Haji Abd Halim Pardede

Haji Abd Halim Pardede
Minggu, 18 Desember 2011

Tata Cara Pelaksanaan Adat Batak – 6  

0 komentar

III-Parhataan :

Dalam setiap upacara adat, betutur kata mempunyai persyaratan tertentu, tidak boleh asal bicara, kasar unsur marah,menyindir menyinggung perasaan, jadi harus wajar tepat dan pantas, tulus, dan kekeluargaan. Karena ada keyakinan orang Batak kalau berbicara dengan perkataan buruk akan mendapat dampak buruk pula dan kehancuran dan dan sebaliknya berkata baik akan mendapat yang baik dan keberuntungan.Oleh karena itu didalam parhataan selalu diselipkan peribahasa atau perumpamaan yang keindahan dan nilai-nilai moralnya sangat menentukan kesopansantunan didalam setiap berbicara. Peranan Raja parhata (juru bicara) yang mempunyai kemampuan bertutur kata yang baik sangatlah penting agar terhindar dari dampak negatif.

IV- Umpasa dan Umpama :

Hampir boleh dikatakan disetiap berbicara tentang budaya Batak, Umpasa berperanan besar, suatu bentuk puisi yang bernafaskan pemberian berkat (hata pasu-pasu), jadi suatu permohonan kepada yang Maha Kuasa agar kandungan makna rangkaian klimat tersebut benar-benar dapat terwujud dan menjadi kenyataan nikmat yang dapat dirasakan oleh orang yang dituju sesuai dengan falsafa dan kepercayaan Orang Batak.

Umpasa bukan saja hanya sekedar puisi berpantun, yang dibuat orang karena suatu keahlian semata-mata dan tercipta seketika pada saat kita diberi kesempatan memperoleh jambar hata, namun Umpasa tercipta melalui suatu kejadian yang kemudian diambil hikmahnya dengan penuh sakral sejalan dengan alam pikiran dan falsafah orang Batak.

Oleh karena Umpasa tercipta berdasarkan pengalaman pada ompu sijolojolo tubu, maka isi selalu berdasarkan perumpamaan alam ketika itu. Memamng sekarang sering dimasukkan unsur-unsur modern dengan mengganti kata-kata yang dikenal saat sekarang. Baiknya demi menjaga ke sakralan dan keindahan umpasa sebaiknya kita pertahankan Umpasa yang dibuat oleh pendahulu (ompu sijolojolo tubu. Tidak masalah umpasa tersebut bolak balik atau sering diucapkan, yang penting makna dan tujuannya yang perlu dikhayati dan di resapi.

Umpasa di ucapkan setelah inti masalah di utarakan, untuk menekankan bahwa inti kata-kata yang diutarakannya itu layak dan didukung oleh ompu sijolojolo tubu dalam bentuk Umpasa yang dibuat mereka.

Adapun perbedaan Umpasa dengan Umpama adalah :

Umpasa adalah sebagai Tamsil berbentuk pantun dua atau empat baris: Baris pertama sebagai sampiran dan baris kedua asebagai isi, mis:

Ø Landit jala porhot ni simargalagala;

Ø Hansit jala ngotngot naung adong gabe soada.

Sedang kan Umpama adalah: perumpamaan atau peribahasa . sebgai contoh :

Ø Siganda sigandua, tu pusuk ni singgolom;

Ø Nasada gabe dua, utang ni sipahilolong.

Jadi perbedaan antara Umpasa dengan Umpama hanya perbrdaan makna sakral, Umpasa lebih dipergunakan memberi pasupasu.

V-Ulos:

image

Adalah suatu kain tenun taradisional Batak, dengan bermacam corak dan masing-masing mempunyai nama dan makna serta fungsi yang berbeda pula. Umumnya ini diberikan oleh pihak hulahula kepada borunya. Karena Ulos ini memiliki makna religi maka pembuatannya mempunyai persyaratan religi pula, didalam pemberian pasu-pasu oleh hula-hula kepada boru seiring dengan memberi ulos, orang Batak yakin ulos memiliki nilai-nilai sakral itulah sebabnya pihak boru yang mendapat ulos dari hulahulanya merasa mendapat restu (pasupasu) yang dapat memberikan berkat kebahagiaan hidup bagi penerimanya.

Hingga sekarang tradisi memakai ulos masih dapat kita lihat terutama pada acara-acara adat Batak, yang sering dipakai adalah seperti ulos Jugia, Ragi hotang ragi dup, sadum, dan tidak semua ulos dapat dipakai sehari-hari.

Ulos dalam proses pembuatannya, terbuat dari bahan yang sama yaitu benang yang dipintal dari kapas. Dan yang membedakan sebuah ulos adalah proses pembuatan nya yang dapat merupakan ukuran dalam penentuan nilai sebuah ulos

Sedangkan pemberian warna dasar pada sebuah ulos adalah dari sejenis tumbuhan Nila (salaon) yang dimasukkan didalam sebuah periuk tanah yang telah diisi air. Tumbuhan ini direndam (digon-gon) berhari-hari, sampai getahnya keluar, lalu diperas dan ampasnya dibuang.Hasilnya ialah sebuah cairan berwarna hitam ke biru-biruan disebut Itom.

Dalam periuk lain yang disebut (palabuan) disediakan air hujan yang tertampung pada lekuk batu (aek ni naturige) dicampur dengan air kapur secukupnya . Cairan yang berwarna hitam kebiru-biruan tadi dimasukkan kedalam palabuan tadi, lalu diaduk hingga larut, ini disebut manggaru.

Kedalam cairan inilah benang tadi dicelupkan (disop). Sebelum dicelup benang terlebih dahulu dililit dengan benang lain pada bagian tertentu menurut warna yang diinginkan. Baru proses pencelupan dimulai, berulang ulang hingga warna yang diharapkan dapat dicapai, proses ini memakan waktu yang sangat lama, berbulan-bulan bahkan ada yang sampai tahunan.

Setelah warna yang diharapkan tercapai, benang tadi disepuh dengan air lumpur yang dicampur dengan air abu yang dimask hingga mendidih sampai benang benang tadi kelihatan mengkilat. Ini disebut mar-sigira, biasanya pekerjaan ini dilakukan pada waktu pagi ditepi kali.

Bila warna yang diharapkan sudah cukup matang, lilitan benang kemudian dibuka untuk diunggas agar benang menjadi kuat.

Benang ini sebelumnya direndam dulu dengan nasi yang lembek/bubur nasi yang kental, dan sesudah cairan ini meresap keseluruh benang, digantung pada sebuah penggunggasan untuk diunggas. Setiap jenis warna digulung pada hul-hul yang beda. Inilah yang kemudian di ani (dirajut), lalu ditenun.

Bila kita memeperhatikan ulos Batak secara teliti, maka akan kelihatan bahwa cara pembuatannya yang tergolong primitif bernilai seni yang sangat tinggi, tidak kalah bila dibandingkan dengan karya daerah lain.

Tingkatan ulos:

Seperti yang dikatakan tadi bahwa yang membedakan nilai ulos adalah tergantung proses pembuatannya yang mempunyai tingkatan tertentu.

Misalnyabagi seorang gadis yang belajar bertenun, baru diperkenankan membuat ulos parompa (yang dipergunakan untuk menggendong anak) ini disebut Mallage.

Tingkatan ini diukur dari jumlah lidi yang dipakai untuk memebri warna yang diinginkan. Tingkatan yang paling tinggi ialah bila dia telah mampu mempergunakan 7 (tujuh) buah lidi ( marsi pitu lili) dimana yang bersangkutan telah dianggap cukup mampu bertenun segala jenis ulos.

Filsafat tentang Mangulosai:

image

Ini adalah bagian yang penting karena dilatar belakangi sistem perkampungan yang umumnya hidup disekitar pegunungan atau ditepian danau (tao) maka cuzcany/iklimnya selalu dingin, karena itu orang batak sangat mengharapkan/ merindukan panas (halason), yang dapat kita dari umpasa/peribahasanya sbb: “ Sinuan bulu mambahen las, Sinuan partuturan sbahen horas”. Karena itu pada perkampungan Batak umumnya ditananm bambu disamping pertahanan (menjaga musuh) juga berfungsi sebagai penahan angin yang terlalu kencang (membawa dingin) disekitar pegunungan. Ada tiga yang dapat membuat senang “las roha), bagi leluhur di zaman dahulu yaitu: 1- Matahari, 2- Api, 3- Ulos. Masalah Api bukan menjadi sesuatu yang dipikirkan karena itu tetah ada dan teatp ada sesuai dengan waktyunya, sedangkan Api dapat dibuat, tetapi tidak praktis untuk dipergunakan untuk menghangatkan badan terutama pada malam hari, sangat berbeda dengan Ulos hanya tinggal menyelimutkan kebadan saja sudah hangat.Oleh karena itu nenek moyang zaman dahulu untuk memanaskan atau kiasan dari menyenangkan hati anak- anaknya maka diberilah ulos. Begitulah sangat berartinya ulos bagi kehidupan masyarakat Batak, hingga untuk kepesat atau ke pakan (onanpun sering orang batak zaman dulu menyandangkannya ( dialiton). Akhirnya Mangulosi masuk sebagai salah satu unsur dari adat. Dan mempunyai tata cara dalam mempergunakannya sbb: Pemberian Ulos umunya dilakukan oleh yang dituakan maksudnya Dari Tulang (hula-hula) kepada boru (parboruan), Orang tua kepada anak, Amang boru tu pormaen, Haha tu anggi. Dan ulos yang diberikanpun harus lah Ulos yang pantas, seperti: Ragidup sebagai ulos pargomgom kepada ibunya menantu (hela). Sibolang atau Ragihotang sebagai pansamot kepada bapaknya menantu (hela), begitu juga yang akan diberikan kepada menantu (hela). Ragi dup juga diberi kepada boru sebagai ulos mula gabe ( sewaktu mengharap kelahiran anak pertama).

Ditinjau dari segi pemakaian maka ada 3macam ulos yaitu:

1- Siabitonon: ragidup, Sibolang, Runyat, Jobit, Simarinjamisi, Ragi pangko dll.

2- Sihadangkononhon (sampesampe): Sirara, Sumbat, Bolean, Mangiring, Surisuri, Sadum, dll

3- Sitalitalihonon: Tumtuman, Mangiring, Padangrusa, dll

(bersambung –7)

Tata Cara Pelaksanaan Adat Batak (5)  

0 komentar

Bab V


ADAT BATAK – DALIHAN NA TOLU –(The Philosophy of Life)

dalihan natolu

1- Kekerabatan/ Partuturan :

Didalam kehidupan Orang Batak, kekarabatan (partuturan) adalah sebagai hal yang menonjol didalam Falsafah Batak , Bahkan kekarabatan tersebut menjadi tiang himpunan pertemuan satu darah serta kekerabatan itupula yang menentukan sikap dan etika didalam mejalin silaturahmi. Sistem kekerabatan orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam 3 posisi yang disebut DALIHAN NA TOLU (bahasa Toba), Di Simalungun disebut TOLU SAHUNDULAN.

Dalihan dapat diterjemahkan sebagai "tungku" dan "hundulan" sebagai "posisi duduk".Keduanya mengandung arti yang sama :

Sebagai pesan dari orang-orang tua yang terdahulu :

Tinitip sanggar bahen huruhuruan;
Jolo nisukun marga asa binoto partuturan.

Hau antaladan parasaran ni binsusur;
Sai tiur do dalanan molo sai denggan iba martutur.

3 POSISI PENTING dalam kekerabatan orang Batak, yaitu :

Dalihan Natolu

Ada (3) tiga bagian bentuk kekarabatan dan itulah yang dinamakan DALIHAN NA TOLU:
HULA HULA atau TONDONG : yaitu kelompok orang orang yang posisinya "di atas", yaitu keluarga marga pihak istri sehingga disebut Somba marhula-hula yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar memperoleh keselamatan dan kesejahteraan. Jadi posisi dan kedudukan Hulahula diakui lebih tinggi dari dua unsur lainnya (dongan tubu dan boru), pihak hulahula terhadap borunya harus bersikap manis dan tidak boleh bersikapa diktator dan tidak pula instruktif kepada kelompok boru.oleh karena itu hula hula bisa salah satu sumber kekuatan adikodrati, atau penopang daya hidup bagi masing-masing borunya.
DONGAN TUBU atau SANINA : yaitu kelompok orang orang yang posisinya "sejajar", yaitu : teman/saudara semarga sehingga disebut Manat mardongan tubu, artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan.
c. BORU : yaitu kelompok orang orang yang posisinya "di bawah", yaitu saudara perempuan kita dan pihak marga suaminya, keluarga perempuan pihak ayah. Sehingga dalam kehidupan sehari hari disebut Elek marboru artinya agar selalu saling mengasihi supaya mendapat berkat.

A. Dongan Sabutuha/ dongan tubu, (saudara satu darah) serta yang sudah dianggap saudara sedarah:

Dongan saama ni suhut; saudara satu Ayah/Bapak .
Paidua ni suhut; Saudara, Bapak nya abang adik (Paidua ni Suhut)
Haha anggi ni suhut; Saudara kakek abang adik (Haha anggi ni suhut)
Bagian Paniboli (panukun) ni suhut Saudara semarga ( Panomboli)
Dongan samarga ni suhut; Saudara semarga dari suhut
Dongan saina ni suhut (pulik marga) Saudara
Dongan sapadan ni ompu (pulik marga)
Pariban (sepengambilan/istri kakak beradik/semarga)
Dongan sahuta, raja ni ginokkon daohot ale-ale.

Falsafah dalam persaudaraan dalam satu marga:

a- Manat ma ho mardongan sabutuha, molo naeng sangap ho

b- Tampulon aek do na mardongan sabutuha.

c- Tali papaut tali panggongan;

Tung taripas laut sai tinanda do rupa ni dongan.

Keterangan : Manat mardongan sabutuha/tubu, dalam pengertian bahwa sesama saudara atau semarga, haruslah bersikap bijaksana dan arif dan saling menghormati, baik dalam perkataan maupun perbuatan jangan semborono atau saling menyakiti, meskipun didalam bercanda. Kalau seseorang yang dituakan (Ompung Bapa, Abang) harus dihormati. Sedang yang lebih muda harus disayangi atau diayomi dan dituntun. Kalau hal ini dilakukan maka akan dihormati dan terhormat dimata dongan sabutuha /tubu.

Persaudaraan pada orang Batak tidak mungkin diputuskan hubungan persaudaraannya, dengan berpedoman prinsip-prinsip „Manat mardongan sabutuha“, maka diperumpamakan „Tampulon aek do na mardongan sabutuha“ maksudnya mustahil air dipisahkan atau dibelah, bagaimanapun dia akan bersatu juga.dan dikuatkan juga dengan umpama „Tali papaut tali panggongan; Tung taripas laut sai tinanda do rupa ni dongan“; artinya: Tali paput adalah tali panggongan; meskipun jauh diseberang lautan akan dikenal juga muka saudara.


B.Boru :

Iboto dongan saama nisuhut.(saudara perempuan sebapak dari suhut)
Boru tubu dohot namboru ni suhut (saudara perempuan dari Bapak)
Boru di ampuan I ma na ro sian na asing jala jinalo niampuan di hutaniba.
Boru na gojong (nunga boru hian sian ama dohot ompu) jala laos sahuta dohot hulahula.(saudara perempuan dari Ompung ataupun Bapak yang bertempat tinggal di kampung Hulahula)
Ibebere (anak dari saudara perempuan hasuhutan)
Angka boru ni parboruan dohot bere, dohot boru ni parparibanon dohot ni sude dongan sabutuha.(anak perempuan dari saudara perempuan juga anak perempuan dari pariban, dari hasuhutan, dengan semua dongan sabutuha).
Boru ni dongan saina dohot boru ni dongan saparpadanan.

Falsafah dalam Parboruon:

a- Elek marboru, molo naeng ho sonang

b- Bungkulan do boru ( sibahen pardamean/pardomuan)

c- Durung do boru tomburan hulahula (sipanupahi do boru dihulahula)

d- Unduk marmeme anak, laos unduk do marmeme boru (artinya sama sayang pada anak dan pada boru)

e- Tinalik landorung bontar gotana;

Dos do anak dohot boru nangpe pulikpulik margana.

Keterangan: Siapa-aiapa saja yang disebut pihak Boru telah dijelaskan diatas, untuk mereka itu oleh pihak Hulahula harus bersikap „Elek marboru artinya harus lemah lembut terhadap boru kalau pihak hula-hula ingin senang. Karena Boru adalah sebagai penyokong pihak hulahula yang sangat efisien dan potensial mereka akan siap mengerjakan apapun demi hula-hula kalu pihak hula-hula bersikapa lemah lembut terhadap mereka , mereka mampu menjadi juru damai dan memepertemukan disetiap masalah dihadapi pihak hulahula, juga Boru pendukung bagi hulahulanya apabila mengalami problem didalam pendanaan suatu acara adat (manumpaki). Oleh karena itu pihak hulahula harus bersikap adil dan harus menyikapi sama dengan anak sendiri :“ Unduk marmeme anak, laos unduk do marmeme boru”. Dan diperkuat lagi dengan perumpamaan sebagai berikut: Tinalik landorung bontar gotana; dos do anak dohot boru nangpe pulikpulik margana. Jadi Boru sebagai pendukung pokok baik dalam wibawa maupun dalam materi Hulahulanya.


Sedangkan Falsafah untuk pihak bere:

a- Amak do rere, anak do bebere.

Dangka do dupang, ama do tulang.

f- Tinalik landorung bontar gotana;

Dos do anak dohot boru nangpe pulikpulik margana

Keterangan: Seorang Tulang/ Hulahula harus lebih menyayangi bere/kemakan (anak dari saura perempuannya) . Meskipun bere tersebut tidak mengawini anak perempuannya maka si Tulang harus bersikap seperti yang dikatan umpama yang artinya dipotong landorung putih getahnya, sama anak dengan boru ,meskipun dia kawin dengan anak perempuan lain status perempuan tersebut adalh sama dengan anak perempuannya sendiri.


C.Hulahula;


Tunggane (lae) dohot simatua ni suhut ( inilah yang dinamakan hula-hula langsung dari suhut)
Tulang (sebagai hula-hula dari Bapak nya suhut)
Bona Tulang(bona hula-hula) ( sebagai hula-hula dari ompung/kakeknya suhut)
Bona ni ari (Hula-hula dari bapak dari kakeknya suhut)
Tulang rorobot ( tulang dari besan/pr dari suhut serta tulang dari ibunya atau juga tulang dari opung boru suhut)
Dan juga menjadi hula-hula dari suhut , semua hula-hula dari saudara sedarah.

Falsafah untuk Hulahula:

a- Sigaton do na marhulahual (maksudnya: sama halnya bagaimana menentukan apakah Ayam itu Jantan atau betina, oleh karena itu dalam menghadapi pihak hula-hula harus hati-hati, haru mengenal sifat-sifat dan apa keinginan atau kebiasaan pihak hula-hula, agar dapat sebagai pedoman dalam menghadapi pihak hula-hula disetiap acara adat.

b- Na mandanggurhon tu dolok do iba mangalehon tu hula-hula (artinya; akan menerima restu yang berlipat ganda kalau murah hati (basa) kepada hula-hula.

c- Hula-hula i do debata na tarida (maksudnya harus dihormati (sangat) hula-hula)

d- Hula-hulai do mula ni mata ni ari binsar.(maksudanya bahwa anak dan boru bagi orang batak adalah sebagai matahahrinya (mata ni ari na), akan gelap dunia in kalau tidak mempunyai anak (berketurunan) oleh karena boru dari hukahula itu sebagaia sumber keturunan yang banyak berkat doa restu serta doa nya pada Tuhan Yang maha Esa, maka dinamakan lah mereka matahari terbit (mata ni ari binsar).

e- Obuk do jambulan na nidandan baen samara;(maksudnya restu beserta doa dari Hula-hula membuat berketurunan/ turun temurun tanpa bahaya.

f- Nidurung situma , laos dapot porapora (restu serta doa dari hula-hula maka dari miskin dapat menjadi kaya)


Nama-nama dan cara memanggil didalam kekarabatan:


1.Saudara sedarah (pardongan sabutuhaon):

Kalau kita sebagai Laki-laki:

1- Amang = (Bapak) sebagai panggilan “ Amang”.

Inang = (Ibu), panggilannya „Inang“

2- Amang tua = (bapak tua) abang dari bapak baik karena marga maupun karena hubungan pariban maka dipanggil „Amang tua“

Inangtua = adalh isteri dari Bapak tua dipanggil „Inang Tua“

3- Amang uda = (bapak uda) abang dari bapak baik karena marga maupun karena hubungan pariban maka dipanggil „Amang uda“

Inanguda = adalah isteri dari Amang uda, dipanggil „Inang uda“

4- Hahang/Akang = (abang) adalah saudara lakilaki lebih yang tua baik sebapak maupun bagi anak dari amang tua maka dipanggil „Angkang“

Angkang boru = adalah isteri dari angkang dipanggil “Angkang“

5- Anggi = (adik) adalah saudara laki-laki dari satu bapak yang lebih mudamaka dipanggil „Anggi“

Anggiboru = adalah isteri dari Anggi, dipanggil „Inang“

6- Hahadoli = (abang) adalah saudara dari keturunan abang dari opung (kakek), yang dihitung 7 generasi keatas, yang statusnya sebagai penanya (panise niba) disetiap hajat acara adat, dipanggil „Angkang doli“

Angkangboru = Isteri dari hahadoli, dipanggil „Angkang“

7- Anggidoli = (adik) adalah saudara dari keturunan adik dari opung (kakek), yang dihitung 7 generasi keatas, yang statusnya ini juga dapat sebagai penanya (panise niba) disetiap hajat acara adat, dipanggil „Anggi doli“

Anggiboru = isteri dari Anggi doli, dipanggil „Inang“

8- Ompung = (Kakek) adalah Bapak dari bapak, serta bapak dari bapak tua, atau bapak uda, dipanggil „Ompung“ atau „Ompung doli“

Ompung (ompungboru) = isterdari ompung, dipanggil „Ompungboru“

9- Amang mangulahi = (Bapak) adalah Bapak dari ompung, dipanggil „Amang“

Inangmangulahi = isteri dari amang mangulahi, dipanggil „Inang“

10- Ompung mangulahi = (kakek) adalah kakek darai kakek dipanggil „Ompung“

Ompungboru mangulahi = isteri dari ompung mangulahi, dipanggil „Ompung.,


2.Parhulahulaon (saudara lakilaki dari isteri atau Ibu atau Opung:

Kalau kita sebagai laki-laki maka kita mengatakan:

1- Simatua doli = (Mertua laki) adalah bapak,Amangtua, dan Amanguda dari isteri, maka dipanggil “Amang”

Simatua boru = (mertua perempuan), adalah isteri dari Mertua laki, isteri dari Amangtua dan isteri dari amanguda, dipanggil „Inang“

2- Tunggane (Lae) = (ipar) adalah saudara lakilaki dari isteri, dipanggil “Tunggane” atau “Lae”

Inang bao = adalah isteri dari Tunggane(Lae), dipanggil “Inang”

3- Tulang na poso = adalah anak dari Tunggane (Lae) , dipanggil „Tulang“

Nantulang na poso = isteri dari tulang naposo, dipanggil „Nantulang“

4- Ompung = adalah bapak dan ibu dari Mertua, dipanggil „Ompung“

5- Tulang = saudara laki laki dari Ibu, dipanggil „Tulang“

Nantulang = isteri dari Tulang, dipanggil „Nantulang“

6- Ompung bao = adalah orang tua dari Ibu, dipanggil „Ompung“

7- Tulang rorobot = Tulang dari Ibu serta tulang isteri

8- Tulang rorobot = semuaHula dari Hulahula

9- Bonatulang atau Bona Hulahula = adalah hulahula dari ompung suhut

10- Bona ni ari = Hulahula dari ompung suhut dari Bapak.

11- Bona ni ari = semua diatas dari no 10

3.Parboruon:

1- Hela = (menantu) adalah yang mengambil anak perempuan kita, anak perempuan dari Amangtua,Amang uda, dipanggil „Amanghela“

2- Lae = adalah kepada bapak, Amangtua danAmanguda dari helea dipanggil „Lae“

Ito = adalah Ibu, Inangtua, dan Inanguda dari Hela, dipanggil „Ito“

3- Lae = adalah yang mengambil saudara perempuan, dipanggil “Lae”.

4- Amangboru = adalah yang mengambil saudara perempuan Bapak, dipanggil “Amangboru”

Namboru = adalah saudara perempuan dari Bapak atau isteri dari Amangboru, dipanggil “Namboru”

5- Lae = adalah anak dari Amang boru, dipanggil “Lae”

6- Ito = adalah anak perempuan dari Amang boru, dipanggil „Ito“

7- Amangboru = adalah saudara kaka adaik dari Amangboru, juga dipanggil „Amangboru“

8- Lae = juga pada Bapak dari Amangboru, dipanggil „Lae“

Ito = adalahIbu dari Amang boru, dipanggil „Ito“

9- Bere = adalah kaka adik serta adik perempuan dari hela (menantu), dipanggil „Bere“

10- Bere = adalah anak serta boru dari saudara perempuan kita, dipanggil „Bere“

11- Bere = adalah saudara perempuan dari Amangboru, dipanggil „Bere“

Martarombo:

Martarombo adalah salah satu komunikasi yang efisien dalam menjalin kekerabatan pada orang Batak. Martarombo/Martutur adalah sebagai dasar penentu posisi pada marga lain atau marga yang sama dan boleh dikatakan menjadi suatu tolak ukur bagi prinsip Dalihan Na Tolu, karena Martarombo adalah saling menanyai marga, Bila orang Batak berkenalan sesama orang Batak pertama kali, biasanya mereka saling tanya Marga dan martarombo, untuk dapat menentukan posisi masing-masing. Apakah mardongan tubu/ dongan sabutuha (semarga), dengan panggilan "ampara" atau "Marhula-hula/ Mora" dengan panggilan "lae/tulang". Dan dengan martarombo juga, seseorang akan mengetahui apakah ia harus memanggil "Namboru" (adik perempuan ayah/bibi), "Amangboru/Makela",(suami dari adik ayah/Om)" Bapatua/ Amanganggi/Amanguda" (abang/adik ayah), "Ito/boto" (kakak/adik), Pariban atau Boru Tulang (putri dari saudara laki laki ibu) yang dapat kita jadikan istri, dst.

Dengan Tarombo atau martutur (Mandailing) suatu nilai budaya yang sangat mendasar dalam melestarikan tradisi, adat dan kekarabatan, berbicara dengan tarombo maka berbicara tentang Marga

Marga adalah kelompok kekerabatan menurut garis keturunan ayah (patrilineal). Sistem kekerabatan patrilineal menentukan garis keturunan selalu dihubungkan dengan anak laki laki. Seorang Batak merasa hidupnya lengkap jika ia telah memiliki anak laki laki yang meneruskan marganya. Sesama satu marga dilarang saling mengawini, dan sesama marga disebut dalam Dalihan Na Tolu disebut Dongan Tubu. Menurut buku "Leluhur Marga Marga Batak", jumlah seluruh Marga Batak kurang lebih sebanyak 416, termasuk marga suku Nias.

Karena Orang Batak menganut sistem garis keturunan ayah (patrilineal), maka posisi seorang anak laki-laki menjadi penting . Dan sudah merupakan budaya yang mendarah daging bagi orang Batak, kehadiran anak laki-laki dalam kehidupan keluarganya karena sangat pentingnya sehingga seorang wanita yang dilahirkan dalam suatu keluarga selalu mendambakan agar dia mempunyai iboto agar jangan pincang ke bahagiaan itu seperti kata umpasa berikut ini .

Habang siturtu , marpuroto puroto,
mata tumulut tulut mida halak na mariboto.
Nangpe adong ibotong ku , tubu ni amang uda ,
Dang salobian na sian namar dongan tubu .
Hansit ni naso mar iboto . Ise manorsahon i .
Ima sahit si naoto mangeruni daging i
Karena demikian pentingnya namar iboto tersebut tentu merupakan idaman dan juga merupakan tantangan jika tidak mempunyai iboto nanti jika orang tua meninggal dunia bagi yang tidak mempunyai iboto akan muncul perdebatan karena posisi perempuan kurang dominan dalam paradaton dan pembagian harta warisan. Jangankan saat membagi harta sedangkan dalam kehidupan sehari-hari saja sering wanita yang tidak punya iboto mendengar sindiran dari sanak pamili kepada ibunya karena tidak melahirkan seorang lakilaki karena nanti tidak ada si panean harta warisan seperti sawah ,kebun dan lain sebagainya, seperti cerita legenda Siboru Tumbaga yang sangat memilukan itu . Sering kita dengar ucapan sinis, sindiran yang menyakitkan hati, sehingga ibu yang tidak melahirkan seorang laki-laki sering menagis pilu dan merupakan mala petaka baginya dan merupakan dalih pula bagi pihak keluarga supaya kawin lagi agar memperoleh anak laki-laki agar kelak ada pewaris harta maka konsekwansinya adalah hidup di madu apalagi setelah mabalu .sering mangandung sibari-bari.

Pada saat sekarang sejalan dengan kemajuan teknologi , serta semakin kuatnya orang ber agama yang mengajarkan persamaan hak serta kemajuan dan kesadaran hukum oleh manusia modren saat ini dan makin banyaknya perbandingan antara etnis di muka dunia ini maka adat Paneanon (pembagian harta warisan) bagi orang batak tersebut serta posisi seorang perempuan sudah makin kuat seperti umpasa berikut ini tungkap marmeme anak singgalak marmeme boru jika anak di pangolihon sedangkan anak gadis di pabuatkon.

Bagaimana pula peranan Menenantu laki-laki yang kawin dengan seorang wanita yang tidak mempunyai iboto tentu dia harus tampil sebagai suami dan sekaligus sebagai iboto bagi sang istri dan bagi mertuanya dia akan tampil sebagai menantu dan sebagai anak sehingga apapun terjangan dan niat tidak bagus dari sanak pamili bisa diletakkan kepada posisi dengan se arif mungkin sehingga seperti peribahasa atau perumpamaan (umpasa) berikut ini :

Sinemnem aek toba,silanlan uruhuruk
nametmet marlas niroha, namagodang dang mar ungut ungut
Sai patappakma nian pajojor jala pariris
anak dohot boru bungani hagabeon
si patiur parnidaan sipahinsa simanjojak .
Pada jaman dahulu orang tidak terlalu berpikir dari mana dan bagai mana biaya anak yang dilahirkan, kalau sudah seperti kata umpasa Batak TOROP SO PIGA , SO BEGEON NI BEGU. mereka yakin bahwa Mula jadi nabolon akan memberikan rejeki kepada mereka Karena mereka yakin jika nanti setelah besar anak mereka akan mampu mencari nafkah sendiri. Pula keyakinan mereka adalah manusia lebih dahulu ada daripada harta bahwa harta akan bisa di cari bukan harta mencari manusia . Zaman dahulu orang yang mempunyai banyak anak akan selalu di segani maka sering dikatakan umpasa Maranak sampulu pitu marboru sampulu onom karena mereka akan merupakan team yang cukup besar dalam mencari napkah dan harta. Hal ini termotivasi dengan Hasangapon.

Catatan :

1- Hanya laki-laki yang Marlae, Martunggane, Martulangna poso serta marnatulang naposo

2- Sebaliknya hanya perempuan yang Mareda, maramang naposo serta marinang na poso

3- Tetapi dibeberapa daerah Batak seperti, Silindung, kalau di parparibanon, selalu umur menjadi tolak ukur siapa yang lebih tua (siahaan), dan siapa siadian(sianggian). Tetapi lain di daerah Toba, sama aturan pada siahaan dan sianggian di parparibanon serta pada pardongan sabutuhaaon.

4- Lebanleban tutur adalah ada bereku perempuan kawin pada anak sabutuhaku (masih termasuk adik) ; Yang menjadi pertanyaannya bereku boeu tadi harus memanggil apa terhadapku?, dan anak dari adikku akan memanggil apa terhadapku?. Kalau demikian kasusnya maka pedomannya adalah sistem kewkerabat tersebut tetap dibawa misalnya siperempuan (bereku) tetap memanggil aku sebagai Tulang sedangkan si lakilaki (suaminya teatap memanggil Amangtua..

Kekerabatan Dalihan na tolu juga sebagai representasi dari :

Ø Batara Guru adalah representasi dari Hulahula.

Ø Soripada (Sori) adalah representasi dari Dongan Sabutuha.

Ø Mangalabulan (Balabulan) adalah representasi dari Boru

Inilah yang menyebabkan kedudukan tinggi dari Hula-hula tidak dapat dijungkir balikkan dengan kedudukan boru, sama dengan menuklarkan kedudukan Batara guru yang menguasai Banua ginjang (penguasa langi)dengan Babulan yang menguasai banua tonga (penguasa bumi). Dengan demikian mengawini anak saudara perempuan Bapak tidak diperbolehkan bagi orang Batak.

Sehubungan dengan itulah orang Batak mengenal berbagai peribahasa dan perumpamaan tentang hulahula :

Hulahula bona ni ari, tinongos ni omputa Mulajadi
Sisuboton marulak noli, sisombaon dirim ni tahi
Yang maksudnya sbb:”Hula-hula adalah sumber terang hari,karunia dari Mulajadi.Yang perlu dihormati berulang kali disembah dengan sepenuh hati.”

Hulahula matani ari binsar,sipanupak dotondina;
Sipanuai sahalana, dinasa pomparanna.
Maksudnya:”Hula-hula adalah terang matahari, rohnya pemberi berkat, wibawanya pemberi restu, bagi seluruh keturunannya.”

Obuk do jambulan,tinumtuman bahen samara;
Pasu-pasu ni hulahula, Pitu sundut soada mara.
Maksudnya:“Rambut adalah mahkota dikepang,disusun menjadi mahkota indah; Berkat dan restu dari hula-hula, bisa tujuh turunan tiada bala.

Dari ungkapan diatas maka dapat diketahui bahwa sistem kekerabatan dalam struktur Dalihan Na Tolu, sangat terkait dengan kepercayaan religi lama Batak. Begitu tingginya posisi Hula-hula sehingga Hula-hula semata yang boleh memberi berkat (pasu-pasu) kepada borunya, sehingga ada kesan pada sebagian orang batak bahwa Hula-hula itu adalah “Debata na di ida” (Tuhan yang dilihat). Meskipun Hula-hula memiliki posisi tertinggi namun kedudukan itu harus didukung oleh kedua unsur lainnya (dongan sabutuha dan boru), jadi hubungan kekerabatan Dalihan na tolu harus dilaksanakan secara selaras dan seimbang agar konsep totalitas religi orang Batak berjalan dengan baik

Implementasi (penerapan) Dalihan Na tolu:

Didalam kehidupan Orang Batak, penetrapan Dalihan Natolu dapat dilihat dengan jelas didalam setiap acara adat Batak, salah satau contoh didalam acara perkawinan; yang mempunyai hajat (Suhut) akan ditunjanga oleh:

o Hula-hula sebagai pemberi restu yang dihormati dengan tutur kata yang wajar dan menyejukkan;

o Boru membantu hulahulanya dengan morel dan materi juga tenaga agar pelaksanaan hajat hulahulanya sukses, sedangkan

o Dongan tubu sebagai pemberi nasihat, nasihat atau saran dan pendamping hasuhutan (yang punya hajat).

Dalihan Na Tolu bukanlah kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut : ada saatnya menjadi Hula hula/Tondong, ada saatnya menempati posisi Dongan Tubu/Sanina dan ada saatnya menjadi Boru.

Dengan dalihan Na Tolu, adat Batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang. Dalam sebuah acara adat, seorang Gubernur harus siap bekerja mencuci piring atau memasak untuk melayani keluarga pihak istri yang kebetulan seorang Camat. Itulah realitas kehidupan orang Batak yang sesungguhnya. Lebih tepat dikatakan bahwa Dalihan Na Tolu merupakan SISTEM DEMOKRASI Orang Batak karena sesungguhnya mengandung nilai nilai yang universal.

Sedangkan simbol-simbol religi dari sarana pelaksanaan acara adat perkawinan adalah:

I-Alaman:

Alaman adalah pekarangan luas yang ada di tengah-tengan sebuah perkampungan orang Batak (huta), yang struktur pengaturan rumah dihuta (kampung) tersebut diatur dua sisi berhadapan dan berjajaran yang dipisahkan halaman (pekarangan) yang lebar, panjang dan rata, semakin banayk rumah (penghuni) huta tersebut semakin panjang halamannya. Dan pekarangan itu dipelihara kebersihannya secara bersama-sama, yang nantinya akan dipergunakan dalam keperluan upacara adat, disamping kegiatan sehari-hari seperti menjemur padi, dan lain-lain. Ada pengungkapan tentang makna halaman (Alaman) yang sering diucapkan raja parhata sebagai berikut:”Alaman na bidang, alaman na marampang na marjual, na marsangap na martua” (halaman yang luas,halaman yang bertuah, dan berkemuliaan), kata-kata ini selalu diucapkan pada setiap acara adat, oleh karena itu halaman tersebut harus bebas dari gangguan roh-roh jahat agar acara pemujaan dan penyembahan yang dilakukan melalui upacara adat dihalaman diterima dengan baik oleh roh-roh nenek moyang dan para dewata.

Catatan:

Tata cara pengaturan tempat duduk dalam setiap Acara adat:

Pada zaman dahulu setiap mengadakan pesta (acara adat) akan selalu membentangkan tikar dihalaman Rumah hasuhutan (yang mempunyai hajat, namun sekarang (modernisasai) Acara Adat sudah dilakukan di dalam gedung dan memakai kursi. Meskipun demikian didalam menyusun tempat duduk yang berperan didalam acara adat (Dalihan natolu) tidak ada perubahan.

Ada dua macam bentuk acara adat yaitu:

1. Acara ada satu hasuhutan ( sisada hasuhutan) seperti acara memestakan Tugu dari Ompu (tambak), Memasuki rumah (mangopoi Jabu), menerima makanan dari anak (manjalo sipanganon sian ianakkon), berkunjung ke Hulahula (paebathon), serta yang sehubungan dengan itu.

2. Acara adat dua hasuhutan (dua hasuhutan) seperti membicarakan mahar (marhata sinamot), dan yang lain seperti itu.

Didalam acara adat itu ada dua macam cara susunan duduk (parhundulan). Kalau ada yang mengantarkan makanan (paebaton, memberi/membuat makanan orangtuanya) kurang lebih begini susunan duduknya:

· Di depan suhut duduk yang datang mengantarkan makanan

· Disebelah kanan suhut : Hahadoli dohot Hulahula

· Disebelah kiri suhut : Anggi doli dohot boru.

· Orang Sekampung beserta pariban masuk kekelompok sabutuha

Kalau tidak ada yang datang mengantarkan makanan misalnya waktu acara biasa maka susunan duduk sebagai berikut:

o Hulahula didepan hasuhutan

o Disebelah kanan hahadoli serta sekampung (dongan shuta)

o Disebelah kiri Anggidoli, boru serta keluarga lainnya.

Pada Acara Adat sidua hasuhutan susunan duduk adalah sebagai berikut:

§ Saling berhadapan kedua hasuhutan dan masing-masing hasuhutan menyusun duduknya;

§ Disebelah kanan hasuhutan duduk Hahadoli serta Hulahula.

§ Disebelah kiri duduk Anggi doli dohot boru.

§ Oranng sekampung serta pariban masuk dalam kelompok sabutuha.


II-Sipanganon:

Makanan yang dipersiapkan untuk upacara adat, yang biasanya melalui petunjuk dukun (datu), hewqan apa yang akan dipotong dalam acara tersebut karena pada masa dahulu semua tingh laku peersiapan mengadakan suatu upacara adat, dilaksanakan dengan sakral, sehingga pengaturan memotong hewanpun diatur sedemikian rupa seperti menerima pisau pemotong dari hasuhutan, cara memegang pisau, berdoa, dan menusukkannya kejantung hewan, tidak boleh dua atau tiga kali (berulang-ulang). Bagian-bagian inti dari hewan yang disebut “na margoar ni juhut”, harus dipersembahkan lebih dahulu kepada roh-roh nenek moyang dan para dewata, sebelum diserahkan kepada hula-hula sebagai “tudu-tudu ni sipanganon” (pertanda kelengkapan hewan yang disiapkan untuk peralatan adat), dan kemudian dibagikan sebagai jambar juhut kepada para pihak yang berhak. Penyerahan tudu-tudu ni sipanganon pada hakikatnya sebagai pembuktian secara simbolis bahwa semua makanan yang disediakan untuk hajatan besar itu adalah “hewan utuh bukti kesungguhan acara adat, dan diberikan lebih dahulu kepada hula-hula, setelah diterima dengan baik oleh hulahula maka dipersilahkan para hadirin untuk bersantap bersama.

Hula-hula akan membalas pemberian tersebut kepada pihak boru dengan memberi dengke (ikan) sebagai tudu-tudu ni sipanganon, lengkap dengan dengke saur, dengke na porngis, dengke sitio-tio, dengke sahat, dengke simudur-udur, maksudnya adalah bahwa dengke itu adalah perlambang dari kelimpahan berkat, panjang umur dan kehidupan bahagia, serta rukun dan seia sekata pada keluarga tersebut. Biasanya dengkalah yang selalu dimakan pada masa menanam dan memanen, sebagai simbol tanda terima kasi dengka pulah lah yang dipersembahan. Sebagai kepercayaan orang Batak akan kekuatan roh yang dikandung sipanganon terlihat dari ungkapan :“Hot situtu do nasa na pinadanhon di atas ni juhut dohot indahan“ (apa yang telah disetujui dalam acara makan lengkap dengan daging dan nasi adalah mutlak, dan tak boleh berubah).

Berbicara dengan pemotongan hewan, berkaitan dengan istilah Panimboli, arti

harfiahnya adalah sesuatu pekerjaan manambol atau menyembelih hewan, jadi panamboli itu bisa saja merupakan suatu pekerjaan menyembelih hewan dalam suatu paradaton bukan di rumah jagal (rumah potong)sehingga merupakan jabatan dalam suatu pesta paradaton.

Bila akan melakukan suatu pesta Marunjuk dan panjuhuti, menurut biasanya sebagai lauk ataupun parjambaran pada pesta tersebut adalah kerbau ataupun lembu. Atas dasar itulah suhut sihabolonan dari pihak par-anak akan memberangkatkan kerabat dekatnya yaitu haha anggi ni partubu untuk menyembelih kerbau yang akan di jadikan loppan pada acara pesta tersebut. Mereka di berangkatkan dengan suatu acara resmi pada saat acara martonggoraja. Hasuhuton menyediakan tampi(anduri) yang diatasnya terletak pisau yang dibalut dengan daun tebu maka hasuhuton resmi menyuruh mereka untuk menyembelih kerbau yang sudah tersedia lengkap dengan membuat namargoar (namartandaan) sebagai jalannya Parjambaran.

Seperti kata pepetah Batak mengatakan, "adat do ia ugari si nihatton ni mulajadi. Adat pinungka ni ompunta naparjolo, si ihuttonon ni hita naparpudi". Bondar do batang toru sunge do aek puli. Borhat ma hamu dohot angka boru, hamu ma panamboli. Mereka melaksanakan tugasnya dengan sedemikian rupa dan bertanggungjawab dengan sepenuhnya akan persediaan banyaknya undangan yang akan makan. Namun, yang lebih penting dari itu mempersiapkan Namargoarna atau Parjambaran agar tidak salah atau kurang lengkap dari yang sudah dirumuskan. Supaya tidak ada kilah patajom hu piso ni parhobas.

Jadi panamboli dalam keadaan seperti ini disebutlah jabatan yaitu paidua ni suhut, sedangkan parjambarannya adalah diambil dari dada pinahan yang dipotong tersebut yaitu rusuk tiga atau lima dekat pangkal leher. Tugas dan tanggung jawab dari panamboli sangatlah strategis dan dominan dalam suatu pesta. Karena panamboli adalah dongan sabutuha. Jika dia dari pihak dongan sabutuha adalah abang beradik maka jika suatu pesta tidak mamemiliki panamboli berarti dia itu tidak mempunyai abang-adik. menurut biasanya, jikahal tersebut terjadi, berarti hasuhuton bolon lahir dengan istilah sebatangkara. Karena demikian pentingnya panamboli itu maka ada rekayasa yaitu dongan sahuta yang lain marga dijadikan menjadi panamboli, itulah sebabnya jambar panamboli tadi cara membaginyapun adalah sebelah untuk namardongan tubu dan sebelah lagi untuk dongan sahuta. Kesalahan persepsi.

Ada orang salah penapsiran akan Panamboli ini, dengan alasan bahwa kita yang satu marga adalah masih satu dalam hasuhuton. Jika masih dalam satu hasuhuton, dengan sendirinya tidak perlu memakai panamboli. Mungkin mereka berpikir, jika mereka harus mengadakan panamboli, bagaimana nantinya jika nenek mereka hanya cuma anak sasada. Berdasarkan itulah tentang masalah panamboli bukan melulu masalah berat tidaknya suatu pekerjaan. Masalah yang lebih patal dalam acara Panamboli ini adalah, mereka menapsirkan jika diadakan pesta itu dengan seorang panamboli, maka akan memecahkan namardongan tubu. Padahal jabatan atau tugas sebagai panamboli adalah adat untuk memperjelas sebuah kedudukan dalam adat Batak. Seperti ilustrasi ini menerangkan, sama halnya seperti jari tangan. Yang terdiri dari ibu jari, jari telunjuk, jari tengah jari manis, dan jari kelingking. Adapun uraian ini, agar memperjelas kedudukan belaka. Salah penapsiran ini sering terjadi di perantauan. Jadi dengan demikian berarti Panamboli adalah Jabatan dalam suatu pesta jika dipihak parboru jabatan panamboli adalah sijalo todoan atausijalo bola tambirik yang masih hubungan masih sa-ama mangulahi. Oleh karena itu agar adat paradaton ini makin bagus, kiranya perlu di sosialisasikan khususnya kepada generasi penerus tanpa mengurangi makna dari adat tersebut karena merekalah nantinya akan pelaksana adat Batak itu.