Haji Abd Halim Pardede

Haji Abd Halim Pardede
Jumat, 08 Mei 2009

TENTANG ADAT BATAK  

0 komentar

BAB VI

TATA CARA ADAT

Zoom dari gambar penari

-Tata Acara dan Urutan Sistem Pernikahan Adat Na Gok
1. Mangarisik.

Adalah kunjungan utusan pria yang tidak resmi ke tempat wanita dalam rangka penjajakan. Jika pintu terbuka untuk mengadakan peminangan maka pihak orang tua pria memberikan tanda mau (tanda holong dan pihak wanita memberi tanda mata). Jenis barang-barang pemberian itu dapat berupa kain, cincin emas, dan lain-lain.
2. Marhori-hori Dinding/marhusip.

Pembicaraan antara kedua belah pihak yang melamar dan yang dilamar, terbatas dalam hubungan kerabat terdekat dan belum diketahui oleh umum.

3. Marhata Sinamot.

Pihak kerabat pria (dalam jumlah yang terbatas) datang oada kerabat wanita untuk melakukan marhata sinamot, membicarakan masalah uang jujur (tuhor).

4. Pudun Sauta.

Pihak kerabat pria tanpa hula-hula mengantarkan wadah sumpit berisi nasi dan lauk pauknya (ternak yang sudah disembelih) yang diterima oleh pihak parboru dan setelah makan bersama dilanjutkan dengan pembagian Jambar Juhut (daging) kepada anggota kerabat, yang terdiri dari :

A.Kerabat marga ibu (hula-hula)

B.Kerabat marga ayah (dongan tubu)

C.Anggota marga menantu (boru)

D.Pengetuai (orang-orang tua)/pariban, Diakhir kegiatan Pudun Saut maka pihak keluarga wanita dan pria bersepakat menentukan waktu Martumpol dan Pamasu-masuon.

5. Martumpol (baca : martuppol).

Penanda-tanganan persetujuan pernikahan oleh orang tua kedua belah pihak atas rencana perkawinan anak-anak mereka dihadapan pejabat gerejab.. Tata cara Partumpolon dilaksanakan oleh pejabat gereja sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tindak lanjut Partumpolon adalah pejabat gereja mewartakan rencana pernikahan dari kedua mempelai melalui warta jemaat, yang di HKBP disebut dengan Tingting (baca : tikting). Tingting ini harus dilakukan dua kali hari minggu berturut-turut. Apabila setelah dua kali tingting tidak ada gugatan dari pihak lain baru dapat dilanjutkan dengan pemberkatan nikah (pamasu-masuon).

6. Martonggo Raja atau Maria Raja.

Adalah suatu kegiatan pra pesta/acara yang bersifat seremonial yang mutlak diselenggarakan oleh penyelenggara pesta/acara yang bertujuan untuk :

A. Mempersiapkan kepentingan pesta/acara yang bersifat teknis dan non teknisb..

B. Pemberitahuan pada masyarakat bahwa pada waktu yang telah ditentukan ada pesta/acara pernikahan dan berkenaan dengan itu agar pihak lain tidak mengadakan pesta/acara dalam waktu yang bersamaan.
C. Memohon izin pada masyarakat sekitar terutama dongan sahuta atau penggunaan fasilitas umum pada pesta yang telah direncanakan.
7. Manjalo Pasu-pasu Parbagason (Pemberkatan Pernikahan).
A. Pengesahan pernikahan kedua mempelai menurut tatacara gereja (pemberkatan pernikahan oleh pejabat gereja).

B. Setelah pemberkatan pernikahan selesai maka kedua mempelai sudah sah sebagai suami-istri menurut gereja.

C.Setelah selesai seluruh acara pamasu-masuon, kedua belah pihak yang turut serta dalam acara pamasu-masuon maupun yang tidak pergi menuju tempat kediaman orang tua/kerabat orang tua wanita untuk mengadakan pesta unjuk

D.Pesta unjuk oleh kerabat pria disebut Pesta Mangalap parumaen (baca : parmaen)

8. Pesta Unjuk.

Suatu acara perayaan yang bersifat sukacita atas pernikahan putra dan putri.

Ciri pesta sukacita ialah berbagi jambar :

[a]. Jambar yang dibagi-bagikan untuk kerabat parboru adalah jambar juhut (daging) dan jambar uang (tuhor ni boru) dibagi menurut peraturan.

.Jambar yang dibagi-bagikan bagi kerabat paranak adalah dengke (baca : dekke) dan ulos yang dibagi menurut peraturan. Pesta Unjuk ini diakhiri dengan membawa pulang pengantin ke rumah paranak.
9. Mangihut di ampang (dialap jual).

Yaitu mempelai wanita dibawa ke tempat mempelai pria yang dielu-elukan kerabat pria dengan mengiringi jual berisi makanan bertutup ulos yang disediakan oleh pihak kerabat pria.

10. Ditaruhon Jual.

Jika pesta untuk pernikahan itu dilakukan di rumah mempelai pria, maka mempelai wanita dibolehkan pulang ke tempat orang tuanya untuk kemudian diantar lagi oleh para namborunya ke tempat namborunya. Dalam hal ini paranak wajib memberikan upa manaru (upah mengantar), sedang dalam dialap jual upa manaru tidak dikenal.

11. Paranak makan bersama di tempat kediaman si Pria (Daulat ni si Panganon)

A. Setibanya pengantin wanita beserta rombongan di rumah pengantin pria, maka diadakanlah acara makan bersama dengan seluruh undangan yang masih berkenan ikut ke rumah pengantin pria.
B. Makanan yang dimakan adalah makanan yang dibawa oleh pihak parboru

12. Paulak Une.

A. Setelah satu, tiga, lima atau tujuh hari si wanita tinggal bersama dengan suaminya, maka paranak, minimum pengantin pria bersama istrinya pergi ke rumah mertuanya untuk menyatakan terima kasih atas berjalannya acara pernikahan dengan baik, terutama keadaan baik pengantin wanita pada masa gadisnya (acara ini lebih bersifat aspek hukum berkaitan dengan kesucian si wanita sampai ia masuk di dalam pernikahan).

B. Setelah selesai acara paulak une, paranak kembali ke kampung halamannya/rumahnya dan selanjutnya memulai hidup baru.

13. Manjahe.

Setelah beberapa lama pengantin pria dan wanita menjalani hidup berumah tangga (kalau pria tersebut bukan anak bungsu), maka ia akan dipajae, yaitu dipisah rumah (tempat tinggal) dan mata pencarian.
14. Maningkir Tangga (baca : manikkir tangga)


A. Beberapa lama setelah pengantin pria dan wanita berumah tangga terutama setelah berdiri sendiri (rumah dan mata pencariannya telah dipisah dari orang tua si laki-laki) maka datanglah berkunjung parboru kepada paranak dengan maksud maningkir tangga (yang dimaksud dengan tangga disini adalah rumah tangga pengantin baru).
B. Dalam kunjungan ini parboru juga membawa makanan (nasi dan lauk pauk, dengke sitio tio dan dengke simundur-mundur).Dengan selesainya kunjungan maningkir tangga ini maka selesailah rangkaian pernikahan adat na gok.

Tata cara Berbicara (Ruhut-ruhut ni Pangkataion) :

1- Sebaiknya ditentukan lebih dahulu siapa juru bicara (parhata), agar dapat dia mengatur waktunya dan dipersiapkan apa yang akan dibicarakannya, karena kesiapan sangat menentukan kesuksesan pembicaraan. Biasanya parjambaran yang berbicara atas dasar kesepakatan.

2- Setiap akan berbicara sebaiknya berdiri apabila yang dalam acara tersebut lebih dari 30 orang (torop), dan suaranya seharusnya kuat agar semua dapat mendengar.

3- Sebaiknya bentuk kalaimat yang akan diucapkan sebaiknya dalam ketulusan, wajar dan dalam suasana kekeluargaan. Jangan ada dalam pembicaraan kita unsur-unsur negatif, seperti kasar, marah,mengkritik,juga humor ynag dapat menyinggung perasaan.

4- Berbicara jangan terlalu panjang, kata-kata jangan diulang-ulang, tidak terarah, menjaga waktu.

5- Apabila ada yang mengatakan hal yang tidak benar seharusnya diperbaiki dengan keramah tamahan dan lembut.

6- Bila mempergunakan Umpama, cukup 1 atau dua umpama, Dan sebaiknya umpama atau umpasa, diucapakan sesuai dengan aslinya, jangan dirobah .

7- Jangan sampai terjadi, yang pantas berbicara atau yang layak menerima Jambar hata (Yan pantas berbicara) tidak berbicara. Lebih baik singkat dari pada kurang.

8- Bila kebetulan ada seseorang yang terkemuka hadir dalam acara tersebut (Punguan), yang terpandang kedudukannya dimasyarakat atau dalam hal kepintaran dan pengalaman sebaiknya diusahakan agar diberi kesempatan berbicara.

9- Sebelum acara ditutup atau paampuhon tu suhut (Acara ditutup oleh pihak yang mempunyai hajat (Hasuhutan). Kalau masih ada waktu sebaiknya ditawarkan juga pada orang yang ingin berbicara..

Yang perlu diperhatikan:

1-Tentang Raja Parhata (Juru bicara):

Dalam semua acara Adat yang besar seperti (marhata sinamot, marunjuk, mangadaton/ mangadati, mangopoi jabu, mamestahon tambak ni ompu) dll, selalu ada juru bicara/ pande hata dari yang punya acara(hasuhutan), rapat yang singkat dengan sabutuhanya untuk menetapkan siapa diantara mereka yang memimpin acara (raja parhata) dalam rapat tersebut kurang lebih begini dialoknya:

Protokol pihak punya hajat memulai:

” Hamu angka haha doli dohot anggidolinami, ia dihita pomparanni ompu…… nunga tahasomalhon, molo masa dihita pomparan ni omputa paitonga ulaon songon na taadopi sadarion, ba hamu hahadoli manang anggidoli ma gabe raja parhata. Nuaengpe, ba mardos ni tahi ma hamu hahadoli dohot anggidolinami manang na ise bahenon muna na gabe raja parhata sian hamu. Botima.”

(artinya: Kalian Haha doli dan Anggi doli kami, kita sudah membiasakan kalau ada pesta, seperti yang kita hadapi sekarang, maka salah satu dari Haha doli atau Anggi doli yang menjadi juru bicara/ raja parhata , botima)

Jawaban dari pihak hahadoli:

”ido tutu anggi doli,toho do na nidokmi, jadi ala hami do na baruon gabe raja parhata di ulaon muna parpudi, ba ianggo sadarion sian anggi dolita ma na gabe raja parhata, botima.”

(artinya: Benar itu Anggi doli apa yang engkau katakan, tetapi karena kami dahulu yang menjadi raja parhat pada pesta mu, maka sekarang giliran Anggi doli kitalah yang menjadi raja parhata, botima)

Jawaban dari pihak anggidoli:

”tutu doi, haha doli na nidok munai. Ba hami pe atong ndada manjua disi, rade do hami nagabe raja parhata.”

(artinya: Benar itu Haha doli apa yang kau katakan itu, kamipun tidak menolak untuk menjadi raja parhata)

(setelah itu menghadaplah dia pada kumpulan saompunya lalu dia mengutarakan penawaran tersebut) Nunga sude hita mambege hatai.Jadi nuaeng, ba ise ma sian hita na gabe parhata?.: biasanya yang terpilih adalah yang pandai berbicara )

2- Umpama serta Umpasa.:

Bagi Orang Batak sangatlah penting Umpama dan Umpasa tersebut disetiap acara-acara adat, terutama sewaktu acara formal dlm permufakatan.(marhata-sidenggandenggan).

Karena didalam pembicaraan tersebut sangatlah diutamakan kasih sayang tanpa menyinggung perasaan dari pihak manapun karena didalam umpama dan umpasa penuh dengan unsur-unsur kesopanann dan perumpamaan yang sangat indah dan sangat mudah dimengerti semua pihak makna yang dikandung perumpamaan dan umpasa tersebut. Dan meninggalkan kesan bagi yang mendengarnya. Misalnya untuk menasihati seseorang:

„Ua jolo tangkas ma pingkiri hata sidohononmu”, itu sebenarnya sudah baik tetapi lebih tepat dn berkesan kalau diucapkan ditambah dengan umpama:“

· Niarit lili bahen pambaba,

· Jolo nidilat bibir asa nidok hata;

Begitu juga kalau menunjukkan kebenaran suatu perbuatan misalnya:’Ikon patut do tongtong pasangapon jala oloan hulahula“, dan lebih berkesan kalau dimtambah dengan umpasa yang telah dibuat oleh orangtua dahuli sebagai berikut:

· Lata pe na lata, duhutduhut do sibutbuton,

· Hata pe nahata, pangidoan ni hulahula do situruton.

Dibawah ini disertakan beberapa contoh-contoh yang berkaitan dengan umpama serta Umpasa sebagai berikut:

1- mengenai guna Adat dengan Hukum nya:

· Sinuan bulu, sibahen na las,

· Sinuat adat dohot uhum, sibahen na horas;

2- Mengenai kewajiban mengikuti Adat:

· Omputa raja di jolo martungkot sialagurdi,

· Angka nauli tinonahon ni angka omputa parjolo, siihutonon nihita parpudi

3- Maengenai kepatuhan pada Raja dan menghormati Hulahula:

· Barisbaris ni gaja dirura pangaloan,

· Molo marsuru raja da ido si oloan.

· Dijolo raja aipareahan,

· Dipudi sipaimaon

4- Mengenai Janji (padan)

· Habang ambaroba, paihutihut rura,

· Padan naung nidok, ndang jadi mubauba.

5- Mengenai Harta warisan (arta Teantanan):

· Niarit tarugi porapora,

· Molo tinean uli, ingkon teanon do dohot gora.

6- Mengenai Piutang dan Utang:

· Jolo binarbardo sumban, asa binarbar pardingdingan,

· Jolo ginarar do utang, asa tinumggu parsingiran.

· Molo mauas haluang,laho ma tu dangirdangir,

· Molo nunga diudean parutang, ndang margogo be parsingir;

7- Mengenai Rumah tangga:

· Butarbutar mataktak, butarbutar maningkii,

· Molo mate hahana, anggina ma maningkii;

· Ndang boi dua pungga saihot ( maksudnya tidak bisa dikawini dua laki-laki yang satu bapa satu ibu perempuan sebapa seibu)

· Ansuan sisadasada, pago di panguaan,

· Sisamudar sisamarga, tongka masibuatan.

· Sidangka ni arirang,

· Na so tupa sirang.

8- Mengenai permusuhan:

· Ndang boi bingkas bodil so jolo sampak aek.

( maksudnya: kalau tidak ada sebab)

· Pisang na marsantung ndang tabaon.

(maksudnya: Orang yang telah bersembah/bersujud dan menyerah tidak boleh dibunuh. Begitujuga halnya marboruboru yang sedang hamil, tidak boleh dibunuh).

9- Mengenai hukum(Uhum):

· Panggu maniktihi, hudali mangula saba;

Molo baoa do magigi (ndiniolina), ba simago ugasanna.

· Sidangka sidangkua, tu dangka ni singgolom,

Na sada gabe dua natolu gabe onom, utang ni sipahilolong.

· Sineat niraut, gambiri tat daonna.

(Maksudnya: kalau ada orang menghina temannya serta ada niat berdamai/minta maaf , harus memotong hewan untuk dimakan oleh yang dihina beserta raja dan teman sekampung.)

· Pat ni lote tu pat ni satua;

Sai mago do pangose, mamora na niuba

· Na tartolon jabu, anak ni manuk daonna.

(maksudanya: tartolon jabu = kesasar dia memilih tempat tidurnya, sehingga pergi ketempat tiduk adik perempuannya (isteri adiknya) atau ipar (isteri saudara laki dari isterinya), masalah ini dahulu sering trejadi karena rumah zaman dahulu tidak mempunyai kamar-kamar. Malahan dalam satu rumah ada samapai 5 rumah tangga bahkan lebih. Dan Lampu pada malam hari dipadamkan. Jadi jangan sampai terjadi perkelahian diantara yang bersaudara maka harus mengakui kesalahan (ma na tolon jabu) dengan memotong hewan (Ayam) untuk dimakan seisi rumah.

· Hinurpas batu, sinigat oma;

Molo ro tuhas, gana ma daonna.

10- Memberi Nasihat :

· Molo litok aek ditoruan, tingkiron ma tu julu.

· Unang songon taganing marguru tu anakna.

· Tiniptip sanggar bahen huruhuruan;

Jolo siningkun marga asa binoto partuturan

Tentang pengucapan Umpasa;

a) Kalau kita hendak mengucapkan umpasa terlebih dahulu dikatakan:”Sai dilehon Tuhanta pardenggan basa i ma di hamu songon nani dokni umpasa on,”

b) Siapa yang layak mengucapakan umpasa Pasu-pasu?

Biasanya dahuu hanya pihak hula-hula yang mengucapkan umpasa pasu-pasu kepada parboruonnya, orang tua kepada anak-anaknya, abangan kepada adik-adiknya, jadi tidak boleh pihak boru mengucapkan umpasa pasu-pasu kepada hula-hulanya. Tetapi kalau keadaan sangat perlu boleh saja asalkan didahului dengan ucapan sbb:”Santabi di hula-hula nami, ndada na naeng mamasumasu hami rajanami ia hudok pe angka umpasa annon songon tangiang pangidoan nami doi tu Tuhanta,”.

(artinya: Maaf kan kami Hulahula kami, tidak ada maksud kami untuk mamasu-masu raja kami, kalaupun ada kata umpasa yang saya tuturkan itu adalh sebagai do’a memohon kepada Tuhan adanya). Setelah itu diucapakn umpasa tersebut.

Tetapi didalam pangampuan tidak perlu mengatakan sesuatu permohonan maaf untuk mengucapakna umpasa pasu-pasu seperti:

· Tur-tur ma inna anduhur, tio ninna lote

Angka pasupasumuna i sai unang muba unang mose.“

c) Selayaknya pengucapan umpasa harus teratur .Kalau banyak umpasa yang akan diucapkan, harus dijaga keterarturan dalam pengutaraannya jangan diucapkanumpasa seperti:

· Andor hadupang togutogu ni lombu;

Sai sarimatua ma hamu sahat tuna mangiringngiring pahompu.

Setelah itu dilanjutkan pula dengan umpasa :

· Giringgiring gostagosta;

Sai tibu ma hamu mangiringngiring jala mangompaompa,

Urutan umpasa dalam pengucapan tidak tepat lagi.Sebaiknya seperti yang tertera dibawah ini:

1-Umpasa untuk harapan agar kokoh dan rukun rumah tangga sbb:

· Bagot na mararirang ditoruna panggongonan,

Badan muna ma na so ra sirang, tondimuna masigonggoman.

2- Umpasa untuk keturunan yang banyak (hagabeon):

· Bintang ma na rumiris tu ombun na sumorop;

Anak pe dihamu sai riris, boru pe antong torop.

3- Umpasa agar mempunyai harta/kekayaan (Maradong):

· Urat ni nangka ma tuurat ni hotang;

Batudia pe hamu malangalangka, ba sai disi ma hamu dapotan.

4- Umpasa agar selalu Tuhan bersama mereka :

· Eme sitambatua parlinggoman ni soorok;

Dilehon Tuhanta ma di hamu tua jala sai hotma hamu diparorot.

5- Umpasa Penutup:

· Sahatsahat ni solu sahat ma tu bontean;

Sahat ma hamu leleng mangolu,

Sahat tu parhorasan dohut tu panggabean.

d- Sering juga diucapkan kepada pihak hulahula kata permintaan:

”Sai manumpak ma tondi muna, manuai sahalamu dihami parboruon muna“.

Kalimat ini dahulu adalah sesuatu permintaan yang sering diajukan kepada pihak hulahula kerna dahulu ada perumpamman bahwa hulahula adalag tuhan yang nampak. Tetapi sekarang setelah orang batak sudah mengenal Agama dan Tuhan Yang satu maka kata permintaan tersebut diatas tidak dipergunakan lagi,tetapi tidak secara keseluruhan dihapus ada sebagian yang ditiadakan dan diganti sesuai dengan perkembangan orang batak yang sudah mengenal Tuhan,Tuhan sajalah yang berhak memberi „Tua“. Adapun kata permintaan pada pihak hulahula diucapkan sebagai berikut:

„ Sai manumpak ma tondimu manuai sahalamu marhite tangiangmuna mangido pasupasu sian Tuhanta dihami parboruon muna“

e- Jangan terlalu mengotot.

Sewaktu membicarakan mahar/beli (sinamot), parjambaran serta yang berkaitan dengan acara tersebut sering ada yang terlalu mengotot untuk mempertahankan kehendaknya atau kebolehannya (nabinotona) atau yang sering dilakukan didaerahnya. Sekarang hal seperti itu tidak lagi pantas dilakukan. Ini yang perlu diingat:

a- Saling mencintai dan menyayangi yang harus ditonjolkan ini sebagai dasar adat yang baik.

b- Sekerang tidak ada lagi yang menguasai/ mengerti dengan pas mengenai adat secara 100 %, oleh karenanya alangkah baiknya saling pengertian.

c- Jadi kebiasaan dimana dilaksanakan acara (pesta) dilaksanakan:“ Solup na didapot do, parsuhathonon.”

f- Haruslah kita ingat pada pesan-pesan”Dalihan Na Tolu” dari orang-orang tua kita yang terdahulu.yaitu:

a. Hati-hati sesama semarga, “Manat mardongan tubu”

b. Lemah lembut pada pihak boru;”Elek Marboru,” serta

c.. Sujud pada pihak hulahula “Somba marhulahula”

d. Juga harus sopan berbicara, dan jangan terlalu rakus (hisabhu) pada makanan yang disajikan. Sehubungan dengan pesan dan petuah-petuah dari orang-orang tua dahulu adalah:

1) Pangkuling hasesega, papangan hasisirang.“

2) Ndada ala ni godangna umbahen na didapothon, ndada ala ni otikna umbahen na tininggalhon.

3) Hata mamunjung hata lalaen,hata torop sabungan ni hata.

4) Tuat siputi, nangkok sideak.

5) Ia i na umuli, i ma tapareak’

6) Niarit lili mambahen pambaba

7) Jolo nidilat bibir asa nidok hata.

g-Yang perlu diingat pada penyampaian atau mengucapkan tudutudu ni sipanganon,atau sewaktu penyampaian( acara) Upa-upa.:

Sewaktu penyampaian Tudutudu ni sipanganon dan upaupa harus dipegang tepi piring (pinggan) oleh kedua belah pihak baik si pemberi maupun sipenerima

h- Berdoa:

Kalau kita dari pihak hasuhutan (tuan rumah) jangan lupa memulainya dengan berdoa agar hajat kita terlaksana dengan baik dan diselalu dilindungi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Filsafat Batak disetiap pekerjaan Adat Batak:

1- Filsafat tentang “Juhut ni boru” : Mengikuti adat Batak “Hosa do alini hosa” artinya kalau kita mengambil yang bernyawa maka kita akan mengembalikan dengan yang bernyawa pula. Jadi kalau kawin anak kita laki-laki maka dia akan meminang anak perempuan dari marga lain (kalau menurut hukum diatas maka

akan diganti pula dengan orang) tetapi itu mustahil maka digantilah dengan hewan (Kerbau, lembu atau kambing dan bagi yang beragama Keristen Babi), jadi hewan itu menjadi ganti tubuh/daging dari anak perempuan yang kita ambil (lamar).Karena itulah dinamakan “ mangan juhut ni boru, dan itupula sebabnya siwanita tersebut tidak boleh memakan daging tadi, begitu juga pihak laki-laki tidak ikut sebagai parjambar.

2- Filsafat tentang “Hagabeon,Hasangapon,Hamoraon”:

Ada tiga nasihat/ pesan yang harus diingat masyarakat Batak, sehubungan dengan Dalihan Natolu yaitu

I- Manat mardongan tubu: artinya kalau kita ingin dihormati, maka hendaknyalah kita hati-hati, maksudnya panggillah Bapak (amang) kepada tingkatan Bapak (sai paramaon), Abang (hahang) kepada tingkat abang (parhahaon), Adik (anggia) kepada tingkat adik (si paranggion). Jangan selalu memposisikan diri kepada yang tidak patut, meskipun kita sudah kaya atau berpangkat, seperti dalam suatu acara meskipun kita sebagai haha partubu kalau masih ada didalam acara itu tingkatan Bapak (Bapak Uda), maka sepantasnya-lah kita harus mendahulukan beliau untuk berbicara (pajolohon).

II- Somba marhula-hula artinya: kalau kita hendak bahagia atau mempunyai anak cucu yang banyak dan baik (gabe), maka hormatlah marhula-hula (prinsip ini samapai sekarang masih tetap dijalankan orang batak). Pada Zaman dahulu orang batak beranggapan bahwa ditangan Hula-hula itulah hagabean.

III- Elek ma Boru, artinya: kalau mau kaya (mamora), lemah lembutlah pada boru, maksudnya: Jangan sekali-kali boru (hela) seenaknya saja menyuruh seperti menyuruh anak-anak atau dipaksa disetiap/ sembarang waktu dan dalam segala hal. Ataupun dibentak sesuka hati, hal itu tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Yang seharusnya adalah harus kita membujuk dengan kata-kata yang menyejukkan untuk menyuruhnya. Kalaupun pihak boru menolak karena sesuatu hal dapat diterima akal jangan marah dan mengeluarkan kata-kata yang tidak senonoh. Kalu kita elek marboru bagaimanapun pihak boru tidak akan tega sampai hati menolak kita, dan boru tidak akan membiarkan kita susah, dan kita sebagai pihak hula-hula selalu diposisikan di tempat yang terhormat. Inilah yang dinamakan kekayaan yang sebenarnya.

TATA CARA PERKAWINAN DENGAN ADAT BATAK

Perkawinan sesama Batak, terutama kalau perkawinan itu dilakukan secara adat yang penuh (adat na gok), sangatlah rumit, dan dibutuhkan kebijaksanaa-kebijaksanaan untuk menanganinya, oleh karena masing masing membawa kebiasaan didaerahnya. Jadi sangat dibutuhkan disini saling menghormati dan menyadari dimana acara/pesta diadakan. Dan dapat kita menterjemahkan pepatah yang sangat pepuler dikalangan orang Batak sebagai berikut:

  • Opu Raja ijolma, martungkot siala gundi;

Na pinungka ni ompu parjolo ihuthonon sian pudi.

Dengan fleksibel, agar kebiasaan orang-orang tua yang terdahulu tetap terpelihara dan dan sakral bisa saja pepatah tersebut diterjemahkan agar setiap daerah/orang ngotot mempertahan kan kebiasaan didaerahnya/dikampungnya. Jadi tergantung dari sudut mana kita menilainya, kalau kita memandangnya dari sudut negative pasti akan diterjemahkan tidak demokratis. Pada umumnya petuah-petuah yang ditinggalkan oleh orang-orang tua dahulu selalu meninggalkan dan hukum yang positif didalam prakteknya selalu kandungan mufakat lebih diutamakan.yang penting ada tertanam rasa salaing menghormati dan menyangi (holong marsihaholongan) bagi diri kita masing-masing.

Memandang perlunya pengembangan atau dengan kata lain menambah keturunan maka diperlukan perkawinan. Dan untuk mendapatkan keturunan yang baik maka perlu diatur didalam suatu tata cara yang beradab, maka Orang-orang tua terdahulu dari orang Batak mengatur tata cara tersebut dengan begitu indahnya berdasarkan asal muasal manusia, yakni yang berperan penting :

  1. Bapa/Ayah berperan memberi benih/memperanakkan
  2. Ibu berperan yang mengandung dan beranak.
  3. Tuhan Yang Maha Esa berperan memberi Roh/menghidupkan.

Setelah anak sudah besar dan layak untuk kawin, maka si orang tua akan memikirkan „Manuan Partondongan“ yang harus memenuhi 3 unsur tersedia yaitu:

  1. Sinamot kepada suhut Parboru
  2. Bolian dari famili ke pangalambungi
  3. Tuhor untuk bahan-bahan makanan.

Setelah tiga unsur tadi dapat dipertimbangkan/dipenuhi maka dilakukanlah persiapan dan penjajakan pada perempuan yang dipilih oleh sianak lelakinya atau yang dipilih orang tua silaki-laki.Dan dibawah ini ada tahap-tahap yang harus dilaksanakn untuk melaksanakan pernikahan tersebut.

Urut-urutan dari acara adat didalam mengawinkan Anak atau boru:

Pada zaman dahulu tanah leluhur (Bona pasogit) urutan dari acara mengawinkan anak perempuan atau anak lakilaki selalu diikuti/dipatuhi sebagai berikut:

  1. Saling memberi kenangan/tanda antara anak dan boru (calon mempelai) ini disebut „Maroroan“
  2. Pihak mempelai laki-laki dan pihak mempelai perempuan menunjuk perantara/ juru damai yang akan berunding membicarakan mas kawin (sinamot), dan segala yang berhubungan dengan acara pernikahan.(Marhusip)
  3. Berangkatlah pihak mempelai laki-laki beserta rombongannya pada hari yang telah disepakati ke kampung(rumah) pihak mempelai perempuan berbicara tentang mahar (marhata sinamot) serta hal-hal yang berkaitan dengan acara pernikahan. Dan pada saat itu juga pihak perempuan menerima mas kawin (Boli ni sinamot) dari pihak mempelai laki-laki yang juga dinamai “Tanda burju”. Setelah itu pihak mempelai laki-laki dan pihak mempelai perempuan memberi uang kepada “Ingotingot” kepada orang yang serta pada acara tersebut.
  4. Setelah beberapa hari “Manikir lobu ma” pihak mempelai perempuan kekampung/kerumah mempelai laki-laki, untuk melihat bagaimana kehidupan sehari-hari dari pihak mempelai laki-laki. Kalau keadaan pihak mempelai laki-laki tersebut tidak berkenan dihati pihak mempelai perempuan, bisa saja pada saat itu dibatalkan pernikahan, makadipulangkan pada saat itu juga kepada pihak mempelai laki-laki “Tanda burju” yang telah diterimanya tadi.. Tetapi sebaliknya kalau keadaan orang tua mempelai laki-laki tersebut berkenan dihatinya dan senang, maka pada saat itu juga pihak mempelai perempuan memintak semua atau sisa dari mas kawin (Sinamot ) yang telah disepakati. Dan pada saat itu juga disampaikan pihak mempelai laki-laki “Jambar ni suhi ni ampang naopat”
  5. Pada hari yang telah ditentukan (binuhul) pergilah pihak penganti laki-laki beserta rombongannya ke kampung/kerumah pihak pengantin perempuan membawa “Pudun saut” yaitu yang menentukan hari pernikahan (matani ulaon), sekalian bersama - sama mereka baik pihak pengantin laki-laki dan pihak pengantin perempuan ke acara akad nikah di Mesji/dirumah (kalau Islam), ke Gereja martupol (kalau yang beragama Keristen).Untuk bagian ini sesuai dengan kesepakatan waktu pernikahan (akad nikah) pada hari yang sama
  6. Mengundang semua kaum kerabat
  7. Pada Hari pernikahan/peresmian pagi harinya lpergilah pihak pengantin laki-laki mengantarkan “Sibuahbuahi” ke kampung/kerumah pengantin perempuan. Dari sana pihak pengantin laki-laki dan pihak pengantin perempuan bersama-sama

Marhusip :

Meskipun acara Marhusip salah satu unsur adat tetapi belum termasuk acara adat lengkap,maksudnya pada acara ini saudara laki-laki ibu yang melahirkan pengantin perempuan belum ikut karena tidak dihadiri pihak hulahula. Jadi disebut namanya Marhusip adalah karena pembicaraan masalah pernikahan belum resmi jadi tidak perlu diketahui umum.Jadi baru dalam tarap penjajakan.

Falsafah yang terkandung dalam acara marhusip ini adalah:

1. Manat unang tartuktuk, dadap unang tarrobung.

Maksudnya: sebelum dilaksanakan hajad seharusnya diperiksa dan hati-hati dalam bersikap serta tata cara yang akan di acarakan.

2. Jolo nidodo asa hinonong; maksudnya sama dengan no 1 diatas.

3. Jolo tinaha garung niba, jolo tinangkasan ma jolo gogo niba dohot sinadongan niba maksudnya harus teliti semua aspek yang terkait dengan acara.

Not: Umumnya dirumah pihak perempuan dilaksanakan acara “Marhusip”, dan harus diberitahu akan kedatang pihak calon laki-laki, biasanya cukup 3 orang saja yang ikut dalam acara itu yaitu haha anggi dari bapak calon laki-laki serta dongan sahuta serta seorang wanita, begitu juga dari pihak calon perempuan yang ikut dalam acara Marhusip tersebut. Pembicaraan berkisar perkenalan dan mengenalkan anak laki-laki yang ingin meminang anak perempuannya, dansambil melihat keadaan pihak perempuan apakah layak dijadikan menantu. Dan pada zaman sekarang pembicaraan diarahkan untuk mengetahui apa yang diinginkan pihak parboru (termasuk ancar-ancar berapa sinamot yang diminta) kalau acara Marhusip lancar dan kedua belah pihak sama-sama tidak keberatan dalam hala anak yang dijodohkan.

Dibawah ini ada skenario acara Marhusip dalam bahas Batak dan artinya bahasa Indonesia sebagai berikut :

Pembicara dari pihak parboru (PB):

„ Ba mankatai ma hita raja ni parboruon. IA nungga ro hamu tu bagas nami on, mauliate ma siala haroromuna, ba nuaeng na manugkun ma hami tu hamu: Dia ma na hinarohon muna, tangkas ma paboa“

(artinya: Marilah kita mulai berbicara wahai Raja ni Boru, kalian sudah datang kerumah ini , terima kasih atas kedatangan kalian, sekarang kami ingin bertanya pada kalian apa maksud kedatangan kalian tolong dijelaskan?)

Jawaban dari pihak paranak (calon laki-laki) (PL):

“Olo ma tutu, rajanami, alusan ma tutu sungkunsungkun muna I, Mauliate ma hudok hami parjolo tu Tuhan ta , ai dibagasan hahipason do hamu hu dapot hami di bagasta na marapang na marjual on. Mauliate do jala malambok pusu huhut dohonon nami di hamu rajanami na manjangkon haroronami dohot bohi na minar huhut lambok mardongan sipanganon na tabo. Ia haroro namai raja nami, na mardomu do I tu boaboa ni anak nami na ro mangalaka tu hutanta on, na di jabuon.Jadi na disuru suhut nami do hami manopot hamu, rajanami, manangkasi dohot manungkun pingkiran muna taringot tu si. On pe parjolo ma jolo husungkun hami hamu rajanami, beha naung ditolopi rohamuna do langka ni anak nami i? Jala molo naung ditolopi rohamuna do, ba songon dia ma dipangido rohamuna simpehononmuna tu hami di sibahenon dohot sipatupaon nami. Botima rajanami.

(artinya: Benar sekali raja nami, memang seharusnyalah kami menjawab pertanyaan itu, Terima kasih kami haturkan terutama kepada Tuhan, karena diberi kesehatan kepada kalian yang kami temui di rumah “na marapang na marjual on. Terima kasih setulusnya kami haturkan kepada kalian raja nami yang menghormati kedatangan kami dengan muka yang cerah serta lembut disertai hidangan makanan yang begitu lezat. Adapun kedatangan kami wahai raja nami, sehubungan dengan pemberitahuan dari anak kami yang datang berjalan-jalan kekampung dan kerumah ini. Jadi kami disuruh suhut nami, menemui kalian raja nami, memperjelas serta menanyai kepada kalian tentang hal itu. Sebelumnya terlebih dahulu kami menanya kalian raja nami, Bagaimana apakah kalian sudah mengerti akan maksud kedatangan anak kami?, kalaulah sudah dimengerti , kira kira bagaimana dan apa yang perlu kalian sampaikan pada kami untuk dipersiapkan dan disediakan. Kira-kira begitulah)

Jawaban PB :

“Mauliate ma diharoromuna tu bagasta on dohot dihatamuna I sudena.Ndang pola ganjang be dohonon nami mangalusi hamu.Las do rohanami majangkon berenami anak muna i. Alai pangidoan nami, molo naung sian ias dohot burjumuna do na ro nuaeng manaringoti i, ba tung denggan ma bahen hamu taringot tu sisombahononmuna tu hami.Angkup ni I, manurut pingkiran nami nangkin andorang so borhat hamu tu son, ba nungga adong hian bilangan na tontu ditonahon suhut muna sipaboaon muna tu hami. On pe, asa jempek jala bulus pangkataionta ba pintor tangkas ma paboa hamu na tinonahon ni suhut muna I tu hamu. Songon I ma jolo alus nami. Botima.

(artinya: Terima kasih atas kedatangan dan kata-kata kalian tersebut, tidak perlu saya rasa panjang-panjang menjawab kalian, kami sangat senang atas bere kami anak kalian itu, tetapi permintaan kami kalaulah memeang sudah dari hati yang tulus kedatangan kalian dan menyinggung soal itu maka alangkah baiknya kalau kalian mempersiapkan (sombasomba) untuk membicarakan itu kepada kami, menurut pikiran kami tadi, sebelum kalian berangkat kemari barang tentu sudah ada disiapkan untuk kalian dalam bilangan tertentu oleh suhut kalian, untuk diberi tahu kepada kami. Begitupu untuk mempersingkat pembicaraan kita, terus terang saja kalian menyampaikan yang dititip dan dipesankan suhut tadi kepada kalian. Begitulah dahulu jawaban kami.Botima).

Jawaban Pihak PL:

“mauliate di hatamuna I, rajanami.Nunga nauli I, raja nami, na nidokmuna I, ai tutu do nunga adong hian bilangan na tontu huboan hami songon tona ni suhut nami.Jadi ba pinaboa ma tu raja i. Songon on ma , raja nami: Upa suhut RP.60,00. Jala manurut / marbanding tusi ma angka jambar pangalambungi.

(artinya: Terima kasih, atas semua kata-kata kalian raja nami, wahai raja nami apa yang kalian katakan tadi adalah benar, sudah ada bilangan yang pasti kami bawa sebagai pesan dari suhut kami. Jadi kami sampaikanlah kepada kalian raja nami, kira kira beginilah perinciannya, Upa suhut ditetapkan Rp. 60.000, serta termasuklah itu untuk jambar pangalambungi.)

( biasanya sewaktu Marhusip selalu penawaran terjadi dan pihak utusan laki-laki selalu mengurangi dari yang telah ditetapkan hasuhutan orang tua laki-laki.)

Pembicara PB:

“Ah, raja ni parboruon , ndang masuk diakal nami holan nasa I di tonahon suhut muna. Jadi nuaeng pe, ndada porlu masitaoaran ditingki na “Marhusip” . Paboa hamu ma torang sadia ditonahon suhut muna”.

(artinya: Ah, rajani parboruon, tidak masuk akal kami Cuma hanya sekian yang dipesan suhut kalian, jadi sekarang tidak perlu kita saling tawar menawar sewaktu Marhusip. Beritahu secara jelas berapa sebenarnya yang dipesan suhuit kalian)

Pembicara PL:

“Ba molo songon I do, rajanami, an a uli, ba pinaboa ma tutu. Tona ni suhut nami ,upa suhut Rp.100.000. Jala manurut tusi ma tu angka pangalabungi, jadi songon I ma da, raja nami, naboi tuhuhon nami, botima.

(Kalau begitu raja nami, baiklah kami beritahulah kepada kalian yang sebenarnya berapa yang dipesankan suhut kami, upa suhut Rp. 100.000. termasuk untuk para pangalabungi, begitulah raja nami, yang dapat kami tanggung. Botima.)

Jawaban PB:

„Mauliate ma di hatamuna i, raja ni parboruon. Jadi songon on ma dohonon nami taringot tusi: Hujalo hami ma songon na pinaboa muna i, molo olat ni i nama na boi sombahonon muna tu hami, alai ingkon hamu ma mananggung pesta ro sude na mardomu tusi. Ianggo so songoni do, tung soboi do haoloan hami hatamuna i. Songon I ma hatanami, botima, ai patar ma paboaon nami tu hamu, sinamot na nilehon muna I do na naeng pangkehon nami tu haporluan ni nanaeng parumaen muna on, songon I ma hata nami, botima.

(artinya: Terima kasi atas jawaban kalian itu raja ni parboruon, jadi beginilah jawaban kami tentang itu: Kami menerima seperti jumlah yang klalian sampaikan, kalau Cuma samapai disitu kesanggupan untuk dipersembahkan kepada kami, tetapi kalianlah yang menanggung pesta serta semua yang berhubungan dengan itu, kalau tidak begitu kami tidak dapat menerima apa yang kalain katakan itu. Begitulah jawaban kami Botima, jelas-jelaslah kami sampaikan kepada kalian, sinamot yang kalian berikan itu yang akan dipergunakan untuk keperluan bakal menantu kalian itu, begitulah jawabna kami ,Botima)

Pembicara PL:

Taringot tusi, rajanami ianggo tona ni suhut nami songon on do;sian hami do panjuhuti, alai ianggo na mambahen pesta I, ba hamu parboru do. Jadi molo tung so boi do songon I, an ang tarlehon hami nuaeng putusan taringot tu na nidok ni rajai. Alai ba paboaon nami ma I tu suhut nami.”

(artinya: Mengenai itu raja nami, pesan suhut kami begini; Dari kami panjuhuti, tetapi yang mengadakan pesta kalian pihak parbopru. Jadi kalaupun tidak an begitu kami tidak sanggup memutuskan sekarang raja nami, tetapi akan kami sampaikan permintaan itu kepada suhut kami.)

Pembicara PB:

“Molo songoni, ba pasahat hamu ma hatanami I tu suhut muna alai paboa hamu, tung gomos do hami di pangidoan nami I, botima”

(artinya: Kalu begitu, kalian sampaikanlah usul kami itu kepada suhut kalian, tetapi harus kalian sampaikan dengan tegas permintaan kami itu, botima.)

Jawaban PL:

“an a uli rajanami pasahaton nami ma hatamuna I tu suhut nami, jala tibu do hami ro mamboan alus sian suhut nami botima.”

(artinya: Sangatlah baik itu raja nami, kami akan sampaikan usul kalian itu kepada suhut kami, serta kamia akan segera memberi jawaban dari suhut kami, botima)

Sampai disini akhir pembicaraan yang terjadi untuk saat itu, (kesimpulannya masih terjadi tawar menawar siapa yang mengadakan pesta keramaiannya, juru bicara pihak perempuan meminta agara pesta dilaksanakn oleh pihak laki-laki, namun juru bicara pihak laki-laki menolak dan meminta agar pesta dilakukan oleh pihak perempuan, namun keputusan akan dirundingkan dengan orang tua calon laki-laki/suhut yang nanti akan diberi jawabnnya segera ) laki-laki menawarkalau datang untuk kedua kalinya hanya untuk menyampaikan jawaban dari orang tua calaon mempelai laki-laki.

Marhata sinamaot: (membicarakan mas kawin)

Ada falssafah orangtua terdahulu yang perlu diingat sebagai berikut:

  1. Aek godang aek lau;

Dos ni roha sibaen nasut

  1. Balinta ma pagabe tumandangkon sitadoan;

Arinta ma gabe molo masipaoloan.

  1. Amporik marlipik, onggang marbahang;

Gabe do parboli na otik, laos gabe do nang parboli na godang

  1. Na mandanggurhon tu dolok do molo basa marhulahula.

(maksudnya Apa saja yang dilempar ke gubnung, seperti batu, pasti batu tersebut meluncur/jatuh kearah kita, dan pasti batu lainpun yang tersenggol akan terikut. Jadi sama berlipat ganda diterima keuntungan yang baik, kalau kita menghormati Hulahula.)

Setelah jadawal pembicaraan tentang Mas kawin (sinamot) telah ditetapkan pada waktu Marhusip dan pesan akan kedatangan pihak Pengantin Laki-lakipun disampaikan pada pihak pengantin perempuan. Maka Pihak perempuanpun mempersiapkan penyambutan dan menerima “Suhi ni ampang“, dan memberi tahu pada orang yang berkaitan dengan acara itu untuk hadir yaitu:

1- Suhut (parboru)

2- Sijalo bara,

3- Tulang

4- Simandokkon,

5- Pariban. Dan ditambah sebagai saksi yaitu:

6- Dongan sahuta (1 atau 2 orang)

Inilah yang yang menerima pihak Paranak dalam membicarakan sinamot .Adapun falsafah yang terkandung dalam “Ampang” adalah sebagai berikut:

clip_image003

Ampang didalam masyarakat Batak adalah suatu penerimaan, dimana ampang ini diperbuat dari rotan , dan rotan ini adalah dahulu digunakan sebagai pengikat rumah yang disatukan (diserupakan) dengan tali ijuk dari pohon aren dimana oleh masyarakat Batak mengumpamakan aren itu (bagot) sebagai kejiwaan wanita. Maka anak laki-laki dan anak perempuan itulah pengikat satu rumah tangga, didalam masyarakat Batak, itulah makanya didalam perkawinan itu selalu disebut:

  1. Nialap ni ampang, >< Suhut itulah empunya anak perempuan

2. Marsuhat di ampang,>< Sijalo bara, adalah Abang adik dari suhut, inilah yang disebut horong ni na tua-tua

  1. Mangihut di ampang,>< Tulang, adalah saudara laki dari isterinya suhut.
  2. Sihunti ampang, >< Simandokkon, adalah anak laki-laki,dari suhut
  3. Tutup ni ampang, >< Pariban adalah boru atau itonya suhut.

Jadi yang hadir dalam mebicarakan sinamot itu ialah:

  • 3 orang dari pihak Paranak (meminta)
  • 5 orang dari pihak parboru (menerima)
  • 2 orang sebagai saksi (penggerak)

Cukup 10 orang yang membicarakan (marhata sinamot)

Biasanya waktu untuk membicarakan sinamot idealnya adalah waktu malam, dan ini yang sering dilakukan dahulu.

Setelah rombongan dipersilahkan masuk, tudutudu ni sipanganon yang dibawa pihak paranakpun diletakkanlah dihadapan tuan rumah (parboru), kemudian tuan rumah pun membagikan hidangan untuk tamu-tamu dari pihak paranak. Setelah selesai makan, lalu ditutup lagi dengan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kemudia protokol dari pihak pengantin perempuan mengatur letak duduk sesuai dengan aturan yang telah ada , maka dimulailah berunding pihak pengantin perempuan dengan pihak pengantin laki.untuk menentukan juru bicara (raja parhata) dari kedua belah pihak.Setelah itu maka pihak pengantin laki menyuruh pihak borunya (parboruon na) meletakkan „Tudu-tuduni sipanganon“ itu kehadapan raja parhata pihak pengantin perempuan yang telah ditunjuk/dipilih.

Membagi Tudutudu ni sipanganon:

Setelah diletakkan Tudutudu ni sipanganon dihadapan Raja parhata pihak pengantin perempuan sambil mengatakan:

“ On ma da rajanami, tudutudu ni sipanganon na so sadia i, jalo hamu ma botima.“.

(artinya:Inilah raja nami, tudu-tudu ni sipanganon yang tidak seberapa, kalian terima lah, botima)

Maka diterima oleh Raja parhata pihak pengantin perempuan sambil berkata

“Mauliate ma di hamu raja ni parboruon, ai nunga dipasangap hamu hami, jala nunga dipeakkon hamu dijolonami tudutudu ni sipanganon na nadipatupa muna i, ba hujalo hami ma i, botima“.

(artinya:Terima kasih raja ni parboruon, sudah kalian hormati kami, serta telah kalian letakkan dihadapan kami tudutudu ni sipanganon yang kalian sediakan itu, sekarang kami terima, botima)

Raja parhata pihak pengantin perempuan melanjutkan bicaranya:

“Nuaeng udutankuma hatangku, jala na manungkun ma ahu tu hamu raja ni parboruon nami, beha saonari ma tabagi tudutudu ni sipanganon i, alai hira na sohea do i masa, sai pintor torus nama dibagi tudutudu ni sipanganon i, ai nunga binoto hian ndang boi be so saut.“

(artinya: Sekarang saya lanjutkan pembicaraansaya, serta saya akan akan bertanya pada kalian raja ni parboruon nami, bagaimana sekarang apa kita bagi tudutudu ni sipanganan ini, tetapi itu bukan suatu kebiasaan, biasanya kita terus bagi saja, karena tidak mungkin lagi tidak jadi)

Jawaban dari Raja parhata pihak pengantin laki :

“ba saonari ma da, raja nami“.

(artinya: Sekarang saja dibagi, raja nami.)

Kemudian Raja parhata pihak pengantin perempuan mengatakan :

“Antong denggan ma i, tabagi ma tutu, alai parjolo ma jolo sungkunonku tu hamu rajani parboruon nami: Dia ma dipangido rohamuna sipasahataon nami tu hamu?“

(artinya: kalau begitu baiklah, kita bagi sekarang, tetapi saya tanya dahulu pada kalian raja parboruon nami: Apa yang kalian minta yang harus kami sampaikan pada kalian)

Maka dijawab Raja parhata pihak pengantin laki:

“Ba pangalehon muna ma da raja nami sian i,ndada be podaon nami raja i, ai nungga diboto hamu hian i manang aha na patut jaloon nami, jadi bahen hamu ma na denggan i,raja nami.

(artinya: Terserah pada kalian raja nami dari sana, tidak perlu lagi diajari kalian untuk itu, sudah lebih mengerti kalian apa yang pantas kami terima, jadi silahkan saja diatur yang terbaik raja nami.)

Raja parhata pihak pengantin perempuan mengatakan :

“Tutu do i nian na nidok muna i, alai nang hamu pe di boto hamu do, ndang sai dos na taulahon di angka ulaon sisongonon on :

  • Asing duhutna, asing do dihaporna;
  • Asing luatna, asing do pamboanhonna.

On pe boti ma I, jolo hubahen hami ma “konsepna” manuru na somal di hami. Molo nunga ditolopi roha muna I ba laos I ma taihuthon, alai molo adong dope na hurang di roha muna ba paboa hamu annon.”

(artinya: Benar apa yang kalian katakan itu, tetapi kalain pun mengetahui juga, soalnya belum tentu sama kebiasaan kita sebagai mana yang dikatakan Umpasa:

  • Asing duhutna, asing do dihaporna;
  • Asing luatna, asing do pamboanhonna.

(artinya:Kalau begitu, duluan kami buat konsepna, sesuai dengan kebiasaan kami.Kalau kalian setuju iytulah yang kita laksanakan, tetapi kalau ada yang kurang tolong diberi tahu pada kami nanti)

Kemudian pihak pengantin perempuan membuat konsep pembagian Jambar yang kurang lebih sebagai berikut:Bagi pihak pengantin laki: Ida bindu”Parjambaran”,

Catatan: Kebiasaannya selalu pihak pengantin laki meminta ditambahi pihak pengantin perempuan Jambar mereka. Dengan dilapisi dengan permohonan „molo tung boi dope antong“, dan biasanya permintaan tersebut dipenuhi.

Setelah selesai membagi tudutudu ni sipanganon maka dilanjutkan lah membicarakan Mas kawin (marhata si namot).

Catatan:

  • „SUHI NI AMPANG NA OPAT“ yakni segi empat sebagai simbol dar empat fungsional penerima mas kawin (sinamot) pada acara menikahkan anak perempuan.

Keempat fungsional tersebut ialah 1- Suhut (orang tua kandung perempuan), 2- sijalo bara/pamarai ( salah seorang abang atau adik kandung ayah si perempuan), 3- Tulang ( saudara laki-laki ibu perempuan), 4- dan Pariban(salah seorang kakak siperempuan yang sudah berumah tangga, kalau tidak ada maka dialihkan pada namborunya atau kakanya dari ayah bersaudara.). diberapa tempat yang disebut suhi ampang na opat tidak termasuk suhut, maka keempat fungsional penerima mas kawin adalah Sijalo Bara, Tulang, Pariban, dan Simandkhon (Salah seorang saudara laki-laki dari perempuan/iboto yang kawin).

Adakalanya dikota dan mungkin juga dibona pasogit,untuk mempersingkat waktu dengan pertimbangan kesiapan pendeta atau tuan kadi (yang menikahkan /mamasumasu), juga Gedong dimana acara pesta dilaksanakan, sepulang dipasu-pasu atau dinikahkan kembali kerumah parboru atau Gedong untuk membicarakan Mas kawin (marhata sinamot), Dengan hasil pembicaraan utusan marhusip sebagai pedoman