Haji Abd Halim Pardede

Haji Abd Halim Pardede
Kamis, 15 Maret 2012

Umpasa dalam Sastra Budaya Batak Toba (1)  

0 komentar


Masyarakat Batak Toba memiliki salah satu tradisi lisan yang dapat dikelompokkan ke dalam bentuk puisi lama, bernama umpasa.

Umpasa digubah dengan syarat-syarat berbait, bersajak, dan berirama, serta diperkeras lagi dengan jumlah baris dan suku kata tertentu. Katakata yang tersusun dalam bentuk kalimat pada umpasa mengandung nilai kepuitisan, berisi falsafah hidup, etika kesopanan, undang-undang,dan kemasyarakatan. Umpasa lebih cenderung berisi permohonan yang menjadi cita-cita hidup setiap masyarakat Batak Toba, berupa hagabeon (kebahagiaan), hamoraon (kekayaan), hasangapon(dihormati), dan saur matua (panjang umur dan sejahtera).

Penggunaan umpasa dilakukan ketika upacara adat perkawinan berlangsung sebagai media komunikasi dan permohonan kepada Tuhan Yang Mahaesa bagi kelompok-kelompok yang mempunyai andil pada upacara adat tersebut.

Suasana akan menjadi hidup apabila pembicara dari kelompok-kelompok yang terkait menggunakan umpasa dengan fasih dan berirama sambil menunjukkan kebolehannya sebagai symbol bahwa kelompok tersebut mengerti dan memahami upacara adat dengan baik.

Ulos adalah selembar kain yang ditenun sebagai kerajinan oleh wanita dengan berbagai pola dan aturan-aturan. Ulos merupakan ciri khas kebudayaan Batak Toba tradisional berwujud kebudayaan artefaks (konkrit). Sebelum masuknya agama Kristen pada masyarakat Batak Toba, ulos adalah benda yang diresapi oleh suatu kualitas/kekuatan “magis religius”. Oleh karena itu, banyak larangan dan pantangan yang tidak boleh diabaikan ketika proses penenunan karena diberkati dengan kekuatan keramat. Panjangnya harus tertentu, jika tidak, dapat mambawa maut dan kehancuran pada “tondi” atau roh sipenerima ulos. Akan tetapi, jika ulos dibuat sesuai dengan aturan berupa ukuran dan pola tertentu maka ulos akan dapat dijadikan sebagai pembimbing dalam kehidupan.

Secara umum pembuatan ulos adalah sama, yang membedakannya adalah nama, corak atau motif, dan sifat kedudukan pemakaiannya yang harus sesuai dengan jenis upacara adat ketika memberikannya. Walaupun mempunyai perbedaan, akan tetapi pemberian ulos selalu diartikan dan dihubungkan dengan makna simbolsimbol.

Ulos dianggap sebagai medium konkrit sebagai “materai” agar permohonan direstui oleh Tuhan Yang Mahaesa, bersamaan dengan penggunaan umpasa yang berisi permohonan sehingga permohonan tersebut dapat diterima oleh tondi (roh) dan daging (tubuh).

Sistem kemasyarakatan Batak Toba tertuang dalam kerangka konsep Dalihan na Tolu, artinya tungku nan bertiga. Ketiga kaki tungku masing-masing mempunyai fungsi dan kedudukan yang tidak boleh dipisahkan dan dipertukarkan untuk menjaga keseimbangan. Ketiga unsur Dalihan na Tolu terdiri dari;

Pertama, Dongan Sabutuha artinya pihak terdiri dari turunanan laki-laki satu leluhur.

Kedua, Boru artinya pihak penerima dara/perempuan mulai dari anak, suami, orang tua dari suami.

Ketiga, Hula-hula artinya pihak berdasarkan para turunan pemberi dara atau istri.

Penentuan dari sistem kemasyarakatan Batak Toba ditarik berdasarkan garis patrilineal atau garis Ayah yang setiap orang atau individu diwariskan marga. Marga adalah identitas klan atau keturunan yang diteruskan oleh laki-laki,sedangkan perempuan hanya terbatas pada individunya saja tidak sampai kepada anak-anaknya karena anak-anaknya akan mengikuti garis keturunan ayahnya (patrilineal). Patrilinial dijadikan acuan untuk menentukan posisi dalam sistem kemasyarakatan. Pergaulan dalam system kemasyarakatan Batak Toba dikatakan demokrasi, artinya setiap individu diberikan kebebasan untuk menentukan posisi kedudukannya terhadap orang lain sesuai dengan identitas marga. Apakah sebagai Dongan Sabutuha, Boru, dan Hula-hula.

Apabila seseorang telah menentukan atau mengetahui posisinya, maka dia akan menentukan sikapnya. Apabila sebagai Dongan Sabutuha hendaklah selalu seia-sekata, seperasaan,sepenanggungan, bagaikan saudara kandung dan selalu bekerja sama dalam upacara adat, maupun dalam kehidupan sehari-hari. Apabila sebagai Boru wajib menghormati Hula-hula karena Hula-hula dianggap mempunyai sahala”wibawa Roh” untuk memberikan berkat kepada pihak Boru. Demikian juga jika sebagai Hula-hula harus elek ”sayang” kepada Boru agar wibawanya bertambah kualitasnya.

Pada setiap upacara perkawinan ketiga unsur Dalihan na Tolu harus hadir dan berembuk untuk melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai adat yang berlaku dan ada beberapa proses yang sudah dilaksanakan sebelumnya. Hak dan kewajiban dirangkum ke dalam beberapa kegiatan yang mempunyai simbol, tetapi pada kesempatan ini hanya tiga simbol besar secara umum yang dibicarakan yaitu penggunaan umpasa, pemberian mahar, dan pemberian ulos.

Penggunaan Umpasa pada Upacara Adat Perkawinan Batak Toba

Masyarakat Batak Toba Tradisional adalah masyarakat tertutup yang tidak dapat mengatakan sesuatu dengan langsung. Ada suatu “nilai” yang sangat dipegang teguh oleh masyarakatnya sehingga untuk mengatakan sesuatu harus dilapisi dengan kata-kata yang membuat maknanya tersamar tetapi cukup dimengerti. Biasanya mereka menggunakan umpama (perumpamaan) dan umpasa (pantun) untuk mengatakan sesuatu kepada seseorang atau kelompok ketika melakukan

komunikasi. Pengertian umpama dan umpasa tidaklah dapat disamakan seutuhnya dengan perumpamaan dan pantun di dalam kesusastraan Indonesia. Apabila ditinjau dari segi bentuk dapat dikatakan sama, tetapi apabila ditinjau dari segi makna atau gagasan yang ingin dikemukakan maka akan terjadi perbedaan karena umpama dan umpasa menekankan makna bernilai budaya dengan membandingkan sifat-sifat, kebiasaan,karakteristik, perilaku suatu binatang, tumbuhtumbuhan,dan benda-benda yang terdapat di sekililing masyarakat Batak Toba, Misalnya:

  • Napuran tano-tano
  • Rangging masi ranggongan
  • Badanta padao-dao
  • Tondintai masigonggoman

Arti Harfiah:

v Sirih yang masih menjalar di tanah

v Menjalar saling tindih-menindih

v Tubuh kita saling berjauhan

v Tubuh kita saling berjauhan

Umpasa di atas merupakan perbandingan kebiasaan tumbuh-tumbuhan dengan kepercayaan terhadap manusia yang memiliki roh. Umpasa terdiri dari empat baris, bersajak aa/aa atau ab/ab.

Dua baris pertama merupakan sampiran dan dua baris terakhir berisi isi. Antara sampiran dan isi terdapat hubungan yang sangat halus dan harus dimaknai dalam konsep budaya.

Umpasa ini mempunyai nilai religi tradisional yang membandingkan sifat daunan sirih dengan pemahaman religi terhadap manusia yang terdiri dari dua unsur, yaitu tubuh dan roh.

Kebiasaan dari daunan sirih apabila masih menjalar di tanah (belum menjalar di pohon atau di tembok) akan saling tindih-menindih satu dengan lainnya. Demikian jugalah halnya kebiasaan daunan sirih itu dibandingkan dengan manusia, walaupun tubuhnya saling berjauhan tetapi rohnya akan saling tindih-menindih dan berdekapan satu dengan yang lain.

  • Eme sitamba tua
  • Parlinggoman ni si borok
  • Tuhanta na martua
  • Sudena hita diparorot

Arti Harfiah :

v Padi yang merunduk

v Tempat perlindungan berudu

v Tuhan kita yang Esa

v Semua kita dilindungi”

Umpasa di atas, membandingkan kebiasaan binatang dengan kepercayaan terhadap ke-Esaan Tuhan. Antara sampiran dan isi mempunyai hubungan yang sangat dekat sekali dengan “sifat memberikan perlindungan”. Pada sampiran, diuraikan sifat batang padi yang bernas akan selalu merunduk sehingga keadaan permukaan air di bawah pohon padi terlindung.

Keadaan tersebut dimanfaatkan berudu untuk berlindung dari panas matahari atau intaian dari semua pemangsa. Selanjutnya, pada isi dijelaskan ke-Esaan Tuhan pancipta langit dan bumi yang telah melindungi semua umat manusia. Oleh

karena itu, Tuhanlah tempat perlindungan manusia.

  • Balintang ma pagabe
  • Tumundalhon sitadoan
  • Ari muna do gabe
  • Molo masipaolo-oloan

Arti Harfiah:

v Balintang adalah pagabe

v Membelakangi sitadoan

v Kehidupan akan sejahtera

v Apabila seia-sekata

Umpasa di atas, membandingkan cara kerja sistem peralatan bertenun dengan kehidupan manusia yang saling tolong menolong. Pada sampiran dijelaskan sistem kerja alat bertenun saling membantu satu dengan yang lain, sehingga dapat menghasilkan ulos yang kaya akan “nilai” budaya. Pada isi, diharapkan kepada keluarga yang mempunyai hajatan agar selalu seia-sekata atau bermusyawarah/ mufakat dalam segala hal. Dengan demikian, kehidupan akan damai sejahtera karena saling tolong-menong atau salingtopangmenopang.

Perumpamaan “Sise mula hata, topot mula uhum” yang mempunyai arti sapa merupakan dari awal pembicaraan, mengunjungi awal dari suatu hukum. Perumpamaan ini, masih melekat pada masyarakat Batak Toba pada saat ini. Setiap pelaksanaan upacara adat akan mengaplikasikannya dalam bentuk pembicaraan,dimana akan terjadi sapaan dan jawaban yang berkenaan dengan konteks adat yang berlangsung.

Tentu saja pembicaraan yang digunakan bukanlah menggunakan bahasa sehari-hari tetapi menggunakan umpama/umpasa yang puitis dan tertutup dengan keterusterangan sehingga kesannya berbelit-belit apabila dipandang sebelah mata.

Penggunaan umpasa ketika upacara adat perkawinan Batak Toba mempunyai makna simbolik sebagai bahasa komunikasi diantara pihak-pihak yang berkompoten untuk membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara. Setiap pembicara dari suatu utusan, pada awalnya selalu menutupi keinginannya bersembunyi dalam umpasa yang memiliki simbol. Keinginan-keinginan akhirnya, akan terjawab karena pembicara-pembicara dari utusan sudah dapat menangkap keinginankeinginan tersebut karena mereka sudah biasa melakukannya.

Selain sebagai bahasa komunikasi diantara pembicara dari setiap utusan, umpasa dapat juga berperan sebagai sarana bermohon kepada Tuhan Yang Mahaesa. Permohonanpermohonan tersebut selalu dikaitkan dengan keinginan dan kepentingan serta harapan-harapan yang diinginkan atau dicita-citakan oleh setiap orang/keluarga.

Secara umum penggunaan umpasa ketika upacara adat perkawinan, jumlahnya selalu ganjil dapat terdiri dari 3, 5, dan 7 untai umpasa,tergantung kepada orang yang menggunakannya karena angka-angka tersebut pada masyarakat Batak mempunyai pengertian yang baik, seperti yang terdapat di bawah ini:

  • Andor halumpang ma,
  • Bahen togu-togu ni lombu,
  • Saur matua ma hamu,
  • Ro dinapairing-iring pahompu.

Arti Harfiah:

v Tumbuhan merambat halumpang,

v Digunakan pengikat hidung lembu,

v Semoga panjang umur kalian

v Sampai membimbing cucu.

  • Sai tubu ma tambisu,
  • Di toru ni pinasa,
  • Sai tubu ma dihamu anak na bisuk,
  • Dohot boru na uli basa.

Arti Harfiah:

v Tumbuhlah pohon tembisu,

v Di bawah pohon nangka,

v Lahirlah putra yang bijaksana,

v Dan putri yang cantik dan baik budi.

  • Tubu ma dingin- dingin,
  • Di tonga-tonga ni huta,
  • Saur ma hita madingin,
  • Tumangkas hita mamora.

Arti Harfiah:

v Tumbuhlah pohon penyejuk,

v Di tengah-tengah perkampungan,

v Semogalah kita berbahagia,

v Serta memiliki harta kekayaan.

  • Eme sitamba tua,
  • Parlinggoman ni siborok,
  • Luhut ma hita martua,
  • Debata ma na marorot.

Arti Harfiah:

v Padi si tamba tua,

v Tempat perlindungan berudu,

v Semua kita panjang umur

v Dilindungi Tuhan Yang Mahaesa.

  • Sahat-sahat ni solu,
  • Sai sahat ma tu bontean,
  • Leleng hita mangolu,
  • Sai sahat ma tu panggabean.

Arti Harfiah:

v Sampailah biduk,

v Sampai ke tepian,

v Semoga panjang umur,

v Tercapailah cita-cita dan tujuan”.

Umpasa ini selalu digunakan oleh pihak hula-hula ketika melaksanakan upacara adat perkawinan pada masyarakat Batak Toba. Umpasa mempunyai makna simbolik agar keluarga yang dibentuk mendapat berkat berupa hagabeon (memiliki putra dan putri), hamoraon (memiliki kekayaan harta benda), hasangapon (memiliki Wibawa dan terpandang), dan saur matua (panjang umur dan dapat mencapai cita-cita). Apabila umpasa ini selesai dikatakan oleh seseorang maka seluruh hadirin menjawab dengan kata Ima tutu (demikianlah adanya).

Pada akhir acara adat perkawinan, setelah semua pihak Hula-hula selesai memberikan ulos,petuah, dan kata-kata berkat/harapan kepada pengantin dan kepada semua pihak paranak, maka pihak paranak akan menjawab segala kebaikan atau kemurahan hati Hula-hula yang telah memberikan berkat sebagai inti dan kata akhir dari upacara adat perkawinan. Salah seorang dari paranak menjawab diiringi dengan penggunaan umpasa, agar segala pemberian petuah, berkat, dan harapan untuk hidup sejahtera dapat terwujud,terutama kepada keluarga pengantin.

  • Turtu ninna anduhur
  • Tio ninna lote
  • Sude hata nauli
  • Sai unang muba, unang mose

Arti Harfiah:

  • Turtu kicauan burung perkutut
  • Indah kicauan burung puyuh
  • Semua petuah/berkat
  • Jangan berganti, jangan berubah”.

  • Naung sampulu pitu
  • Jumadi sampulu ualu
  • Hata na uli dahot pasu-pasu
  • Boanon nami mai tu tonga ni jabu

Arti Harfiah:

  • Bilangan tujuh belas
  • Selanjutnya delapan belas
  • Semua kata petuah dan berkat
  • Kami bawa ke dalam rumah.

  • Andor has ma andor his
  • Tu andor purba tua
  • Sai horas hula-hula nami jala torkis
  • Sai gabe jala saur matua

Arti Harfiah:

  • Tumbuhan has adalah tumbuhan his
  • Tumbuhan purba tua
  • Sejahteralah hula-hula kami dan sehat
  • berketurunan dan berbahagia.