Haji Abd Halim Pardede

Haji Abd Halim Pardede
Senin, 23 September 2013

Masuknya Islam Ke Tapanuli Utara  

0 komentar

Masjid Jamik, Dusun Hopong, Kecamatan Simangumban, 
Kabupaten Taput, Sumut. Berkukuran 8 x 10 meter ,
 

Masuk dan Berkembangnya Islam di Tapanuli Utara
I.              Pendahuluan
Islam merupakan agama yang terbesar di Indonesia dan karena itulah mereka selalu banyak bertindak dan bahkan mau memberikan suatu keputusan di dalam Negara republik Indonesia. Perkembangan agama ini sangat pesat dan penyebaran yang dilakukan mereka untuk menyebarkan agama ini dengan cara perdagangan, perkawinan, dan juga pendekatan dengan petinggi-petinggi tiap daerah itu.
Penyebaran islam di Indonesia dengan menggunakan tiga teori yaitu teori Gujarat, Makkah dan juga Persia. Penyebaran islam ke Indonesia tersebut langsung diterima oleh masyarakat yang dimasuki oleh para pedagang yang dari Arab tersebut.
Masuknya islam ke daerah Tapanuli utara tersebut berawal dari perang Padri yang mana pada waktu itu Tuanku Rao merupakan orang yang sangat besar dalam penyebaran terhadap islam dan hal tersebut dilakukan karena rasa kebenciannya kepada Sisingamangaraja X dan akhirnya Raja Sisingamangaraja mati ditangan Jatengger Siregar . Ada juga yang mengatakan bahwa Penyebaran islam di Tapanuli Utara melalui daerah Aceh, Mandailing, Barus dan juga yang lainnya. Namun pergerakan islam di Tapanuli Utara tidak dapat berkembang pesat karena masyarakat yang tinggal di daerah Tapanuli Utara lebih tertarik dengan kekristenan yang di bawa oleh kolonial.
Untuk itu penulis sangat senang bisa menuliskan sejarah masuknya islam ke Tapanuli Utara dan dapat menambah pengetahuan dari Penulis. Namun di dalam tulisan ini penulis tidak banyak menemukan buku yang mendukung dan untuk  itulah penulis menyajikan tulisan dengan sumber dari internet dan juga dari pendapat dari orang yang tinggal di tapanuli.
II.            Isi
a.    Perjalanan Masuknya Islam ke Sumatera Utara
Tanah batak merupakan bagian penginjilan dari wilayah yang sekarang kita kenal dengan sumatera utara. Pada masa pemerintahan colonial Hidia-Belanda, yaitu pada tahun1898 (ada juga yang mencatat sejak tahun 1842), pemerintah H-B membentuk keresidenan Tapanuli (termasuk kawasan yang sebelumnya masuk ke propinsi sumatera west kust atau sumera bagian barat). Sebagian besar dari tanah batak yaitu Pakpak-Dairi, Samosir, Toba, Silindung, Pantai Barat (Sibolga dan sekitarnya), angkola,hingga mandailing masuk kedalam keresidenan ini. Sedangkan sebagian kecil, yaitu tanah karo dan simalungun masuk ke provinsi sumatera Oos Kust atau sumatera bagian timur. Yang menjadi perhatian dari  butir ini yaitu melihat pertemuan Kristen dan islam dikawasan tanah batak yang kemudian masuk keresidenan Tapanuli. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan bahwa sebelum masuknya Injil di tanah Batak, daerah ini sudah terlebih dahulu dimasuki Islam. Terutama beberapa bagian di utara (Karo), Timur (Simalungun), selatan (Mandailing dan Angkola) dan barat (Sibolga hingga Barus). Kehadiran islam ini diperkirakan sudah ada pada abad ke-16 hingga awal abad ke-19 menurut Lance Castles, namun pengaruh islam pada waktu itu sangat kecil.
Dalam hal ini perlu juga diperhatikan bagaimana cara masuknya islam ke Tanah Batak yaitu dengan interaksi dengan orang-orang sekitar, yaitu orang di daerah Karo dan Simalungun dan ini terjadi pada abad ke-13. Batak sudah masuk islam jauh sebelum tahun 1820, namun kepastian ini beluym jelas. Salah satu motif atau dasar orang batak masuk islam adalah ekonomi, karena pedagang atau orang yang berjualan pada waktu itu adalah orang muslim. Dengan adanya [ergaulan atau hubungan tersebutlah membuat mereka bergaul demi mendapatkan keuntungan.
Periode sebelum tahun 1800 Bangkitnya rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan Baab Ullah menentang Portugis disebabkan karena tindakan bangsa Portugis yang sudah melampaui batas. Terlebih lagi setelah kaki tangan bangsa Portugis menikam Sultan Hairun, ketika memasuki benteng untuk merayakan perjanjian perdamaian yang disepakatinya. Dengan tewasnya Sultan Hairun maka sejak tahun 1570 rakyat Ternate menghalangi aktivitas bangsa Portugis yang dijalankan dalam benteng. Tahun 1575 Sultan Baab Ullah menawarkan agar Portugis menyerah dan dijamin keselamatannya untuk meninggalkan Ternate. Di Ambon bangsa Portugis mendirikan benteng namun pada tahun 1605 Ambon direbut VOC. Portugis tergusur dan menetap di pulau Timor bagian timur sampai tahun 1976. Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Akibatnya, aktivitas perdagangan para pedagang Islam di Selat Malaka terhenti dan para pedagang Islam mencari jalan sendiri untuk menjalin hubungan dengan pedagang-pedagang Islam di sebelah barat Indonesia. Serangan Kerajaan Demak ke Malaka dipimpin oleh Dipati Unus (putera Raden Patah) merupakan bukti kecemasan terhadap Portugis. Armada Demak bersama-sama dengan Armada Aceh, Palembang, dan Bintan berusaha merebut kota Malaka. Namun dua kali serangannya yaitu tahun 1512 dan 1513 mengalami kegagalan. Ketika Malaka dikuasai Portugis, di Sumatera bagian utara berdiri Kerajaan Aceh dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Kerajaan Aceh mengirim pasukan untuk menyerang Portugis di Malaka, namun serangan itu mengalami kegagalan.
Masuknya agama Islam ke Sumatera Utara dan Timur, juga awalnya dibawa oleh pedagang-pedagang dari Gujarat dan Cina. Setelah kembalinya beberapa tokoh Islam dari Mazhab Hambali yang ingin menerapkan alirannya di Sumatera Barat, timbul pertentangan antara kaum adat dan kaum ulama, yang bereskalasi kepada konflik bersenjata. Karena tidak kuat melawan kaum ulama (Paderi), kaum adat meminta bantuan Belanda, yang tentu disambut dengan gembira. Maka pecahlah perang paderi yg berlangsung dari tahun 1816 sampai 1833. Selama berlangsungnya Perang Paderi, pasukan kaum Paderi bukan hanya berperang melawan kaum adat dan Belanda, melainkan juga menyerang Tanah Batak Selatan, Mandailing, tahun 1816 - 1820 dan kemudian megislamkan tanah batak selatan dengan kekerasan senjata, bahkan dibeberapa tempat dengan tindakan yg sangat kejam. Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen ke Tanah Batak, selain agama asli Batak yaitu Parmalim, seperti di hampir di seluruh Nusantara, agama yang berkembang di Sumatera Utara adalah agama Hindu dan Buddha. Sedangkan di Sumatera Barat pada abad 14 berkembang aliran Tantra Ēaivite (Shaivite) Mahayana dari agama Buddha, dan hingga tahun 1581 Kerajaan Pagarruyung di Minangkabau masih beragama Hindu 
Agama Islam yang masuk ke Mandailing dinamakan oleh penduduk setempat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang dari Bonjol. Seperti juga di jawa timur dan banten rakyat setempat yg tidak mau masuk islam, menyingkir ke utara dan bahkan akibat agresi kaum paderi dari bonjol, tak sedikit yg melarikan diri sampai malaya. Penyerbuan Islam ke Mandailing berawal dari dendam keturunan marga Siregar terhadap dinasti Singamangaraja dan seorang anak hasil incest (hubungan seksual dalam satu keluarga) dari keluarga Singamangaraja X. Ketika bermukim di daerah Muara, di Danau Toba, Marga Siregar sering melakukan tindakan yang tidak disenangi oleh marga-marga lain, sehingga konflik bersenjatapun tidak dapat dihindari. Raja Oloan Sorba Dibanua, kakek moyang dari Dinasti Singamangaraja, memimpin penyerbuan terhadap pemukiman Marga Siregar di Muara. Setelah melihat kekuatan penyerbu yang jauh lebih besar, untuk menyelamatkan anak buah dan keluarganya, peminpin marga Siregar, Raja Porhas Siregar menantang Raja Oloan Sorba Dibanua untuk melakukan perang tanding -satu lawan satu- sesuai tradisi Batak. Menurut tradisi perang tanding Batak, rakyat yang pemimpinnya mati dalam pertarungan satu lawan satu tersebut, harus diperlakukan dengan hormat dan tidak dirampas harta bendanya serta dikawal menuju tempat yang mereka inginkan. Dalam perang tanding itu, Raja Porhas Siregar kalah dan tewas di tangan Raja Oloan Sorba Dibanua. Anak buah Raja Porhas ternyata tidak diperlakukan seperti tradisi perang tanding, melainkan diburu oleh anak buah Raja Oloan sehingga mereka terpaksa melarikan diri ke tebing-tebing yang tinggi di belakang Muara, meningggalkan keluarga dan harta benda. Mereka kemudian bermukim di dataran tinggi Humbang. Pemimpin Marga Siregar yang baru, Togar Natigor Siregar mengucapkan sumpah, yang diikuti oleh seluruh Marga Siregar yang mengikat untuk semua keturunan mereka, yaitu: Kembali ke Muara untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya. Dendam ini baru terbalas setelah 26 generasi, tepatnya tahun 1819, ketika Jatengger Siregar –yang datang bersama pasukan Paderi, di bawah pimpinan Pongkinangolngolan (Tuanko Rao)- memenggal kepala Singamangaraja X, keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, dalam penyerbuan ke Bakkara, ibu kota Dinasti Singamangaraja.
Perdaganganlah yang menyebabkan agama-agama berkembang terutama di Indonesia yaitu para kelompok pedagang mengambil rempah-rempah dan membawa ke negaranya. Pada saat itu juga banyak yangmendirikan kerajaan-kerajaan kecil misalnya Ternate di Maluku, Perlak Di Sumatera utara. Para pedagang mulai yang datang dari arab pada abad ke-13 mulai berdatangan ke Indonesia dan mereka menyebarkan agama mereka dan cara penyebaran yang mereka gunakan yaitu dengan cara menikah dan menetap di daerah tersebut.
b.    Kehidupan Tuanku Rao
Kehidupan dari Tuanku Rao di muat penulis di dalam tulisannya ini adalah untuk memberitahukan bahwa di dalam kehidupannya ada hubungan dengan masuknya islam ke Tapanuli Utara. Dengan demikian pengolahan tradisi lisan paling monumental tentang asal usul Tuanku Rao dalam historiografi tradisonal Batak adalah apa yang dilakukan Mangaradja Onggang Parlindungan (MOP). Monumental karena karya ini banyak dirujuk penulis-penulis Batak untuk mengukuhkan pembenaran tradisi lisan yang ada. Menurut MOP Si Pongkinangolngolan lahir dari hubungan incest antara putra dari Singa Mangaraja VIII yang bernama Gindoporang Sinambela dan Putri dari Singa Mangaraja IX yang bernama Putri Gana Sinambela. Oleh karena orang Batak tidak membolehkan kawin semarga maka Singa Mangaraja IX mengusir mereka agar tidak di hukum oleh khalayak ramai. Mereka berdua keluar dari Bakkara dan menuju Singkil lalu masuk Islam, dengan nama Muhammad Zainal Amiruddin Sinambela dan istrinya tetap pada kepercayaannya, sehingga mereka tidak dapat menikah secara Islam. Putri Gana Sinambela melahirkan seorang putra dan diberi nama Muhammad Fakih Amirudin Sinambela dan Putri Gana Sinambela menyebutnya “Pongki Na Ngolngolan” = “Fakih yang menunggu-nunggu”. Ketika Pongkinangolngolan datang ke Bakkara/Toba, ia menjadi anak mas dari Singa Mangarja X. 
Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh 3 orang Datu (tokoh spiritual) yang dipimpin oleh Datu Amantagor Manurung. Mereka meramalkan, bahwa Pongkinangolngolan suatu hari akan membunuh pamannya, Singamangaraja X. Oleh karena itu, Pongkinangolngolan harus dibunuh. Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati atas keponakan yang disayanginya. Namun dia memutuskan, bahwa Pongkinangolngolan tidak dipancung kepalanya, melainkan akan ditenggelamkan di Danau Toba. Dia diikat pada sebatang kayu dan badannya dibebani dengan batu-batu supaya tenggelam. Di tepi Danau Toba, Singamangaraja X pura-pura melakukan pemeriksaan terakhir, namun dengan menggunakan keris pusaka Gajah Dompak ia melonggarkan tali yang mengikat Pongkinangolngolan, sambil menyelipkan satu kantong kulit berisi mata uang perak ke balik pakaian Pongkinangolngola. Perbuatan ini tidak diketahui oleh para Datu, karena selain tertutup tubuhnya, juga tertutup tubuh Putri Gana Sinambela yang memeluk dan menangisi putra kesayangannya. Tubuh Pongkonangolngolan yang terikat kayu dibawa dengan rakit ke tengah Danau dan kemudian di buang ke air. Setelah berhasil melepaskan batu-batu dari tubuhnya, dengan berpegangan pada kayu Pongkinangolngolan berhasil mencapai sungai Asahan, di mana kemudian di dekat Narumonda, ia ditolong oleh seorang nelayan, Lintong Marpaung. Setelah bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok, Pongkinangolngolan memutuskan untuk pergi ke Minangkabau, karena selalu kuatir suatu hari akan dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak.
Pongkinangolngolan kemudian merantau ke Minangkabau, atas anjuran Tuanku Nan Rentjeh. Pongkinagolngolan di chitan sesuai dengan sarat-sarat chitan serta syahadat, pada tanggal 9 Rabiulawal 1219/H = 1804/M diislamkan dengan nama: “Umar Katab” dibalik menjadi “Umar Batak”. Pongkinangolngolan Sinambela alias Umar Katab menjadi General Officer Padry Army, dengan gelar Tuanku Rao. Oleh Padri Army Command Tuanku Rao diperintahkan tugas belajar ke Luar Negeri. Sementara itu satu versi lain tentang asal usul Tuanku Rao diungkapkan oleh Basyral dalam bukunya Greget Tuanku Rao (2007). Bagi Basyral Tuanku Rao bukan berasal dari Batak Utara tapi dari kawasan Batak Selatan. Menurutnya Tuanku Rao adalah orang Mandailing asli. Basyral mendasarkan argumennya dari sumber naskah Tuanku Imam Bonjol yang menyebut Tuanku Rao adalah Pakih Muhammad, ayahnya orang Huta Gadang (Hutanagodang di Mandailing Kecil) dan Ibunya orang Rao. 
Menarik untuk melihat keberadaan Pakih Muhammad sebagai Imam Besar Nagari Rao gelar Tuanku Rao. Ayah Tuanku Rao menurut sumber Basyral adalah orang Huta Gadang (Hutanagodang?) dan ibunya orang Rao sehingga Basyral membuat kesimpulan Tuanku Rao adalah orang Mandailing. Sayang sekali, dalam uraian asal-usul Tuanku Rao ini Basyral belum mengeksplorasi sumber-sumber Mandailing lainnya. Muhammad Said (1961) berdasar sumber yang dikutipnya meresepsi historiografi Batak tentang asal usul Tuanku Rao. Menurut Said Si Pokki Nangolngolan adalah “agresor” yang pernah datang ke tanah Batak untuk melaksanakan pengislaman. Tuanku Rao adalah Si Pokki Nangolngolan yang telah membunuh pamannya yaitu Ompu Tuan Na Bolon atau Singa Mangaraja X. Tetapi Said sangat menyayangkan sekali peristiwa penetrasi orang-orang Bonjol apalagi mengenai riwayat hidup Tuanku Rao tidak di dapat dalam sumber Padri atau sumber yang dipertahankan kenetralannya. Dalam hal ini Said memegang sumber yang lebih dianggap netral karena sumber yang diperoleh dari tangan pertama, dimana orang-orangnya masih berada dan turut serta dalam kejadian itu. Sumber tersebut ditulis oleh J.B. Neumann 1866 seorang Kontelir B.B yang menulis tentang “Studies ever Bataks en Batakschelanden” (hal 51) dan menyebut bahwa Tuanku Rao adalah berasal dari Padang Matinggi, tidak disebut bahwa Tuanku Rao berasal dari Toba. Neumann sendiri mengambil sumber karangannya dari Residen T.J Willer yang berada di Tapanuli tahun 1835. Tapi dengan menyatakan bahwa Tuanku Rao adalah si Pongki, maka sebenarnya Said lebih setuju kalau Tuanku Rao memang berasal dari tanah Batak, bukan sebagaimana disebut sumber-sumber Belanda.
Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadhan 1231 H (tahun 1816 M), dengan penyerbuan terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan oleh Marga Lubis. 5.000 orang dari pasukan berkuda ditambah 6.000 infanteri meluluhlantakkan benteng Muarasipongi, dan seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakan seorangpun. Kekejaman ini sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan penaklukkan. Setelah itu, satu persatu wilayah Mandailing ditaklukkan oleh pasukan Paderi, yang dipimpin oleh Tuanku Rao dan Tuanku Lelo, yang adalah putra-putra Batak sendiri. Selain kedua nama ini, ada sejumlah orang Batak yang telah masuk Islam, ikut pasukan Paderi menyerang Tanak Batak, yaitu Tuanku Tambusai (Harahap), Tuanku Sorik Marapin (Nasution), Tuanku Mandailing (Lubis), Tuanku Asahan (Mansur Marpaung), Tuanku Kotapinang (Alamsyah Dasopang), Tuanku Daulat (Harahap), Tuanku Patuan Soripada (Siregar), Tuanku Saman (Hutagalung), Tuanku Ali Sakti (Jatengger Siregar), Tuanku Junjungan (Tahir Daulay) dan Tuanku Marajo (Harahap).
Penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara, dilaksanakan tahun 1819. Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok dipimpin oleh Jatengger Siregar ikut dalam pasukan penyerang, guna memenuhi sumpah Togar Natigor Siregar dan membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, yaitu Singamangaraja X. Jatengger Siregar menantang Singamangaraja untuk melakukan perang tanding. Walaupun sudah berusia lanjut, namun Singamangaraja tak gentar dan menerima tantangan Jatengger Siregar yang masih muda. Duel dilakukan dengan menggunakan pedang di atasmkuda. Duel yang tak seimbang berlangsung tak lama. Singamangaraja kalah dan kepalanya dipenggal oleh pedang Jatengger Siregar. 
Tahun 1820 Tuanku Rao bermaksud menarik mundur seluruh
pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga rencana pengIslaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Namun Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya tetap di Tanah Batak, untuk menghadang masuknya tentara Belanda. Ketika keadaan bertambah parah, akhirnya Tuanku Rao melakukan pembangkangan terhadap perintah Tuanku Imam Bonjol, dan memerintahkan sisa pasukannya keluar dari Tanah Batak Utara dan kembali ke Selatan. Enam dari panglima pasukan Paderi asal Batak, yaitu Tuanku Mandailing, Tuanku Asahan, Tuanku Kotapinang, Tuanku Daulat, Tuanku Ali Sakti dan Tuanku Junjungan, tahun 1820 memberontak terhadap penindasan asing dari Bonjol/Minangkabau dan menanggalkan gelar Tuanku yang dipandang sebagai gelar Minangkabau. Bahkan Jatengger Siregar hanya menyandang gelar tersebut selama tiga hari. Mereka sangat marah atas perilaku pasukan Paderi yang merampok dan menguras Tanah Batak yang telah ditaklukkan. Namun hanya karena ingin balas dendam kepada Singamangaraja, Jatengger Siregar menahan diri sampai terlaksananya sumpah Togar Natigor Siregar dan ia behasil membunuh Singamangaraja X. Mansur Marpaung (Tuanku Asahan) dan Alamsyah Dasopang (Tuanku Kota Pinang) dengan tegas menyatakan tidak mau tunduk lagi kepada Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Nan Renceh, dan kemudian mendirikan kesultanan/kerajaan sendiri. Marpaung mendirikan Kesultanan Asahan dan mengangkat dirinya menjadi sultan, sedangkan Dasopang mendirikan Kerajaan Kotapinang, dan ia menjadi raja. Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air bangis pada 5 September 1821, sedangkan Tuanku Lelo (Idris Nasution) tewas dipenggal kepalanya dan kemudian tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti, salah satu tawanan yang dijadikan selirnya. 
c.     Alasan Masuknya Islam di tanah Batak
Menurut penulis, setidaknya ada dua alasan mengapa penyerbuan ke Tanah Batak tersebut dilakukan dengan kekerasan. Selain menyebarkan Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, penyerbuan itu juga dipicu oleh dendam keturunan marga Siregar terhadap Raja Oloan Sorba Dibanua, dinasti Singamangaraja, yang pernah mengusirnya dari Tanah Batak. Togar Natigor Siregar, pemimpin marga Siregar, pun sampai mengucapkan sumpah yang diikuti seluruh marga Siregar, akan kembali ke Batak untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya.
Agama Islam Mazhab Hambali yang masuk ke Mandailing dinamakan penduduk setempat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang dari Bonjol, meski dipimpin orang-orang Batak sendiri, seperti Pongkinangolngolan Sinambela (Tuanku Rao), Idris Nasution (Tuanku Nelo), dan Jatengger Siregar (Tuanku Ali Sakti). Dalam silsilah yang terlampir di buku ini, disebutkan bahwa Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap antara Gana Sinambela (putri Singamangaraja IX) dengan pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela (adik Singamangaraja IX). Gindoporang dan Singamangaraja IX adalah putra Singamangaraja VIII, sedangkan Gana Sinambela adalah kakak Singamangaraja X. Walaupun terlahir sebagai anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat mengasihi dan memanjakan keponakannya.
Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh tiga orang Datu (tokoh spiritual) yang dipimpin Datu Amantagor Manurung. Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati kepada keponakan yang disayanginya dengan menenggelamkandi Danau Toba. Tapi, bukannya mati tenggelam, Pongkinangolngolan terselamatkan arus hingga mencapai Sungai Asahan dan ditolong seorang nelayan bernama Lintong Marpaung. Setelah bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok, Pongkinangolngolan memutuskan pergi ke Minangkabau karena takut dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak. Di Minangkabau, pada 1804, Pongkinangolngolan diislamkan oleh Tuanku Nan Renceh, lalu dikirim ke Makkah dan Syria serta sempat mengikuti pendidikan kemiliteran pada pasukan kavaleri Janitsar Turki. Sekembalinya, pada 1815, Pongkinangolngolan diangkat menjadi perwira tentara Paderi dan mendapat gelar Tuanku Rao.
Ternyata Tuanku Nan Renceh menjalankan politik divide et impera seperti Belanda, yaitu menggunakan orang Batak untuk menyerang Tanah Batak. Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadan 1231 H (1816 M) terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan Marga Lubis. Muarasipongi berhasil diluluhlantakkan dan seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakan seorang pun. Kekejaman ini sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan penaklukan guna penyebaran agama Islam Mazhab Hambali. Setelah itu, penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara dilaksanakan 1819. Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok dipimpin Jatengger Siregar ikut dalam pasukan penyerang untuk memenuhi sumpah Togar Natigor Siregar dan membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, yaitu Singamangaraja X. Jatengger Siregar menantang Singamangaraja untuk melakukan perang tanding satu lawan satu. Singamangaraja kalah dan kepalanya dipenggal pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah dendam yang tersimpan selama 26 generasi.
Penyerbuan pasukan Paderi terhenti pada 1820, karena berjangkitnya penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara Paderi yang memasuki Tanah Batak pada 1818, hanya tersisa sekitar 30.000orang. Sebagian terbesar bukan tewas di medan pertempuran, melainkan mati karena berbagai penyakit. Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, pada 1820 Tuanku Rao bermaksud menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga rencana pengislaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Sementara itu, Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya tetap di Tanah Batak untuk menghadang masuknya tentara Belanda. Akhirnya, Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air Bangis pada 5 September 1821, sedangkan Tuanku Lelo tewas dipenggal kepalanya, sedangkan tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti, salah satu tawanan yang dijadikan selirnya.
d.    Adanya perbedaan Tapanuli Selatan dengan Tapanuli Utara yang menyebabkan Islam sulit berkembang di Tapanuli Utara
Berdasarkan disertasi Dr Lance Castles yang berjudul ”Tapanuli: Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera,” menurut Prof Pelly bisa menjelaskan mengapa terjadi perbedaan yang tajam antara masyarakat Taput dengan Tapsel. Dalam penelitiannya itu, sosiolog asal Belanda ini mengungkapkan, saat menduduki Tapanuli (1915–1942), Belanda menetapkan Taput sebagai daerah penyangga (penyekat) antara Aceh dan Minangkabau. Untuk menyekat kedua wilayah Islam ini, Belanda melancarkan strategi Kristenisasi dan penguasaan politik di Taput. Belanda berkeyakinan, hanya dengan dikristenkan, masyarakat Taput bisa menjadi ’benteng’ meluasnya pengaruh Islam dari Aceh dan Minang. Selain itu, Jika Aceh dan Minang bersatu, secara geostrategi, akan menyulitkan posisi Belanda (hlm 20–21).
Selanjutnya, Prof Pelly yang juga menjadi Staf Ahli Gubernur Sumatera Utara ini, menjelaskan proses ”pencerai-beraian” rumpun budaya Tapanuli oleh Belanda yang ditulis Castles. Pertama, sebagai bekas daerah pendudukan Kaum Paderi dari Sumatera Barat, Tapsel mengenal Islam dalam situasi perang. Belanda berusaha keras menyebarkan Kristen di wilayah ini, tapi gagal. Sampai pendudukan Belanda berakhir, misionaris Kristen hanya merekrut 4.000 penganut. Sedangkan Islam dianut oleh 16.000 penduduk Tapsel.
Kepala-Kepala Kuria (Kepala Adat) yang diangkat Belanda, agar masuk Kristen dan mau membantu kegiatan misionaris, ternyata tetap keukeuh memegang Islam. Bahkan, hingga akhir abad ke 19, semua Kepala Kuria di Tapsel, berbalik melawan misionaris dan melindungi Islam (hlm 21). 
Berdasarkan perhitungan Castles, untuk memisahkan Aceh dan Minang, sebenarnya tak perlu mengkristenkan Taput. Cukup dengan mendukung agama asli orang Batak Toba. Tapi, Belanda berkeras, hanya dengan cara dikristenkan, masyakarakat Taput bisa dimanfaatkan untuk menghalangi masuknya Islam di kawasan ini. Pada tahun 1873 Sebuah mesjid di Tarutung, Silindung, dirombak oleh Belanda. Haji-haji dan orang-orang Islam, kebanyakan, dari marga Hutagalung, diusir dari tanah leluhur dan pusaka mereka di Lembah Silindung. Belanda melakukan pembersihan etnis, terhadap muslim Batak.
Akibat Kristenisasi, Belanda harus berhadapan dengan Sisingamangaraja ke-XII. Setidaknya, terdapat dua kali pertempuran besar antara pasukan Sisingamangaraja dengan Belanda. Yakni pada tahun 1878 di pantai Selatan Danau Toba dan tahun 1883 di Tanggbatu (sekarang Balige, ibukota Kabupaten Toba Samosir).
 Setelah pertempuran, Belanda memperlambat gerak maju menguasai Samosir dan Dairi. Apalagi, Belanda harus menghadapi pertempuran di Aceh melawan pasukan Islam. Meski begitu, misionaris Kristen terus disusupkan Belanda memasuki wilayah-wilayah pedalaman, hingga hampir 100% penduduknya mengimani Kristen.
Prof Pelly menjelaskan, serangkaian proses penaklukan di atas menyebabkan satu rumpun budaya yang sama, kini tercerai-berai. Belanda menggunakan agama Kristen untuk memisahkan keduanya dari pengaruh Islam di Aceh dan Minang. ”Tapi, di luar dugaan ahli antropologi, Tapsel justru muncul menjadi perpanjangan kekuatan Islam Minangkabau di Tapanuli. Sedangkan Taput, tumbuh menjadi Kristen yang berfungsi menyekat pengaruh Islam dari Aceh dan Minang,” lanjutnya.
Proses politisasi Islam dan Kristen di Tapanuli, melahirkan identitas politik pada masing-masing kelompok. Menurut Erickson (1989: 182), identitas politik ini adalah suatu bentuk penyadaran yang tajam akan keberadaan diri sendiri dan kelompoknya. Selain itu, identitas ini merupakan satu kesatuan unik untuk memelihara masa lampaunya sendiri, baik bagi dirinya maupun orang lain. 
Karenanya, ujar Pally, jika masyarakat Taput ingin memelihara masa lalunya dengan mendirikan Provinsi Tapanuli, maka pembentukan provinsi ini bisa dilihat sebagai usaha untuk memelihara identitas politiknya yang khas. Yaitu, identitas politik yang terbentuk karena proses Kristenisasi, pemisahan budaya dan politik dari saudaranya serumpun di selatan. Hal yang sama, juga berlaku bagi masyarakat Tapsel. Penolakan mereka bergabung dalam satu provinsi merupakan manifestasi kesadaran politik, budaya dan keberagamaan masyarakat Tapsel. Mereka merasa memiliki identitas politik yang khas sebagai manifestasi identitas politik Islam yang berbeda dengan saudaranya di Taput yang Kristen.
Perkembangan islam di Tapanuli sangatlah sulit karena di dalam kehidupan Tapanuli Utara telah mempercayai kekristenanlah yang menjadi agama mereka. Penyebaran islam di Tapanuli Utara itu kebanyakan dilator belakangi dari tindakan pemerintah khususnya pemerintah Suharto yang memasukkan orang-orang dari pulau jawa ke tanah batak dengan alasan transmigrasi. Namun perkembangan islam tersebut belum begitu pesat dan itu dapat kita lihat pada sekarang ini. Perkembangan islam di tapanuli Utara itu juga dilakukan oleh para pedagang muslim yang datang dari pulau jawa atau luar sumatera dan menikah dengan orang batak (perempuan atau laki batak).
III.           Kesimpulan
Dari sajian ini penulis dapat menyimpulkan bahwa masuknya kekristenan di dalam Tapanuli Utara, itu dilatarbelakangi adanya perang padri yang menyerbu tanah batak yang dipimpin oleh Tuanku Rao karena Tuanku Rao adalah orang batak yang sudah lama tinggal di Minang Kabau. Atau dengan kata lain hal ini terjadi demi pemanfaatan yang dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Nanrenceh yang menyuruh mereka untuk menyerang tanah Batak. Penghambatan di islamisasi di Tapanuli utara juga dipengaruhi oleh adanya colonial Belanda yang menyebarkanb agama Kristen di tapanuli Utara untuk menghambat penyebaran Islam. Dalam hal ini bisa kita rasakan begitu banyaknya gereja-gereja yang ada di Tapanuli Utara, namun yang menjadi perhatian kita saat ini adalah apabila kita tidak bersatu atau berpecah belah maka islam yang ada di Tapanuli Utara tersebut akan berusaha untuk mengambil kesempatan karena pemerintah menyebarkan Islam di Tapanuli Utara dengan pembangunan masjid-masjid ditiap-tiap daerah.

HUKUM PERNIKAHAN BEDA AGAMA  

0 komentar

Memilih pasangan hidup makin tak mungkin dibatasi sekatgeografis, etnis, warna kulit, bahkan agama. Jika dahulu orang-orang diIndonesia menikah dengan orang yang paling jauh beda kabupaten, sekarang sudahkerap dengan orang beda provinsi bahkan negara. Dahulu, biasanya orang menikahdengan yang satu etnis, kini menikah dengan yang beda etnis sudah jamakterjadi. Orang Jawa tak masalah menikah dengan orang Minang. Orang Sunda pun takpantang menikah dengan orang Bugis. Tak sedikit orang berkulit sawo matangmenikah dengan yang berkulit putih, juga hitam. Orang Arab menikah dengan yangnon-Arab. Bule Amerika menikah dengan perempuan Batak.

Pernikahan beda agama pun tak terhindarkan. Globalisasimeniscayakan perjumpaan tak hanya terjadi antar orang-orang yang satu agama,melainkan juga yang beda agama. Tunas cinta bisa bersemi di kantor-kantormodern yang dihuni para karyawan beragam agama. Ruang-ruang publik sepertimall, kafe, dan lain-lain membuat perjumpaan kian tak tersekat agama. Sekatprimordial agama terus lumer dan luluh diterjang media sosial seperti facebookdan twitter. Orang tua tak mungkin membatasi agar anaknya hanya bergaul denganyang segama.

Mengahadapi kenyataan itu, para agamawan memiliki pandanganberbeda. Ada yang bersikukuh bahwa pernikahan beda agama tak diretusi Tuhan.Sebab, agama dirinya adalah terang, sementara agama orang lain adalah gelap.Terang dan gelap tak mungkin dipersatukan dalam satu ikatan perkawinan. Para agamawan yang galau ini coba menepiskan fakta, dan terus merujuk Sabdabahwa nikah beda agama adalah haram. Menurut mereka, bukan hukum Tuhan yangharus disesuaikan dengan kenyataan, tapi kenyataan lah yang harus ditundukkanpada kehendak harafiah teks Qur’an. Analogi yang sering disampaikan, bukankepala yang harus dicocokkan dengan ukuran kopyah, tapi peci lah yang mestimengikuti besar-kecilnya kepala.

Ada juga agamawan yang pasrah pada kenyataan. Menurut mereka,nikah beda agama tak mungkin untuk dilawan. Agama tak boleh mengharamkan begitusaja. Sebab manusia bebas dalam memilih agama, maka ia juga bebas menentukanpilihan pasangan dalam keluarga. ”Dalam dunia yang terus mengarah padakesederajatan agama-agama, kita tak mungkin memandang agama orang lain sebagaigelap”, tandas mereka. Dengan demikian, menurut mereka, agama harus terusditafsirkan untuk diadaptasikan dengan kondisi zaman yang selalu berubah.
Agumen Teologis Islam

Tentang nikah beda agama, para ulama Islam terbelah ke dalamtiga kelompok. Pertama, ulama yang mengharamkan secara mutlak. Dasarnya adalahal-Qur’an (al-Baqarah [2]: 221) yang mengharamkan orang Islam menikah denganlaki-laki dan perempuan musyrik. Juga, QS al-Mumtahanah [60]: 10 yang melarangorang Islam menikah dengan orang kafir. Sementara QS, al-Ma’idah ayat 5 yangmembolehkan laki-laki Muslim menikah dengan perempuan Ahli Kitab, menurutkelompok ini, sudah dibatalkan dua ayat sebelumnya itu. Secara statistik,menurut mereka, tak mungkin dua ayat yang mengharamkan bisa dikalahkan olehsatu ayat yang menghalalkan nikah beda agama. Bagi mereka, kata ”musyrik”,”kafir” dan ”Ahli Kitab” adalah sinonim (satu makna), sehingga yang satu bisamembatalkan yang lain.

Ulama pertama ini pun mengacu pada tindakan Umar ibn Khattab.Ibn Katsir menceritakan bahwa ketika QS, al-Mumtahanah: 10 turun, Umar ibnKhattab langsung menceraikan dua isterinya yang masih kafir, yaitu Binti AbiUmayyah ibn Mughirah dari Bani Makhzum dan Ummu Kultsum binti Amr bin Jarwaldari Khuza’ah.  Umar pernah hendak mencambuk orang yang menikah denganAhli Kitab. Umar marah karena ia khawatir tindakan beberapa orang yang menikahiperempuan-perempuan Ahli Kitab itu akan diikuti umat Islam lain, sehingga perempuan-perempuanIslam tak menjadi pilihan laki-laki Islam. Namun, kemarahan Umar  takmengubah pendirian sebagian Sahabat Nabi yang tetap menikahi perempuan AhliKitab. Dikisahkan, Umar pernah berkirim surat pada Khudzaifah agar yangbersangkutan menceraikan istrinya yang Ahli Kitab itu. Khudzaifah bertanyakepada Umar, ”apakah anda menyangka bahwa pernikahan dengan perempuan AhliKitab haram?”. Umar menjawab, ”tidak. Saya hanya khawatir”. Menurut saya,jawaban Umar ini menunjukkan bahwa ketidak-setujuan Umar itu tak didasarkansecara sungguh-sungguh pada teks al-Qur’an, melainkan pada kehati-hatian dankewaspadaan.

Kedua, ulama yangberpendapat bahwa keharaman menikahi orang Musyrik dan Kafir sudah dibatalkanQS, al-Maidah [5]: 5 yang membolehkan laki-laki Muslim menikahi perempuan AhliKitab. Para ulama berpendapat bahwa tiga ayat tersebut memang sama-sama turundi Madinah. Akan tetapi, ayat pertama (al-Mumtahanah ayat 10 dan al-Baqarahayat 221) lebih awal turun, sehingga dimungkinkan untuk dianulir ayat ketiga(al-Ma'idah ayat 5). Ibn Katsir mengutip pernyataan Ibnu Abbas melalui Ali binAbi Thalhah berkata bahwa perempuan-perempuan Ahli Kitab dikecualikan darial-Baqarah ayat 221. Dengan perkataan lain, keharaman menikahi orang musyrikdan orang kafir seperti tertera dalam al-Baaqarah: 221 dan al-Mumtahanah: 10telah ditakhshish (dispesifikasi) oleh al-Maidah:5.

Pendapat ini juga didukung oleh Mujahid, Ikrimah, Said binJubair, Makhul, al-Hasan, al-Dhahhak, Zaid bin Aslam, dan Rabi’ bin Anas.Thabathabai berpendirian bahwa pengharaman itu hanya terbatas pada orang-orangWatsani (para penyembah berhala), dan tidak termasuk di dalamnya orang-orangAhli Kitab. Beberapa buku tarikh mendaftar para sahabat Nabi yang melakukannikah beda agama, di antaranya adalah Utsman bin ‘Affan, Thalhah bin Abdullah,Khudzaifah ibn Yaman, Sa’ad ibn Abi Waqash, dan sebagainya. Menurut IbnuQudamah, Hudzaifah menikah dengan perempuan Majusi. Sementara menurut MuhammadRasyid Ridla, Khudzaifah menikah bukan dengan perempuan Majusi, melainkandengan perempuan Yahudi

Ketiga, ulama yangmembolehkan secara mutlak. Ulama terakhir ini melanjutkan argumen ulama keduayang tak tuntas. Jika ulama kedua hanya membolehkan laki-laki Muslim menikahdengan perempuan Ahli Kitab, maka ulama terakhir ini membolehkan hukum sebaliknya; perempuan muslim menikah dengan laki-laki Ahli Kitab. Bagi mereka,tak ada beda antara pernikahan laki-laki muslim-perempuan Ahli Kitab danpernikahan perempuan muslimah-laki-laki Ahli Kitab.  Menurut kelompok terakhirini, tak ada teks dalam al-Qur’an yang secara eksplisit melarang pernikahanperempuan muslimah dengan laki-laki Ahli Kitab. Bagi mereka, tidak adanyalarangan itu adalah dalil bagi bolehnya pernikahan perempuaan muslimah denganlaki-laki Ahli Kitab.

Kekhawatiran sebagian pihak bahwa pernikahan perempuan muslimahdengan laki-laki Ahli Kitab hanya akan melahirkan generasi non-muslim takterbukti dalam kenyataan. Berbagai penelitian tentang pasangan nikah beda agamajustru menunjukkan bahwa jika seorang ibu beragama Islam, 70 % lebih agama anakmengikuti agama si ibu. Temuan penelitian ini tak mengejutkan bagi saya. Sebab,peranan ibu dalam keluarga memang amat sentral, termasuk dalam soal agama.Tentang agama apa yang dianut oleh seorang anak biasanya tak jauh dari agama siibu, bukan agama si ayah. Dengan demikian, tak keliru sebuah pepatah Arabberkata, ”ibu adalah sekolah pertama” (al-umm hiya al-madrasah al-ula).

Apa yang dikemukakan ulama ketiga itu biasanya diacukan padaalasan kesejarahan. Alkisah, Zainab binti Muhammad SAW menikah dengan Abual-Ash. Pernikahan tak dilakukan berdasarkan syariat Islam karena iadilangsungkan sebelum Islam. Namun, yang menarik, setelah Nabi Muhammaddiangkat menjadi nabi, Abu al-Ash pun tak segera masuk Islam. Ia tetap memilihmenjadi orang musyrik, seperti umumnya penduduk Mekah saat itu. Bahkan, ketikaNabi Muhammad dan umat Islam lain hijrah ke Madinah, Abu al-Ash bersama sangistri (Zainab puteri Nabi) masih bertahan di Mekah. Alih-alih ikut hijrah, Abual-Ash justru bersekongkol dengan orang-orang kafir Musyrik Mekah memeperangiumat Islam.
Dikisahkan bahwa Abu al-Ash pernah ditangkap di Madinah atasketerlibatannya dalam perang Badar dan Uhud. Ia kemudian diminta uang tebusandan Nabi meminta agar Zainab dihijrahkan ke Madinah.

Berbagai buku sejarah menceritakan bahwa dengan hijrahnya itu,Zainab hidup terpisah dengan Abu al-Ash selama bertahun-tahun. Mereka kembali hidup serumah, setelah Abu al-Ash masuk Islam. Ibn Katsir menuturkan bahwa kembalinya Abu al-Ash ke pangkuan Zainab binti Muhammad SAW tak disertai dengan akad nikah baru. Menurut ulama ketiga itu, ini mengisyaratkan bahwa pernikahanZainab dan Abu al-Ash yang dilangsungkan sebelum Islam adalah sah sehingga takperlu ada pernikahan baru. Pernikahan Zainab dengan Abu al-Ash ini melahirkandua orang anak, yaitu Umamah dan Ali. Jika Ali meninggal dalam usia belia, maka Umamah kelak menikah dengan Ali ibn Abi Thalib setelah istrinya (Fathimah bintiMuhammad SAW) meninggal dunia. Ketika Ali ibn Abi Thalib meninggal, Umamah menikah dengan al-Mughirah bin Naufal bin al-Harits ibn Abd al-Muththalib.

Nabi juga pernah mengawinkan anak perempuannya, Ruqayyah dengan Utbah ibn Abi Lahab. Setelah Islam datang, Nabi tak meminta sang puteri untuk berpisah dengan Utbah. Perceraian terjadi bukan atas kehendak Ruqayyah atau Nabi Muhammad, melainkan atas perintah ayahanda Utbah, yaitu Abu Lahab. AbuLahab, musuh bebuyutan Islam, yang keberatan jika anak laki-lakinya menikahdengan Ruqayyah yang beragama Islam. Dengan perkataan lain, seandainya AbuLahab tak menyuruh Utbah menceraikan Ruqayyah, niscaya pernikahan itu akantetap berlangsung sekalipun si suami Musyrik dan si perempuan beragama Islamseperti yang dialami Zainab binti al-Rasul Muhammad SAW.

Bagaimana di Indonesia?

Fakta historis tersebut tampaknya tak mengubah pendiriansejumlah ulama Indonesia untuk melarang pernikahan antara orang Islam dan bukanIslam. Pernikahan beda agama dalam pandangan mereka adalah haram. Per tanggal 1Juni 1980, MUI Pusat mengeluarkan fatwa tentang haramnya pernikahan tersebut.Banyak ulama yang khawatir, seorang istri yang Islam akan tunduk dan ikut agamasi suami yang bukan Islam. Sebagian ulama di Indonesia mewaspadai kemungkinantendensi politis dari kalangan non-Islam untuk menaklukkan umat Islam melaluipernikahan beda agama. Bagi saya, kekhawatiran ini terlampau jauh, karenabanyak pernikahan beda agama yang berlangsung lama dan bertahan dengan agamanyamasing-masing.

Para ulama yang pro-pengharaman nikah beda agama itu mendapatkansokongan dari negara. Melalui Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi HukumIslam (KHI) yang berisi hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan, pemerintahmelarang umat Islam menikah dengan orang yang bukan Islam. Dalam pasal 44 KHI dinyatakan “seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan denganseorang pria yang tidak beragama Islam”. Dalam pasal 40 disebutkan, “dilarangmelangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karenakeadaan tertentu; ….(c) seorang wanita yang tidak beragama Islam”. Dengan duaayat ini tampak jelas bahwa orang Islam, baik laki maupun perempuan, dilarangmelangsungkan pernikahan dengan orang yang tak beragama Islam.

KHI memang bukan Undang-Undang (UU), melainkan sebuah Inpres.Tapi, faktanya, KHI lah yang menjadi rujukan para pegawai KUA dalam menikahkanpara laki-laki dan perempuan Islam di Indonesia. KHI juga dipakai para hakimagama dalam mengatasi persoalan-persoalan perceraian di Indonesia. Dengankenyataan ini, para pelaku nikah beda agama tak mendapatkan payung hukum yangmenjamin dan melindungi pernikahan mereka. Ini karena negara melalui KHI telahikut terlibat dalam penentuan calon pasangan bagi warga negara yang maumenikah. Para aktivis HAM berkata bahwa negara tak boleh mengintervensi dan merampashak privat setiap warga negara, termasuk dalam soal menentukan suami atauistri. Negara hanya memfasilitasi dan mencatatkan suatu pernikahan bukanmenentukan pasangan dalam pernikahan. [..]

Minggu, 22 September 2013

Penjelasan dan Macam-macam Masa Iddah  

0 komentar

Macam-macam Masa Iddah


iddah talak perceraian 

Ikatan pernikahan antara suami-istri dinyatakan habis baik di waktu hidupnya (yakni bercerai) maupun meninggal salah satu diantara keduanya. Disetiap keadaan ini terdapat kewajiban masa iddah yaitu waktu terbatas (menunggu untuk menikah lagi) secara syar’i.
Didalam masa iddah terdapat hikmah diantaranya diharamkan merobohkan nilai pernikahan yang telah sempurna, untuk mengetahui (apakah ada) tanda-tanda kehamilan didalam rahim, agar tidak menyetubuhinya kecuali memisahkan darinya, masa menunggu dan memutuskan keturunan (dari suami sebelumnya).
Hikmah yang lain adalah memuliakan ikatan pernikahan yang lalu, menghormati hak suami yang telah bercerai dan menampakkan kepada masyarakat bahwa ia telah bercerai.
Masa iddah ini terbagi atas 4 macam, yaitu :

1. Iddah masa kehamilan,

yaitu waktunya sampai masa kelahiran kandungan yang dikarenakan thalaq ba’in (perceraian yang mengakibatkan tidak kembali kepada suaminya) atau talaq raj’i (perceraian yang dapat kembali kepada suaminya) dalam keadaan hidup atau wafat. Firman Alloh ‘azza wa jalla :
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan.” QS. Ath-Thalaq ; 4

2. Iddah muthlaqah (masa perceraian),

yaitu masa iddah yang terhitung masa haidh, maka wanita menunggu tiga quru’ (masa suci), sebagaimana firman Alloh ‘azza wa jalla :
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” QS. Al-Baqarah ; 228
Yaitu 3 kali masa haidh.

3.  Perempuan yang tidak terkena haidh,

yakni ada dua jenis perempuan yaitu perempuan usia dini yang tidak/belum terkena haidh dan perempuan usia tua yang telah berhenti masa haidhnya (menopause), seperti dijelaskan Alloh ‘azza wa jalla tentang masa iddah dua jenis perempuan ini :
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haidh lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haidh.” QS. At-Thalaq ; 4

4. Istri yang ditinggal suaminya karena wafat,

Alloh menjelaskan masa iddahnya sebagai berikut :
“Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.” QS. Al-Baqarah ; 234
Ayat ini mencakup wanita yang telah disetubuhi maupun yang belum disetubuhi, usia muda maupun usia tua dan TIDAK TERMASUK WANITA HAMIL. Karena masa iddah bagi wanita hamil apabila mereka sampai melahirkan, seperti yang telah dijelaskan diatas.
Demikian yang kami nukil dari kitab Al-Hadyu An-Nabawi karya Ibnul Qoyyim (5/594-595 ; cetakan Al-Muhaqqaqah)
-diringkas dari kitab Tanbihaat ‘ala Ahkam Takhtashu bil Mu’minaat karya Syaikh Sholih Al-Fauzan ; edisi terjemah “Panduan Fiqh Praktis Bagi Wanita” penerbit Pustaka Sumayyah-
=============================

‘IDDAH ISTRI YANG DITALAK


Saya memohon penjelasan tentang iddah istri yang ditalak. Apakah istri yang ditalak dengan talak raj’i1 tetap tinggal di rumah suaminya atau ia pergi ke rumah orangtuanya sampai suaminya merujuknya?

Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah menjawab, “Wajib bagi istri yang ditalak raj’i untuk tetap tinggal di rumah suaminya dan haram bagi si suami mengeluarkan istrinya dari rumahnya, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Janganlah kalian (para suami) mengeluarkan mereka (para istri yang ditalak raj’i) dari rumah-rumah mereka dan jangan pula mereka (diperkenankan) keluar, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Itulah hukum-hukum Allah dan siapa yang melanggar hukum-hukum Allah maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.” (Ath-Thalaq: 1)
Adapun sikap orang-orang pada hari ini di mana seorang istri bila ditalak dengan talak raj’i, dengan segera ia pulang ke rumah keluarga (orangtua)nya, hal ini jelas merupakan kesalahan dan perbuatan yang diharamkan. Karena AllahTa’ala berfirman:
“Janganlah kalian mengeluarkan mereka.”
AllahTa’ala juga mengatakan:
“Dan jangan pula mereka (diperkenankan) keluar.” (Ath-Thalaq: 1)
Allah Ta’ala tidak mengecualikan larangan di atas, terkecuali bila mereka (para istri yang ditalak) melakukan perbuatan keji yang nyata. Setelah itu Allah Ta’ala berfirman:
“Itulah hukum-hukum Allah dan siapa yang melanggar hukum-hukum Allah maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.” (Ath-Thalaq: 1)
Lalu Allah Ta’ala menerangkan hikmah dari kewajiban si istri tetap tinggal di rumah suaminya dengan firman-Nya:
“Engkau tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu perkara.” (Ath-Thalaq: 1)
Maka sudah sewajibnya bagi kaum muslimin untuk menaruh perhatian terhadap hukum-hukum Allah Ta’ala dan berpegang dengan apa yang AllahTa’ala perintahkan kepada mereka. Janganlah mereka menjadikan adat /kebiasaan sebagai jalan untuk menyelisihi hal-hal yang disyariatkan. Yang penting, wajib bagi si wanita untuk memerhatikan masalah ini. Istri yang ditalak dengan talak raj’i wajib tetap tinggal di rumah suaminya hingga selesai iddahnya. Dalam keadaan/masa iddah tersebut si istri boleh membuka wajah/tidak berhijab di hadapan suami yang mentalaknya, tetap berhias dan mempercantik diri di depan suaminya, tetap memakai wangi-wangian, mengajak bicara suaminya dan suaminya berbicara dengannya. Boleh pula dia duduk-duduk bersama suaminya dan melakukan segala sesuatu terkecuali istimta’ (bernikmat-nikmat) dengan jima’ (senggama) atau mubasyarah (bersentuhan/bermesraan yang tidak sampai pada jima’). Karena istimta’ dengan jima atau mubasyarah hanya dilakukan ketika rujuk.
Si suami boleh merujuk istrinya (dalam masa iddah tersebut) dengan ucapan, ia katakan, “Aku telah merujuk istriku.” Sebagaimana ia boleh merujuk istrinya dengan perbuatan, dengan menggaulinya disertai niat rujuk.
Adapun tentang ‘iddah istri yang ditalak, kita katakan: Bila istri itu ditalak sebelum si suami dukhul dan khalwat yakni sebelum melakukan jima’, sebelum si suami berdua-duaan dengannya dan mubasyarah dengannya, maka sama sekali tidak ada iddah bagi si wanita. Dengan demikian, semata-mata talak dan ia pisah dari suaminya, berarti ia halal untuk dinikahi oleh lelaki lain.
Namun bila si suami telah dukhul dengannya, berdua-duaan ataupun menggaulinya, maka wajib bagi si istri untuk ber-’iddah. Tentang ‘iddahnya maka dilihat dari beberapa hal berikut ini:
Pertama: Bila ia dalam keadaan hamil maka ‘iddahnya sampai ia melahirkan kandungannya, baik waktunya panjang ataupun pendek. Bisa jadi, si suami mentalaknya pada waktu pagi dan sebelum dhuhur ternyata ia telah melahirkan kandungannya, yang berarti berakhir iddahnya. Bisa pula terjadi si suami mentalaknya pada bulan Muharram dan ia belum juga melahirkan kandungannya sampai tiba bulan Dzulhijjah hingga ia beriddah selama 12 bulan. Yang penting, istri yang hamil itu iddahnya dengan melahirkan kandungannya secara mutlak (tanpa melihat panjang pendeknya masa yang dijalani). Ini berdasarkan firman Allah l:
“Dan istri-istri yang sedang mengandung berakhir iddah mereka dengan melahirkan kandungan mereka.” (Ath-Thalaq: 4)
Kedua: Si istri yang ditalak tidak dalam keadaan hamil dan ia masih mengalami haid (belum menopause), maka iddahnya tiga kali haid yang sempurna setelah ia ditalak. Dengan makna, ia ditimpa haid lalu suci, beberapa waktu kemudian ia haid lagi lalu suci, dan waktu berikutnya (kali yang ketiga) ia haid lagi dan suci. Inilah tiga haid yang sempurna, sama saja apakah masanya panjang di antara ketiga haid tersebut atau tidak panjang. Berdasarkan hal ini, bila si suami mentalaknya dalam kondisi ia masih dalam masa menyusui bayi/anaknya dan ia tidak mengalami haid terkecuali setelah lewat dua tahun2 maka ia terus dalam masa ‘iddah sampai datang haid padanya sebanyak tiga kali sehingga ia menjalani masa iddah selama dua tahun atau lebih. Yang penting, wanita yang masih haid berarti iddahnya tiga kali haid yang sempurna, sama saja apakah masanya panjang ataulah pendek. Ini berdasarkan firman Allah l:
“Dan istri-istri yang ditalak hendaknya menahan diri mereka (menjalani iddah) selama tiga quru3.” (Al-Baqarah: 228)
Ketiga: Si wanita tidak mengalami haid, bisa jadi karena usianya yang masih kecil sehingga haid belum menimpanya, atau karena sudah tua, telah mengalami menopause, maka iddahnya tiga bulan. Ini berdasarkan firman Allah l:
“Dan wanita-wanita yang tidak haid lagi (menopause) dari istri-istri kalian (yang kalian talak), jika kalian ragu tentang masa iddahnya, maka iddah mereka tiga bulan, demikian pula wanita-wanita yang belum mengalami haid.” (Ath-Thalaq: 4)
Keempat: Bila si wanita tidak lagi mengalami haid karena suatu sebab yang diketahui bahwa haidnya tidak akan kembali padanya (maksudnya ia tidak akan mengalami haid lagi selama-lamanya) seperti rahimnya telah diangkat, maka wanita yang seperti ini disamakan dengan wanita yang menopause. Ia beriddah selama tiga bulan.
Kelima: Bila si wanita tidak mengalami haid dalam keadaan ia tahu apa yang menyebabkan haidnya tertahan, maka ia menanti sampai hilang penyebab yang menahan haidnya dan menanti haidnya kembali lagi. Lalu ia menghitung iddahnya dengan haid tersebut.
Keenam: Bila si wanita tidak mengalami haid dan ia tidak tahu apa penyebabnya maka para ulama mengatakan si wanita beriddah selama setahun penuh. Dengan perincian, sembilan bulan untuk masa kehamilan dan tiga bulan untuk iddah.
Demikianlah pembagian iddah istri yang ditalak.
Adapun wanita yang pernikahannya fasakh/dibatalkan dengan cara khulu’4 atau selainnya, maka cukup baginya menahan diri selama satu kali haid. Bila seorang istri meminta khulu’ kepada suaminya dengan ia atau walinya memberikan ‘iwadh kepada si suami agar si suami mau melepaskannya dari ikatan pernikahan, kemudian si suami meluluskan permintaan tersebut dengan mengambil ‘iwadh yang diberikan, maka cukup setelah perpisahan itu si istri menahan diri selama satu kali haid.
Allah llah yang memberi taufik. (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, 2/797, sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah fil ‘Aqa’id wal Ibadat wal Mu’amalat wal Adab, hal. 1028-1030)

1 Talak yang bisa dirujuk dalam masa ‘iddah, yaitu talak satu dan dua.
2 Karena biasanya ibu yang sedang menyusui tertahan haidnya.
3 Tentang quru ini ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan haid dan ada pula yang mengatakan maknanya suci dari haid.
4 Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t dalam Fathul Bari menyatakan bahwa khulu’ adalah seorang suami melepaskan istrinya dari ikatan pernikahan, dengan cara si istri memberikan iwadh/sejumlah harta untuk menebus dirinya kepada suaminya.
Sumber : http://asysyariah.com/%E2%80%98iddah-istri-yang-ditalak.html
====================================

Penjelasan Sederhana Tentang Talak (perceraian), Rujuk dan Iddah

Al-Ustadz Abu Ibrahim ‘Abdullah al-Jakarty

Diantara perkara yang penting untuk diketahui adalah permasalahan talak, oleh karena itu pada kesempatan ini kami bawakan sedikit penjelasan seputar talak yang di rangkum dari beberapa kitab fiqih dengan harapan semoga bermanfaat bagi diri penulis pribadi dan kaum muslimin.
TALAK (PERCERAIAN)
Pembahasan Pertama: Pengertian talak
Talak secara bahasa : ( التخلية) Melepaskan.
Secara syar’i : ( حل قيد النكاح أو بعضه) Melepaskan ikatan pernikahan secara menyeluruh atau sebagiannya. (Al-mulakhos Al-Fiqhiy : 410)

Pembahasan Kedua: Dalil disyari’atkannya talak dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma.
Dalil dari Al-Qur’an :
الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Thalak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Al Baqarah : 229)
Dalil dari Sunnah
Diantaranya sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar rahiyallahu anhuma bahwasannya dia menalak istrinya yang sedang haidh. Umar menanyakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لْيَتْرُكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ
“Perintahkan kepadanya agar dia merujuk istrinya, kemudian membiarkan bersamanya sampai suci, kemudian haid lagi, kemudian suci lagi. Lantas setelah itu terserah kepadanya, dia bisa mempertahankannya jika mau dan dia bisa menalaknya (mencraikannya) sebelum menyentuhnya (jima’)  jika mau. Itulah iddah seperti yang diperintahkan oleh Allah agar para istri yang ditalak dapat langsung menhadapinya (iddah)” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ijma
Berkata Asy-Syaikh Al-Allamah Shalih Al-Fauzan : “Sungguh telah dihikayatkan adanya ijma’ atas di syariat-kannya talak (cerai) lebih dari satu ulama.” (Al-Mulakhos Al-Fiqhiy : 411)

Pembahasan Ketiga: Hukum Talak
Berkata Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan : “Adapun hukumnya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan, terkadang hukumnya mubah, terkadang hukumnya makruh, terkadang hukumnya mustahab (sunnah), terkadang hukumnya wajib, dan terkadang hukumnya haram. Hukumnys sesuai dengan hukum yang lima.” (Al-Mulakhos Al-Fiqhiy : 410)
  1. Makruh
Talak yang hukumnya makruh yaitu ketika suami menjatuhkan thalaq tanpa ada hajat (alasan) yang menuntut terjadinya perceraian. Padahal keadaan rumah tangganya berjalan dengan baik.
  1. Haram
Talak yang hukumnya haram yaitu ketika di jatuhkan tidak sesuai petunjuk syar’i. Yaitu suami menjatuhkan thalaq dalam keadaan yang dilarang dalam agama kita. dan terjadi pada dua keadaan:
Pertama : Suami menjatuhkan thalaq ketika istri sedang dalam keadaan haid
Kedua : Suami menjatuhkan thalaq kepada istri pada saat suci setelah digauli tanpa diketahui hamil/tidak.
  1. Mubah (boleh)
Talak yang hukumnya mubah yaitu ketika suami (berhajat) atau mempunyai alasan untuk menalak istrinya. Seperti karena suami tidak mencintai istrinya, atau karena perangai dan kelakuan yang buruk yang ada pada istri sementara suami tidak sanggup bershabar kemudian menceraikannya. Namun bershabar lebih baik.
 فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (Qs. An-Nisa’ : 19)
  1. Sunnah
Talak yang hukumnya sunnah ketika di jatuhkan oleh suami demi kemaslahatan istrinya serta mencegah kemudharatan jika tetap bersama dengan dirinya, meskipun sesungguhnya suaminya masih mencintainya. Seperti sang istri tidak mencintai suaminya, tidak bisa hidup dengannya dan merasa khawatir tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai seorang istri. Talak yang dilakukan suami pada keadaan seperti ini terhitung sebagai kebaikan terhadap istri. Hal ini termasuk dalam keumuman firman Allah subhaanahu wata’ala :
وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ المُحْسِنِينَ
“Dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. Al Baqarah :195)
  1. Wajib
Talak yang hukumnya wajib yaitu bagi suami yang meng-ila’ istrinya (bersumpah tidak akan menggauli istrinya lebih dari 4 bulan -ed.) setelah masa penangguhannya selama empat bulan telah habis, bilamana ia enggan kembali kepada istrinya. Hakim berwenang memaksanya untuk menalak istrinya pada keadaan ini atau hakim yang menjatuhkan thalak teersebut. (Silahkan lihat Al-Mulakhos Al-Fiqhiy, Fiqih Muyyasar dan yang lainnya)

Pembahasan Keempat: Talak hanya Jatuh jika diucapkan adapun hanya niat semata tidak jatuh.

Talak hanya jatuh jika di ucapkan. Adapun niat semata dalam hati tanpa di ucapkan, tidak terhitung talak. Berkata Asy-Syaikh Al-Allamah Shalih Al-Fauzan hafidzahullah : “Tidak jatuh talak darinya dan tidak juga dari yang mewakilinya kecuali dengan di ucapakan dengannya, walaupun meniatkan dalam hatinya; tidak jatuh talak. Sampai lisannya bergerak mngucapkannya. Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam:
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ ، أَوْ تَتَكَلَّمْ
“Sesunggunya Allah memaafkan dari ummatku apa yang dikatakan (terbesik) oleh jiwanya selama tidak di lakukan dan di ucapkan.” (HR. al-Bukhari : 5269 dan Muslim : 127) (Mulakhos Al-Fiqhy : 414)

Pembahasan Kelima: Tentang Yang Berwenang Menjatuhkan Talak

Talak sah jika dari suami yang baligh, berakal, mumayyiz yang mengerti dengan apa yang dipilih, atau orang yang mewakilinya. Talak  tidak jatuh (tidak sah) dari selain suami, anak kecil, orang gila, orang mabuk, orang yang dipaksa, dan orang yang dalam keadaan marah yang sangat sehingga menutup akalnya dan tidak sadar dengan apa yang di ucapkannya.”(Fiqih Muyyasar : 305)
Diantara dalilnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
“Diangkat pena dari tiga orang, dari orang yang tidur sampai dia bangun, dari anak kecil sampai dia baligh, dari orang gila sampai dia berakal” (HR. Abu Dawud:4450, at-Tirmidzi:1423 dan Ibnu Majjah:2041)

Pembahasan Keenam: Apakah talak jatuh jika diucapkan dengan bercanda

Seseorang yang mengatakan kepada istrinya dengan sekedar bercanda, “kamu saya talak” atau “kamu saya cerai” maka jatuh talaknya. Dia terhitung telah menjatuhkan talak kepada istrinya walaupun dia hanya bercanda/bersendau gurau. Hal ini berdasarkan sebuah hadits. Dari Abu Hurairah rdhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda:
ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ
“Tiga perkara yang sungguhnya mereka dianggap sebagai kesungguhan dan yang bercandanya dianggap sebagai sungguhan, nikah, talak dan rujuk” (HR. Abu Dawud 2129, at-Tirmidzi : 1184 dan Ibnu Majjah : 2039 dan dihasankan oleh syaikh al-Albani di Irwa’ : 1826)

Pembahasan Ketujuh: Tentang Lafadz-lafadz talak

Talak bisa jatuh dengan setiap lafadz yang menunjukkan kepadanya yaitu :
  1. Lafadz yang sharih, yaitu lafadz yang tidak dipahami darinya selain dari talak. Seperti lafadz talak (cerai) atau pecahan dari kata itu atau yang semisalnya. Seperti suami yang mengatakan kepada istrinya kamu saya cerai.
  2. Dengan kinayah (kiasan) lafadz yang mengandung makna talak dan makna yang lainnya, jatuh sebagai talak jika di niatkan sebagai talak, atau adanya qarinah (indikasi) yang menunjukkan pada maksud tersebut. Seperti suami mengatakan kepada istrinya pergi sana atau kembali sana kepada keluargamu.”(silahkan lihat Minhajus Saalikiin, Syaikh As-Sa’di :274, Mulakhos Al-Fiqhy, Syaikh Shalih Al-Fauzan : 413, Fiqih Muyyasar).

 

Pembahasan Kedelapan: Tentang Talak di tinjau dari Ta’liq dan Tanjiz

Talak bisa jatuh dengan munjazah (langsung) atau mu’alaqah (terikat dengan syarat)
Al-Munjazah : yaitu talak yang sejak dikeluarkan perkataan tersebut bermaksud untuk menalak, sehinga seketika itu jatuhlah talak. Seperti perkataan “kamu saya talak (cerai)”
Mu’allaqah: yaitu seseorang suami menjadikan jatuh talak tergantung pada syarat. Seperti perkataan suami kalau kamu tetap pergi ketempat itu kamu tertalak.

Pembahasan Kesembilan: Tentang apakah talak jatuh jika dengan tulisan


Tulisan adalah sarana untuk mengungkapkan/menerangkan apa yang ada didalam hati sebagaimana diungkapkan/diucapkan dengan lisan. Maka talak dianggap jatuh (sah/terhitung) dengan tulisan walaupun dilakukan oleh orang yang bisa berbicara, ini pendapatnya jumhur (mayoritas) ulama. Tertulis dalam kitab Muhalla Ibnu Hazm perkataan: “Sungguh manusia berselisih pada permasalahan ini; telah diriwayatkan kepada kami dari an-Nakha’i, as-Sa’bi’ dan az-Zuhri apabila seorang menulis talak dengan tangannya maka talak sebuah keharusan (jatuh), dengannya al-Auza’i, Hasan bin Hay dan Ahmad bin Hambal berpendapat.” (al-Muhalla : 11/514) begitu juga yang difatwakan oleh Ibnu Baaz.

Pembahasan Kesepuluh: Tentang seseorang yang Ragu-ragu apakah dirinya sudah menalak istrinya

Berkata Asy-Syaikh al-Allamah Shalih Al-Fauzan : “apabila ragu-ragu akan jatuhnya talak, dan yang di inginkan dari ragu-ragu apakah terjadi talak darinya, atau ragu-ragu bilangan talak, atau ragu-ragu apakah telah terjadi syaratnya :
  • Apabila ragu-ragu telah jatuh talak darinya, maka istrinya tidaklah tertalak hanya semata-mata ragu-ragu. Dikarenakan pernikahannya dibangun diatas keyakinan dan tidak bisa gugur hanya karena ragu-ragu.
  • Apabila ragu-ragu terjadinya syarat yang dia syaratkan dalam talaknya seperti dia berkata, “Apabila kamu masuk rumah maka kamu saya talak (cerai).” Kemudian ragu-ragu tentang masuknya istri ke rumah. Sesungguhnya dia tidak tertalak hanya karena ragu-ragu sebagaimana penjelasan yang lalu.
  • Apabila yakin terjadinya talak darinya dan ragu-ragu tentang bilangannya tidaklah jatuh kecuali satu dikarenakan dia yakin terjadinya talak, adapun lebih dari itu dia ragu-ragu. Dan keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan. (Mulakhos Al-Fiqhy, Syaikh Shalih Al-Fauzan : 413).

Pembahasan Kesebelas: Tentang talak sunnah dan talak bid’ah

  • Pengertian talak sunnah dan talak bid’ah
Talak sunnah adalah talak yang terjadi sesuai dengan syar’i. Yaitu seorang suami menceraikan istrinya dengan ucapan satu kali talak dalam keadaan suci yang pada saat suci sang suami belum mencampurinya, dan membiarkannya serta tidak mengikuti dengan talak yang berikutnya sampai habis masa iddahnya.
Talak bid’ah adalah talak yang dijatuhkan oleh pelakunya dalam bentuk yang haram. Seperti mengucapkan talak tiga dengan satu kali ucapan (lafadz). Atau mentalak istrinya dalam keadaan haid atau mentalak istrinya dalam keadaan suci namun setelah digauli yang tidak diketahui hamil tidaknya. Hukum talak seperti ini haram. (Fiqih Muyyasar : 305, Mulakhos Al-Fiqhy : 413).
  • Hukum talak sunnah dan talak bid’ah
Hukum talak sunnah : Para ulama sepakat bahwa talak sunnah jatuh sebagai talak.
Hukum talak bid’ah : diharamkan atas suami untuk mentalak dengan talak bid’ah, baik pada jumlah bilangan (sekaligus tiga –ed) atau pada waktu (ketika haid –ed). adapun dari sisi jatuh tidaknya talak, maka jatuh talaknya dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Ibnu Umar yang menalak istrinya ketika haid untuk merujuknya. tidaklah rujuk kecuali setelah terjadinya talak. (Silahkan lihat Fiqih Muyyasar : 305)

Pembahasan Keduabelas: Tentang Talak Raj’i dan Talak Ba’in

Seorang suami yang merdeka mempunyai kesempatan untuk menalak istri yang telah digaulinya sebanyak tiga kali. Para ulama sepakat bahwa talak itu ada dua macam
  1. Talak Raj’i
Talak raj’i adalah talak yang setelah dijatuhkan sang suami masih mempunyai hak untuk merujuk kembali istrinya selama dalam masa iddah, tanpa tergantung persetujuan istrinya dan tanpa akad yang baru. Yaitu talak pertama dan kedua yang sang suami mempunyai hak untuk rujuk pada masa iddah kapan saja dia mau walaupun istri tidak rela dirujuk.
  1. Talak bain
Talak bain ada dua macam :
Pertama : Talak ba’inunah shugra (perpisahan yang kecil) adalah talak yang setelah dijatuhkan oleh suami tidak memiliki peluang untuk rujuk kembali kepada istrinya. Jika ingin kembali dengan akad nikah yang baru dan tidak harus dinikahi dulu oleh laki-laki lain.
Yaitu terjadi ketika masa iddah istri dalam talak raj’i (talak satu dan dua) telah selesai, dan sang suami belum merujuknya. Atau contoh yang lain yaitu talak yang dijatuhkan kepada istri yang belum pernah digauli (berhubungan suami istri) maka hukum perceraiannya adalah ba’inunah sughra. Tidak halal bagi suami untuk merujuknya, jika ingin kembali kepada istrinya itu (mantan istri -ed) atas persetujuan istri dan dengan akad nikah yang baru. Karena hak rujuk ada pada masa iddah sedangkan kondisi seperti ini tidak ada masa iddahnya.
Kedua : Talak ba’inunah kubra (perpisahan yang besar) adalah talak yang setelah dijatuhkan oleh suami tidak ada kesempatan/peluang untuk rujuk (kembali) kepada istrinya. Jika ingin kembali atas persetujuan istri (baca mantan istri -ed) dan dengan akad nikah yang baru. dan setelah mantan istrinya menikah dengan laki-laki lain dan telah melakukan hubungan suami istri (jima’), lalu mantan istrinya itu dicerai atau suaminya meninggal dan masa iddahnya telah selesai.
Contoh talak tiga, seorang suami menalak istrinya, kemudian merujuknya dalam masa iddah atau menikahinya setelah habis masa iddahnya. Lalu menalak lagi, kemudian merujuknya dalam masa iddah atau menikahinya setelah habis masa iddahnya, lalu dia menalaknya lagi yang ketiga kalinya. Inilah talak ba’inah Qubra yang menjadikan istrinya tidak bisa dirujuk lagi.

RUJUK

Pembahasan Pertama: Pengertian Rujuk

Rujuk adalah mengembalikan istrinya yang tertalak yang bukan pada talak bain kepada keadaan sebelum terjadinya talak tanpa adanya akad.

Pembahasan Kedua: Dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma disyariatkan rujuk
Dari Al-Qur’an
أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا
“…dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.” (Qs. Al-Baqarah : 228)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda :
مره فيراجعها ثم ليطلقها طاهرا أو حاملا
“Suruh dia merujuk kembali istrinya, kemudian silahkan dia menalaknya dalam keaadaan suci atau sedang hamil.” (HR. Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Ijma
Berkata Asy-Syaikh al-Allamah Shalih Al-Fauzan hafidzahullah : berkata Ibnul Mundzir“Para ulama sepakat bahwa seorang suami yang merdeka apabila mentalak yang bukan talak tiga dan seorang budak apabila mentalak yang bukan talak dua maka baginya ada hak untuk rujuk pada masa iddah.” (Al-Mulskhos Al-Fiqhiy : 416)

Pembahasan Ketiga: Talak yang bisa dirujuk dan beberapa macam keadaan wanita yang tertalak

  • Talak yang ada kesempatan seorang suami untuk rujuk adalah talak kepada istri yang sudah pernah digauli pada talak pertama atau kedua dalam masa iddah. Adapun talak ketiga tidak ada kesempatan seorang suami untuk rujuk begitu juga istri yang tertalak dalam keadaan belum pernah digauli.
  • Wanita yang tertalak pada talak pertama dan kedua statusnya masih sebagai istrinya yang sah selama dalam masa iddah. Dia masih berhak menerima nafkah, tempat tinggal dan dia harus berada pada rumah suaminya. Begitu juga haram hukumnya seorang istri yang tertalak dengan talak pertama atau kedua menawar-nawarkan dirinya untuk dinikai oleh orang lain dalam masa iddahnya, karena statusnya masih istri dari suaminya.

Pembahasan Keempat: Tata cara rujuk

Rujuk adalah hak mutlak suami di masa iddah wanita yang ditalak raj’i. Hak mutlak ini tanpa ada syarat kerelaan istri. Tatacara merujuk harus sesuai syar’i:
  1. Niat untuk merujuk istrinya dalam rangka untuk memperbaiki kembali hubungan yang retak.
  2. Prosesnya
-   Dengan ucapan, yaitu setiap lafadz yang menunjukkan makna rujuk disertai niat.
-  Menggauli istrinya disertai niat rujuk menurut pendapat yang benar. Oleh karena itu seorang suami yang menalak istrinya dengan talak raj’i tidak boleh menggaulinya tanpa niat rujuk.

Pembahasan Kelima: Mempersaksiakan talak dan rujuk
  • Disyariatkan mempersaksiakan talak yang dijatuhkan kepada dua saksi pria yang adil; istiqamah (tidak fasik). Adapun tentang hukumnya para ulama berselisih pendapat, ada pendapat ulama yang mengatakan hukumnya wajib, dan ada pendapat yang mengatakan hukumnya sunnah dan ini pendapatnya jumhur. Yang jelas mempersaksikan talak dapat dilakukan saat menjatuhkan talak atau disusulkan setelah talak jatuh.
  • Disyariatkan juga mengumumkan dan mempersaksiakan rujuk kepada dua saksi pria yang adil; istiqamah (tidak fasik). Adapaun tentang hukumnya para ulama berselisih pendapat, ada yang mengatakan wajib, ada juga yang berpendapat sunnah, dan ini pendapatnya jumhur.

IDDAH

Pembahasan Pertama : Pegertian iddah

Iddah adalah sebuah nama untuk jangka waktu tertentu  seorang istri menunggu setelah dicerai oleh suaminya, atau ditinggal mati oleh suaminya atau untuk memastikan kosongnya rahim.

Pembahasan Kedua: Dalil disyariatkanya iddah
Dalil dari Al-Qur’an
Allah Ta’aala berfirman :
وَالمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’” (Qs. Al-Baqarah :228)
Dalil dari Sunnah
عَنِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ أَنَّ سُبَيْعَةَ الأَسْلَمِيَّةَ نُفِسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ فَجَاءَتِ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَاسْتَأْذَنَتْهُ أَنْ تَنْكِحَ فَأَذِنَ لَهَا فَنَكَحَتْ
Dari Miswar bin Makhramah, bahwasannya Subai’ah Al-Aslamiyyah radhiyallahu ‘anha mengalami nifas setelah di tinggal wafat oleh suaminya beberapa hari, maka dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk minta ijin menikah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengijinkannya. Maka menikahlah dia.” (HR. Bukahari : 5320)

Pembahasan Ketiga: Hikmah di Syariatkan iddah

Banyak hikmah disyariatkannya iddah, diantaranya:
-   Untuk memastikan kosongnya rahim dari janin, sehingga tidak tercampurnya nasab
-   Untuk memberikan waktu bagi suami yang mencerai istrinya untuk rujuk apabila dia menyesal jika pada talak raj’i
-   Menjaga hak seorang wanita/istri yang hamil apabila terjadi talak pada saat hamil.
- Untuk memperlihatkan betapa besarnya dan terhormatnya permasalahan pernikahan dan memberikan pemahaman bahwa akad nikah mengungguli akad-akad yang lainnya.
- Memperlihatkan rasa sedih karena baru ditinggal mati suami. Jadi kalau wanita menahan diri untuk tidak berdandan, hal itu membuktikan kesetiaannya kepada suaminya yang telah meninggal. (silahkan lihat Mulakhos Fiqhiy, Syaikh Al-Fauzan : 419-420,  Fiqih Muyasar : 317)

 

Pembahasan Keempat: Macam-macam iddah

  1. Iddah dengan quru’
  2. Iddah dengan beberapa bulan
  3. Iddah dengan melahirkan

Penjelasannya secara singkat.
Iddah dengan quru’ dalilnya Firman Allah Ta’aala
وَالمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ 4
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’” (Qs. Al-Baqarah :228)
Para ulama berselisih pendapat tentang makna quru.
Pendapat pertama: Quru’ adalah haidh ini pendapatnya para ulama dari kalangan madzhab Hanafi, dan para ulama dari kalangan madzhab Hanbali dalam satu riwayat.
Pendapat kedua: yang dimaksud quru’ adalah suci, bukan haidh. Ini pendapatnya para ulama dari kalangan madhzab Maliki, madzhab syafi’i dan madzhab Hanbali dalam riwayat yang lain.
Wallahu ta’aala a’lam bis shawwab adapun kami cenderung dengan pendapat yang pertama yang memaknai quru’ dengan haidh. Jadi macam iddah yang pertama dengan tiga kali haid.
Iddahnya dengan beberapa bulan
Dalilnya, firman Allah Ta’aala:
 وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ المَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ
“dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.”(Qs. Ath-Thalaq : 4)
Pada ayat ini memberlakukan iddah selama tiga bulan pada dua jenis wanita :
1. Wanita yang sudah memasuki usia menopause (tidak haid lagi)
2. Wanita yang belum pernah haidh karena masih kecil
Iddahnya dengan melahirkan
Masa iddah wanita yang hamil itu berakhir dengan melahirkan, sekalipun itu berlangsung hanya sebentar setelah perceraian. Dan hal ini berlaku bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya atau diceraikan. Tetapi bagi selain wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya masa iddahnya empat bulan sepuluh hari
Itu penjelasan sederhana lagi ringkas yang bisa kami bawakan disini dari kitab para ulama semoga bermanfaat. Wallahu Ta’aala A’lam bis Shawwab.
Selesai ditulis oleh Abu Ibrahim ‘Abdullah al-Jakarty