementara menurut MuhammadRasyid Ridla, Khudzaifah menikah bukan dengan perempuan Majusi, melainkandengan perempuan Yahudi

Ketiga, ulama yangmembolehkan secara mutlak. Ulama terakhir ini melanjutkan argumen ulama keduayang tak tuntas. Jika ulama kedua hanya membolehkan laki-laki Muslim menikahdengan perempuan Ahli Kitab, maka ulama terakhir ini membolehkan hukum sebaliknya; perempuan muslim menikah dengan laki-laki Ahli Kitab. Bagi mereka,tak ada beda antara pernikahan laki-laki muslim-perempuan Ahli Kitab danpernikahan perempuan muslimah-laki-laki Ahli Kitab.  Menurut kelompok terakhirini, tak ada teks dalam al-Qur’an yang secara eksplisit melarang pernikahanperempuan muslimah dengan laki-laki Ahli Kitab. Bagi mereka, tidak adanyalarangan itu adalah dalil bagi bolehnya pernikahan perempuaan muslimah denganlaki-laki Ahli Kitab.

Kekhawatiran sebagian pihak bahwa pernikahan perempuan muslimahdengan laki-laki Ahli Kitab hanya akan melahirkan generasi non-muslim takterbukti dalam kenyataan. Berbagai penelitian tentang pasangan nikah beda agamajustru menunjukkan bahwa jika seorang ibu beragama Islam, 70 % lebih agama anakmengikuti agama si ibu. Temuan penelitian ini tak mengejutkan bagi saya. Sebab,peranan ibu dalam keluarga memang amat sentral, termasuk dalam soal agama.Tentang agama apa yang dianut oleh seorang anak biasanya tak jauh dari agama siibu, bukan agama si ayah. Dengan demikian, tak keliru sebuah pepatah Arabberkata, ”ibu adalah sekolah pertama” (al-umm hiya al-madrasah al-ula).

Apa yang dikemukakan ulama ketiga itu biasanya diacukan padaalasan kesejarahan. Alkisah, Zainab binti Muhammad SAW menikah dengan Abual-Ash. Pernikahan tak dilakukan berdasarkan syariat Islam karena iadilangsungkan sebelum Islam. Namun, yang menarik, setelah Nabi Muhammaddiangkat menjadi nabi, Abu al-Ash pun tak segera masuk Islam. Ia tetap memilihmenjadi orang musyrik, seperti umumnya penduduk Mekah saat itu. Bahkan, ketikaNabi Muhammad dan umat Islam lain hijrah ke Madinah, Abu al-Ash bersama sangistri (Zainab puteri Nabi) masih bertahan di Mekah. Alih-alih ikut hijrah, Abual-Ash justru bersekongkol dengan orang-orang kafir Musyrik Mekah memeperangiumat Islam.
Dikisahkan bahwa Abu al-Ash pernah ditangkap di Madinah atasketerlibatannya dalam perang Badar dan Uhud. Ia kemudian diminta uang tebusandan Nabi meminta agar Zainab dihijrahkan ke Madinah.

Berbagai buku sejarah menceritakan bahwa dengan hijrahnya itu,Zainab hidup terpisah dengan Abu al-Ash selama bertahun-tahun. Mereka kembali hidup serumah, setelah Abu al-Ash masuk Islam. Ibn Katsir menuturkan bahwa kembalinya Abu al-Ash ke pangkuan Zainab binti Muhammad SAW tak disertai dengan akad nikah baru. Menurut ulama ketiga itu, ini mengisyaratkan bahwa pernikahanZainab dan Abu al-Ash yang dilangsungkan sebelum Islam adalah sah sehingga takperlu ada pernikahan baru. Pernikahan Zainab dengan Abu al-Ash ini melahirkandua orang anak, yaitu Umamah dan Ali. Jika Ali meninggal dalam usia belia, maka Umamah kelak menikah dengan Ali ibn Abi Thalib setelah istrinya (Fathimah bintiMuhammad SAW) meninggal dunia. Ketika Ali ibn Abi Thalib meninggal, Umamah menikah dengan al-Mughirah bin Naufal bin al-Harits ibn Abd al-Muththalib.

Nabi juga pernah mengawinkan anak perempuannya, Ruqayyah dengan Utbah ibn Abi Lahab. Setelah Islam datang, Nabi tak meminta sang puteri untuk berpisah dengan Utbah. Perceraian terjadi bukan atas kehendak Ruqayyah atau Nabi Muhammad, melainkan atas perintah ayahanda Utbah, yaitu Abu Lahab. AbuLahab, musuh bebuyutan Islam, yang keberatan jika anak laki-lakinya menikahdengan Ruqayyah yang beragama Islam. Dengan perkataan lain, seandainya AbuLahab tak menyuruh Utbah menceraikan Ruqayyah, niscaya pernikahan itu akantetap berlangsung sekalipun si suami Musyrik dan si perempuan beragama Islamseperti yang dialami Zainab binti al-Rasul Muhammad SAW.

Bagaimana di Indonesia?

Fakta historis tersebut tampaknya tak mengubah pendiriansejumlah ulama Indonesia untuk melarang pernikahan antara orang Islam dan bukanIslam. Pernikahan beda agama dalam pandangan mereka adalah haram. Per tanggal 1Juni 1980, MUI Pusat mengeluarkan fatwa tentang haramnya pernikahan tersebut.Banyak ulama yang khawatir, seorang istri yang Islam akan tunduk dan ikut agamasi suami yang bukan Islam. Sebagian ulama di Indonesia mewaspadai kemungkinantendensi politis dari kalangan non-Islam untuk menaklukkan umat Islam melaluipernikahan beda agama. Bagi saya, kekhawatiran ini terlampau jauh, karenabanyak pernikahan beda agama yang berlangsung lama dan bertahan dengan agamanyamasing-masing.

Para ulama yang pro-pengharaman nikah beda agama itu mendapatkansokongan dari negara. Melalui Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi HukumIslam (KHI) yang berisi hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan, pemerintahmelarang umat Islam menikah dengan orang yang bukan Islam. Dalam pasal 44 KHI dinyatakan “seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan denganseorang pria yang tidak beragama Islam”. Dalam pasal 40 disebutkan, “dilarangmelangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karenakeadaan tertentu; ….(c) seorang wanita yang tidak beragama Islam”. Dengan duaayat ini tampak jelas bahwa orang Islam, baik laki maupun perempuan, dilarangmelangsungkan pernikahan dengan orang yang tak beragama Islam.

KHI memang bukan Undang-Undang (UU), melainkan sebuah Inpres.Tapi, faktanya, KHI lah yang menjadi rujukan para pegawai KUA dalam menikahkanpara laki-laki dan perempuan Islam di Indonesia. KHI juga dipakai para hakimagama dalam mengatasi persoalan-persoalan perceraian di Indonesia. Dengankenyataan ini, para pelaku nikah beda agama tak mendapatkan payung hukum yangmenjamin dan melindungi pernikahan mereka. Ini karena negara melalui KHI telahikut terlibat dalam penentuan calon pasangan bagi warga negara yang maumenikah. Para aktivis HAM berkata bahwa negara tak boleh mengintervensi dan merampashak privat setiap warga negara, termasuk dalam soal menentukan suami atauistri. Negara hanya memfasilitasi dan mencatatkan suatu pernikahan bukanmenentukan pasangan dalam pernikahan. [..]