Haji Abd Halim Pardede

Haji Abd Halim Pardede
Senin, 25 April 2011

Ompu Si Toga Pardede (doli)..(1)  

0 komentar


Haji Abdul Halim Pardede aliasa Lobe Tinggi Pardede-alias Ompu Sitoga Pardede(doli)
Lahir di Lumbn Jabijabi Balige pada 23-juli 1870 dari Ibu Nan Tinggi br Siahaan (Lumban Gorat) dan BapakRaja Andareas Pardede. Beliau adalah anak Pertama dari Ibu Nan Tinggi br Siahaan , dan anak nomor dua dari Raja Andareas Pardede, Mereka tiga bersaudara dengan satu orang putri berna boru tona br Pardede kawin dengan marga Tampu Bolon.

Haji abdul Halim Pardede setelah kembali dari menuntu Ilmu ke Islaman (mengaji) di Tapanuli Selatan beliaupun dengan kerabat seangkatan masuk Islam memprakarsai Mendirikan tempat peribadatan (Mesjid) di Balige, dengan membentuk kepanitiaan yang disebut Komite Masji Balige pada tahun 1923, dengan susunan kepengurudsan sbb : H.A.Manap (sebagai Presiden), Haji Abdul Halim Pardede sebagai Vice Presiden). Haji.M.Nawawi Nainggolan (sekretaris dan kasir), Haji Selamat dan Haji Umar Simanjuntak (sebgai anggota)

Pada tahun 1927 Haji Abdul Halim Pardede meninggalkan Kota kelahirannya Balige ke daerah Simalungun tepatnya kota Parapat untuk berbagi Ilmu dan Pengalaman dibidang ke Islaman dengan putra-putra Batak yang ada di Parapat. Kehadiran HAji Abdul Halim Pardede di daerah Simalungun segera diketahaui Raja TanahJawa dan Raja Siantar, Niatnya sangat disambut dengan Baik oleh keduah Tokoh Simalungun tersebut dengan memberi kemudahan-kemudahan bagi Lobe Tinggi Pardede .
Haji Abdul Halim dengan mendaki gunung serta menyeberangi Danau Toba mengabarkan kabar gembira kepada masyarak Parapat sekitarnyayang masih menganut kepercayaan Batak. Jerih payahnya tidak sia-sia, Hampir semua orang yang ditemuinya menyambut kedatangan dan keyakinan yang diajarkan dan dikabarkannya.

Namun karena dukungan lembaga-lembaga Islam dari Pusat bahkan dari Medan sebagai ibukota Propinsi Sumatera Utara dimana ada lembaga Islam yang bernama Al-Djamiatul wasliah sama sekali tidak dapat membatu perjuangan beliau dengan mengirimkan Guru-guru Agama (ustadz) kedaerah dimana sudah dapat menerima Islam namun Pengetahuan tentang Islam utama Fiqih sama sekali belum didapat mereka, akhirnya mereka kembali keyakinan semula kemudia masuk agama Keristen (Mangundolok/Utumalasang).
Sebelum Berdiri Mesjid sekarang sebelumnya Mesjid atau Musholah pertamaada di Bawah kampung Utupasir (angkatan Laut), kemudian pindah ke Saba (sekarang PLN). semua anakdan cucunya dan beberapa anak pendatang dari Minang kabau belajar mengaji disana.
Meskipun Haji Abdul Halim Pardede Tokoh Muslim didaerah Toba dan Simalungun namun, dalam tatanan adat Batak beliau tidak ketinggalan, kalau ada yang mengundang beliu serta keluarganya mereka akan memenuhi undangan tersebut meskipun jauh dan pengundangnya beragama lain dari keyakinannya, dan beliau sangat mampu beradaptasi dengan lingkungannya, hal inlah membuat orang lain menghormatinya.
Opu si Toga doli Pardede aliasa Lobe Tinggi Pardede alias Haji Abdul Halim Pardede kawin tiga kali, Pertama dengan br Huta gaol dandari isteri pertama inilah beliau mempunyai keturunan, sedangkan dengan isteri kedua br Siregar tidak mendapay keturunan karena rumah tangga mereka tidak bertahan lama. terakhir dan ketiga kawin dengan br Saragih dari beliau inipun tidak mendapat keturunan dan bercerai mati.

Senin, 04 April 2011

PEMBAGIAN WARISAN DALAM ADAT BATAK TOBA  

0 komentar

oleh Rudini Silaban

Bangsa Indonesia memiliki keragaman suku dan budaya. Letak geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan menyebabkan perbedaan kebudayaan yang mempengaruhi pola hidup dan tingkah laku masyarakat. Kita dapat melihat hal ini pada suku-suku yang terdapat di Indonesia. Salah satu contohnya adalah suku Batak. Suku batak terbagi lagi menjadi beberapa bagian yaitu batak toba, batak simalungun, batak karo, batak pakpak dan batak mandailing. Dalam hal ini Saya mengambil pembahasan tentang batak toba.

Masyarakat Batak Toba yang berada di wilayah dataran tinggi Batak bagian Utara merupakan suatu suku yang terdapat di provinsi Sumatera Utara. Dalam masyarakat Batak Toba, dibagi lagi dalam suatu komunitas seperti sub suku menurut dari daerah dataran tinggi yang didiami. Seperti wilayah Silindung yang di dalamnya masuk daerah di lembah Silindung yaitu Tarutung, Sipahutar, Pangaribuan, Garoga dan Pahae. Daerah Humbang diantaranya Dolok Sanggul, Onan Ganjang, Lintong Ni huta, Pakkat dan sekitarnya. Sementara Toba meliputi Balige, Porsea, Samosir, Parsoburan dan Huta Julu.

Dari ketiga daerah Batak Toba tersebut, juga memiliki perbedaan dalam hal adat – istiadat juga, diantaranya perbedaan dalam tata adat perkawinan, pemakaman juga dalam pembagian warisan. Dan dalam adat – istiadat juga ada beberapa daerah yang sangat patuh terhadap dalam adat atau dengan kata lain adat – istiadat nya sangat kuat, itu dikarenakan daerah dan keadaan daerah yang masih menjunjung tinggi sistem adat- istiadat. Daerah yang sangat menjunjung tinggi adat – istiadat tersebut adalah masyarakat daerah Humbang dan daerah Toba. Masyarakat ini biasanya selalu mempertahankan kehidupan dari budaya dan adat – istiadat mereka.

Masyarakat Batak yang menganut sistim kekeluargaan yang Patrilineal yaitu garis keturunan ditarik dari ayah. Hal ini terlihat dari marga yang dipakai oleh orang Batak yang turun dari marga ayahnya. Melihat dari hal ini jugalah secara otomatis bahwa kedudukan kaum ayah atau laki-laki dalam masyarakat adat dapat dikatakan lebih tinggi dari kaum wanita. Namun bukan berarti kedudukan wanita lebih rendah. Apalagi pengaruh perkembangan zaman yang menyetarakan kedudukan wanita dan pria terutama dalam hal pendidikan.

Dalam pembagian warisan orang tua. Yang mendapatkan warisan adalah anak laki – laki sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari orang tua suaminya atau dengan kata lain pihak perempuan mendapatkan warisan dengan cara hibah. Pembagian harta warisan untuk anak laki – laki juga tidak sembarangan, karena pembagian warisan tersebut ada kekhususan yaitu anak laki – laki yang paling kecil atau dalam bahasa batak nya disebut Siapudan. Dan dia mendapatkan warisan yang khusus. Dalam sistem kekerabatan Batak Parmalim, pembagian harta warisan tertuju pada pihak perempuan. Ini terjadi karena berkaitan dengan system kekerabatan keluarga juga berdasarkan ikatan emosional kekeluargaan. Dan bukan berdasarkan perhitungan matematis dan proporsional, tetapi biasanya dikarenakan orang tua bersifat adil kepada anak – anak nya dalam pembagian harta warisan.

Dalam masyarakat Batak non-parmalim (yang sudah bercampur dengan budaya dari luar), hal itu juga dimungkinkan terjadi. Meskipun besaran harta warisan yang diberikan kepada anak perempuan sangat bergantung pada situasi, daerah, pelaku, doktrin agama dianut dalam keluarga serta kepentingan keluarga. Apalagi ada sebagian orang yang lebih memilih untuk menggunakan hukum perdata dalam hal pembagian warisannya.

Hak anak tiri ataupun anak angkat dapat disamakan dengan hak anak kandung. Karena sebelum seorang anak diadopsi atau diangkat, harus melewati proses adat tertentu. Yang bertujuan bahwa orang tersebut sudah sah secara adat menjadi marga dari orang yang mengangkatnya. Tetapi memang ada beberapa jenis harta yang tidak dapat diwariskan kepada anak tiri dan anak angkat yaitu Pusaka turun – temurun keluarga. Karena yang berhak memperoleh pusaka turun-temurun keluarga adalah keturunan asli dari orang yang mewariskan.

Dalam Ruhut-ruhut ni adat Batak (Peraturan Adat batak) jelas di sana diberikan pembagian warisan bagi perempuan yaitu, dalam hal pembagian harta warisan bahwa anak perempuan hanya memperoleh: Tanah (Hauma pauseang), Nasi Siang (Indahan Arian), warisan dari Kakek (Dondon Tua), tanah sekadar (Hauma Punsu Tali). Dalam adat Batak yang masih terkesan Kuno, peraturan adat – istiadatnya lebih terkesan ketat dan lebih tegas, itu ditunjukkan dalam pewarisan, anak perempuan tidak mendapatkan apapun. Dan yang paling banyak dalam mendapat warisan adalah anak Bungsu atau disebut Siapudan. Yaitu berupa Tanak Pusaka, Rumah Induk atau Rumah peninggalan Orang tua dan harta yang lain nya dibagi rata oleh semua anak laki – laki nya. Anak siapudan juga tidak boleh untuk pergi meninggalkan kampong halaman nya, karena anak Siapudan tersebut sudah dianggap sebagai penerus ayahnya, misalnya jika ayahnya Raja Huta atau Kepala Kampung, maka itu Turun kepada Anak Bungsunya (Siapudan).

Jika kasusnya orang yang tidak memiliki anak laki-laki maka hartanya jatuh ke tangan saudara ayahnya. Sementara anak perempuannya tidak mendapatkan apapun dari harta orang tuanya. Dalam hukum adatnya mengatur bahwa saudara ayah yang memperoleh warisan tersebut harus menafkahi segala kebutuhan anak perempuan dari si pewaris sampai mereka berkeluarga.

Dan akibat dari perubahan zaman, peraturan adat tersebut tidak lagi banyak dilakukan oleh masyarakat batak. Khususnya yang sudah merantau dan berpendidikan. Selain pengaruh dari hukum perdata nasional yang dianggap lebih adil bagi semua anak, juga dengan adanya persamaan gender dan persamaan hak antara laki – laki dan perempuan maka pembagian warisan dalam masyarakat adat Batak Toba saat ini sudah mengikuti kemauan dari orang yang ingin memberikan warisan. Jadi hanya tinggal orang-orang yang masih tinggal di kampung atau daerah lah yang masih menggunakan waris adat seperti di atas. Beberapa hal positif yang dapat disimpulkan dari hukum waris adat dalam suku Batak Toba yaitu laki-laki bertanggung jawab melindungi keluarganya, hubungan kekerabatan dalam suku batak tidak akan pernah putus karena adanya marga dan warisan yang menggambarkan keturunan keluarga tersebut. Dimana pun orang batak berada adat istiadat (partuturan) tidak akan pernah hilang. Bagi orang tua dalam suku batak anak sangatlah penting untuk diperjuangkan terutama dalam hal Pendidikan. Karena Ilmu pengetahuan adalah harta warisan yang tidak bisa di hilangkan atau ditiadakan. Dengan ilmu pengetahuan dan pendidikan maka seseorang akan mendapat harta yang melimpah dan mendapat kedudukan yang lebih baik dikehidupan nya nanti.

Ihan Batak