Senin, 23 September 2013
Masuknya Islam Ke Tapanuli Utara
0 komentar
Masjid Jamik, Dusun Hopong, Kecamatan Simangumban,
Kabupaten Taput, Sumut. Berkukuran 8 x 10 meter ,
Masuk dan Berkembangnya Islam di Tapanuli Utara
I. Pendahuluan
Islam
merupakan agama yang terbesar di Indonesia dan karena itulah mereka
selalu banyak bertindak dan bahkan mau memberikan suatu keputusan di
dalam Negara republik Indonesia. Perkembangan agama ini sangat pesat dan
penyebaran yang dilakukan mereka untuk menyebarkan agama ini dengan
cara perdagangan, perkawinan, dan juga pendekatan dengan
petinggi-petinggi tiap daerah itu.
Penyebaran
islam di Indonesia dengan menggunakan tiga teori yaitu teori Gujarat,
Makkah dan juga Persia. Penyebaran islam ke Indonesia tersebut langsung
diterima oleh masyarakat yang dimasuki oleh para pedagang yang dari Arab
tersebut.
Masuknya
islam ke daerah Tapanuli utara tersebut berawal dari perang Padri yang
mana pada waktu itu Tuanku Rao merupakan orang yang sangat besar dalam
penyebaran terhadap islam dan hal tersebut dilakukan karena rasa
kebenciannya kepada Sisingamangaraja X dan akhirnya Raja
Sisingamangaraja mati ditangan Jatengger Siregar . Ada juga yang
mengatakan bahwa Penyebaran islam di Tapanuli Utara melalui daerah Aceh,
Mandailing, Barus dan juga yang lainnya. Namun pergerakan islam di
Tapanuli Utara tidak dapat berkembang pesat karena masyarakat yang
tinggal di daerah Tapanuli Utara lebih tertarik dengan kekristenan yang
di bawa oleh kolonial.
Untuk
itu penulis sangat senang bisa menuliskan sejarah masuknya islam ke
Tapanuli Utara dan dapat menambah pengetahuan dari Penulis. Namun di
dalam tulisan ini penulis tidak banyak menemukan buku yang mendukung dan
untuk itulah penulis menyajikan tulisan dengan sumber dari internet dan juga dari pendapat dari orang yang tinggal di tapanuli.
II. Isi
a. Perjalanan Masuknya Islam ke Sumatera Utara
Tanah
batak merupakan bagian penginjilan dari wilayah yang sekarang kita
kenal dengan sumatera utara. Pada masa pemerintahan colonial
Hidia-Belanda, yaitu pada tahun1898 (ada juga yang mencatat sejak tahun
1842), pemerintah H-B membentuk keresidenan Tapanuli (termasuk kawasan
yang sebelumnya masuk ke propinsi sumatera west kust atau sumera bagian
barat). Sebagian besar dari tanah batak yaitu Pakpak-Dairi, Samosir,
Toba, Silindung, Pantai Barat (Sibolga dan sekitarnya), angkola,hingga
mandailing masuk kedalam keresidenan ini. Sedangkan sebagian kecil,
yaitu tanah karo dan simalungun masuk ke provinsi sumatera Oos Kust atau
sumatera bagian timur. Yang menjadi perhatian dari butir
ini yaitu melihat pertemuan Kristen dan islam dikawasan tanah batak yang
kemudian masuk keresidenan Tapanuli. Dalam hal ini yang perlu
diperhatikan bahwa sebelum masuknya Injil di tanah Batak, daerah ini
sudah terlebih dahulu dimasuki Islam. Terutama beberapa bagian di utara
(Karo), Timur (Simalungun), selatan (Mandailing dan Angkola) dan barat
(Sibolga hingga Barus). Kehadiran islam ini diperkirakan sudah ada pada
abad ke-16 hingga awal abad ke-19 menurut Lance Castles, namun pengaruh
islam pada waktu itu sangat kecil.
Dalam
hal ini perlu juga diperhatikan bagaimana cara masuknya islam ke Tanah
Batak yaitu dengan interaksi dengan orang-orang sekitar, yaitu orang di
daerah Karo dan Simalungun dan ini terjadi pada abad ke-13. Batak sudah
masuk islam jauh sebelum tahun 1820, namun kepastian ini beluym jelas.
Salah satu motif atau dasar orang batak masuk islam adalah ekonomi,
karena pedagang atau orang yang berjualan pada waktu itu adalah orang
muslim. Dengan adanya [ergaulan atau hubungan tersebutlah membuat mereka
bergaul demi mendapatkan keuntungan.
Periode
sebelum tahun 1800 Bangkitnya rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan
Baab Ullah menentang Portugis disebabkan karena tindakan bangsa Portugis
yang sudah melampaui batas. Terlebih lagi setelah kaki tangan bangsa
Portugis menikam Sultan Hairun, ketika memasuki benteng untuk merayakan
perjanjian perdamaian yang disepakatinya. Dengan tewasnya Sultan Hairun
maka sejak tahun 1570 rakyat Ternate menghalangi aktivitas bangsa
Portugis yang dijalankan dalam benteng. Tahun 1575 Sultan Baab Ullah
menawarkan agar Portugis menyerah dan dijamin keselamatannya untuk
meninggalkan Ternate. Di Ambon bangsa Portugis mendirikan benteng namun
pada tahun 1605 Ambon direbut VOC. Portugis tergusur dan menetap di
pulau Timor bagian timur sampai tahun 1976. Malaka jatuh ke tangan
Portugis pada tahun 1511. Akibatnya, aktivitas perdagangan para pedagang
Islam di Selat Malaka terhenti dan para pedagang Islam mencari jalan
sendiri untuk menjalin hubungan dengan pedagang-pedagang Islam di
sebelah barat Indonesia. Serangan Kerajaan Demak ke Malaka dipimpin oleh
Dipati Unus (putera Raden Patah) merupakan bukti kecemasan terhadap
Portugis. Armada Demak bersama-sama dengan Armada Aceh, Palembang, dan
Bintan berusaha merebut kota Malaka. Namun dua kali serangannya yaitu
tahun 1512 dan 1513 mengalami kegagalan. Ketika Malaka dikuasai
Portugis, di Sumatera bagian utara berdiri Kerajaan Aceh dan mencapai
puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Kerajaan Aceh
mengirim pasukan untuk menyerang Portugis di Malaka, namun serangan itu
mengalami kegagalan.
Masuknya agama Islam ke Sumatera Utara dan Timur, juga awalnya dibawa oleh pedagang-pedagang dari Gujarat dan Cina. Setelah kembalinya beberapa tokoh Islam
dari Mazhab Hambali yang ingin menerapkan alirannya di Sumatera Barat,
timbul pertentangan antara kaum adat dan kaum ulama, yang bereskalasi
kepada konflik bersenjata. Karena tidak kuat melawan kaum ulama
(Paderi), kaum adat meminta bantuan Belanda, yang tentu disambut dengan
gembira. Maka pecahlah perang paderi yg berlangsung dari tahun 1816
sampai 1833. Selama berlangsungnya Perang Paderi, pasukan kaum Paderi
bukan hanya berperang melawan kaum adat dan Belanda, melainkan juga
menyerang Tanah Batak Selatan, Mandailing, tahun 1816 - 1820 dan
kemudian megislamkan tanah batak selatan dengan kekerasan senjata,
bahkan dibeberapa tempat dengan tindakan yg sangat kejam. Sebelum masuknya agama Islam dan Kristen ke
Tanah Batak, selain agama asli Batak yaitu Parmalim, seperti di hampir
di seluruh Nusantara, agama yang berkembang di Sumatera Utara adalah
agama Hindu dan Buddha. Sedangkan di Sumatera Barat pada abad 14
berkembang aliran Tantra Ēaivite (Shaivite) Mahayana dari agama Buddha,
dan hingga tahun 1581 Kerajaan Pagarruyung di Minangkabau masih beragama
Hindu
Agama Islam yang masuk ke Mandailing dinamakan oleh penduduk setempat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang dari Bonjol. Seperti juga di jawa timur dan banten rakyat setempat yg tidak mau masuk islam, menyingkir ke utara dan bahkan akibat agresi kaum paderi dari bonjol, tak sedikit yg melarikan diri sampai malaya. Penyerbuan
Islam ke Mandailing berawal dari dendam keturunan marga Siregar
terhadap dinasti Singamangaraja dan seorang anak hasil incest (hubungan
seksual dalam satu keluarga) dari keluarga Singamangaraja X. Ketika
bermukim di daerah Muara, di Danau Toba, Marga Siregar sering melakukan
tindakan yang tidak disenangi oleh marga-marga lain, sehingga konflik
bersenjatapun tidak dapat dihindari. Raja Oloan Sorba Dibanua, kakek
moyang dari Dinasti Singamangaraja, memimpin penyerbuan terhadap
pemukiman Marga Siregar di Muara. Setelah melihat kekuatan penyerbu yang
jauh lebih besar, untuk menyelamatkan anak buah dan keluarganya,
peminpin marga Siregar, Raja Porhas Siregar menantang Raja Oloan Sorba
Dibanua untuk melakukan perang tanding -satu lawan satu- sesuai tradisi
Batak. Menurut tradisi perang tanding Batak, rakyat yang pemimpinnya
mati dalam pertarungan satu lawan satu tersebut, harus diperlakukan
dengan hormat dan tidak dirampas harta bendanya serta dikawal menuju
tempat yang mereka inginkan. Dalam perang tanding itu, Raja Porhas
Siregar kalah dan tewas di tangan Raja Oloan Sorba Dibanua. Anak buah
Raja Porhas ternyata tidak diperlakukan seperti tradisi perang tanding,
melainkan diburu oleh anak buah Raja Oloan sehingga mereka terpaksa
melarikan diri ke tebing-tebing yang tinggi di belakang Muara,
meningggalkan keluarga dan harta benda. Mereka kemudian bermukim di
dataran tinggi Humbang. Pemimpin Marga Siregar yang baru, Togar Natigor
Siregar mengucapkan sumpah, yang diikuti oleh seluruh Marga Siregar yang
mengikat untuk semua keturunan mereka, yaitu: Kembali ke Muara untuk
membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya. Dendam ini
baru terbalas setelah 26 generasi, tepatnya tahun 1819, ketika Jatengger
Siregar –yang datang bersama pasukan Paderi, di bawah pimpinan
Pongkinangolngolan (Tuanko Rao)- memenggal kepala Singamangaraja X,
keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, dalam penyerbuan ke Bakkara, ibu
kota Dinasti Singamangaraja.
Perdaganganlah
yang menyebabkan agama-agama berkembang terutama di Indonesia yaitu
para kelompok pedagang mengambil rempah-rempah dan membawa ke negaranya.
Pada saat itu juga banyak yangmendirikan kerajaan-kerajaan kecil
misalnya Ternate di Maluku, Perlak Di Sumatera utara. Para pedagang
mulai yang datang dari arab pada abad ke-13 mulai berdatangan ke
Indonesia dan mereka menyebarkan agama mereka dan cara penyebaran yang
mereka gunakan yaitu dengan cara menikah dan menetap di daerah tersebut.
b. Kehidupan Tuanku Rao
Kehidupan
dari Tuanku Rao di muat penulis di dalam tulisannya ini adalah untuk
memberitahukan bahwa di dalam kehidupannya ada hubungan dengan masuknya
islam ke Tapanuli Utara. Dengan demikian pengolahan tradisi lisan paling
monumental tentang asal usul Tuanku Rao dalam historiografi tradisonal
Batak adalah apa yang dilakukan Mangaradja Onggang Parlindungan (MOP).
Monumental karena karya ini banyak dirujuk penulis-penulis Batak untuk
mengukuhkan pembenaran tradisi lisan yang ada. Menurut MOP Si
Pongkinangolngolan lahir dari hubungan incest antara putra dari Singa
Mangaraja VIII yang bernama Gindoporang Sinambela dan Putri dari Singa
Mangaraja IX yang bernama Putri Gana Sinambela. Oleh karena orang Batak
tidak membolehkan kawin semarga maka Singa Mangaraja IX mengusir mereka
agar tidak di hukum oleh khalayak ramai. Mereka berdua keluar dari
Bakkara dan menuju Singkil lalu masuk Islam, dengan nama Muhammad Zainal
Amiruddin Sinambela dan istrinya tetap pada kepercayaannya, sehingga
mereka tidak dapat menikah secara Islam. Putri Gana Sinambela melahirkan
seorang putra dan diberi nama Muhammad Fakih Amirudin Sinambela dan
Putri Gana Sinambela menyebutnya “Pongki Na Ngolngolan” = “Fakih yang
menunggu-nunggu”. Ketika Pongkinangolngolan datang ke Bakkara/Toba, ia
menjadi anak mas dari Singa Mangarja X.
Namun
kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh 3 orang Datu (tokoh
spiritual) yang dipimpin oleh Datu Amantagor Manurung. Mereka
meramalkan, bahwa Pongkinangolngolan suatu hari akan membunuh pamannya,
Singamangaraja X. Oleh karena itu, Pongkinangolngolan harus dibunuh.
Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati
atas keponakan yang disayanginya. Namun dia memutuskan, bahwa
Pongkinangolngolan tidak dipancung kepalanya, melainkan akan
ditenggelamkan di Danau Toba. Dia diikat pada sebatang kayu dan badannya
dibebani dengan batu-batu supaya tenggelam. Di tepi Danau Toba,
Singamangaraja X pura-pura melakukan pemeriksaan terakhir, namun dengan
menggunakan keris pusaka Gajah Dompak ia melonggarkan tali yang mengikat
Pongkinangolngolan, sambil menyelipkan satu kantong kulit berisi mata
uang perak ke balik pakaian Pongkinangolngola. Perbuatan ini tidak
diketahui oleh para Datu, karena selain tertutup tubuhnya, juga tertutup
tubuh Putri Gana Sinambela yang memeluk dan menangisi putra
kesayangannya. Tubuh
Pongkonangolngolan yang terikat kayu dibawa dengan rakit ke tengah
Danau dan kemudian di buang ke air. Setelah berhasil melepaskan
batu-batu dari tubuhnya, dengan berpegangan pada kayu Pongkinangolngolan
berhasil mencapai sungai Asahan, di mana kemudian di dekat Narumonda,
ia ditolong oleh seorang nelayan, Lintong Marpaung. Setelah
bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok, Pongkinangolngolan
memutuskan untuk pergi ke Minangkabau, karena selalu kuatir suatu hari
akan dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Raja
Batak.
Pongkinangolngolan
kemudian merantau ke Minangkabau, atas anjuran Tuanku Nan Rentjeh.
Pongkinagolngolan di chitan sesuai dengan sarat-sarat chitan serta
syahadat, pada tanggal 9 Rabiulawal 1219/H = 1804/M diislamkan dengan
nama: “Umar Katab” dibalik menjadi “Umar Batak”. Pongkinangolngolan
Sinambela alias Umar Katab menjadi General Officer Padry Army, dengan
gelar Tuanku Rao. Oleh Padri Army Command Tuanku Rao diperintahkan tugas
belajar ke Luar Negeri. Sementara itu satu versi lain tentang asal usul
Tuanku Rao diungkapkan oleh Basyral dalam bukunya Greget Tuanku Rao
(2007). Bagi Basyral Tuanku Rao bukan berasal dari Batak Utara tapi dari
kawasan Batak Selatan. Menurutnya Tuanku Rao adalah orang Mandailing
asli. Basyral mendasarkan argumennya dari sumber naskah Tuanku Imam
Bonjol yang menyebut Tuanku Rao adalah Pakih Muhammad, ayahnya orang
Huta Gadang (Hutanagodang di Mandailing Kecil) dan Ibunya orang Rao.
Menarik
untuk melihat keberadaan Pakih Muhammad sebagai Imam Besar Nagari Rao
gelar Tuanku Rao. Ayah Tuanku Rao menurut sumber Basyral adalah orang
Huta Gadang (Hutanagodang?) dan ibunya orang Rao sehingga Basyral
membuat kesimpulan Tuanku Rao adalah orang Mandailing. Sayang sekali,
dalam uraian asal-usul Tuanku Rao ini Basyral belum mengeksplorasi
sumber-sumber Mandailing lainnya. Muhammad Said (1961) berdasar sumber
yang dikutipnya meresepsi historiografi Batak tentang asal usul Tuanku
Rao. Menurut Said Si Pokki Nangolngolan adalah “agresor” yang pernah
datang ke tanah Batak untuk melaksanakan pengislaman. Tuanku Rao adalah
Si Pokki Nangolngolan yang telah membunuh pamannya yaitu Ompu Tuan Na
Bolon atau Singa Mangaraja X. Tetapi Said sangat menyayangkan sekali
peristiwa penetrasi orang-orang Bonjol apalagi mengenai riwayat hidup
Tuanku Rao tidak di dapat dalam sumber Padri atau sumber yang
dipertahankan kenetralannya. Dalam hal ini Said memegang sumber yang
lebih dianggap netral karena sumber yang diperoleh dari tangan pertama,
dimana orang-orangnya masih berada dan turut serta dalam kejadian itu.
Sumber tersebut ditulis oleh J.B. Neumann 1866 seorang Kontelir B.B yang
menulis tentang “Studies ever Bataks en Batakschelanden” (hal 51) dan
menyebut bahwa Tuanku Rao adalah berasal dari Padang Matinggi, tidak
disebut bahwa Tuanku Rao berasal dari Toba. Neumann sendiri mengambil
sumber karangannya dari Residen T.J Willer yang berada di Tapanuli tahun
1835. Tapi dengan menyatakan bahwa Tuanku Rao adalah si Pongki, maka
sebenarnya Said lebih setuju kalau Tuanku Rao memang berasal dari tanah
Batak, bukan sebagaimana disebut sumber-sumber Belanda.
Penyerbuan
ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadhan 1231 H (tahun 1816 M), dengan
penyerbuan terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan oleh Marga
Lubis. 5.000 orang dari pasukan berkuda ditambah 6.000 infanteri
meluluhlantakkan benteng Muarasipongi, dan seluruh penduduknya dibantai
tanpa menyisakan seorangpun. Kekejaman ini sengaja dilakukan dan
disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan
penaklukkan. Setelah itu, satu persatu wilayah Mandailing ditaklukkan
oleh pasukan Paderi, yang dipimpin oleh Tuanku Rao dan Tuanku Lelo, yang
adalah putra-putra Batak sendiri. Selain kedua nama ini, ada sejumlah
orang Batak yang telah masuk Islam, ikut pasukan Paderi menyerang Tanak
Batak, yaitu Tuanku Tambusai (Harahap), Tuanku Sorik Marapin (Nasution),
Tuanku Mandailing (Lubis), Tuanku Asahan (Mansur Marpaung), Tuanku
Kotapinang (Alamsyah Dasopang), Tuanku Daulat (Harahap), Tuanku Patuan
Soripada (Siregar), Tuanku Saman (Hutagalung), Tuanku Ali Sakti
(Jatengger Siregar), Tuanku Junjungan (Tahir Daulay) dan Tuanku Marajo
(Harahap).
Penyerbuan
terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara, dilaksanakan tahun 1819.
Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok dipimpin oleh Jatengger Siregar
ikut dalam pasukan penyerang, guna memenuhi sumpah Togar Natigor Siregar
dan membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, yaitu
Singamangaraja X. Jatengger Siregar menantang Singamangaraja untuk
melakukan perang tanding. Walaupun sudah berusia lanjut, namun
Singamangaraja tak gentar dan menerima tantangan Jatengger Siregar yang
masih muda. Duel dilakukan dengan menggunakan pedang di atasmkuda. Duel
yang tak seimbang berlangsung tak lama. Singamangaraja kalah dan
kepalanya dipenggal oleh pedang Jatengger Siregar.
Tahun 1820 Tuanku Rao bermaksud menarik mundur seluruh
pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga rencana pengIslaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Namun Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya tetap di Tanah Batak, untuk menghadang masuknya tentara Belanda. Ketika keadaan bertambah parah, akhirnya Tuanku Rao melakukan pembangkangan terhadap perintah Tuanku Imam Bonjol, dan memerintahkan sisa pasukannya keluar dari Tanah Batak Utara dan kembali ke Selatan. Enam dari panglima pasukan Paderi asal Batak, yaitu Tuanku Mandailing, Tuanku Asahan, Tuanku Kotapinang, Tuanku Daulat, Tuanku Ali Sakti dan Tuanku Junjungan, tahun 1820 memberontak terhadap penindasan asing dari Bonjol/Minangkabau dan menanggalkan gelar Tuanku yang dipandang sebagai gelar Minangkabau. Bahkan Jatengger Siregar hanya menyandang gelar tersebut selama tiga hari. Mereka sangat marah atas perilaku pasukan Paderi yang merampok dan menguras Tanah Batak yang telah ditaklukkan. Namun hanya karena ingin balas dendam kepada Singamangaraja, Jatengger Siregar menahan diri sampai terlaksananya sumpah Togar Natigor Siregar dan ia behasil membunuh Singamangaraja X. Mansur Marpaung (Tuanku Asahan) dan Alamsyah Dasopang (Tuanku Kota Pinang) dengan tegas menyatakan tidak mau tunduk lagi kepada Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Nan Renceh, dan kemudian mendirikan kesultanan/kerajaan sendiri. Marpaung mendirikan Kesultanan Asahan dan mengangkat dirinya menjadi sultan, sedangkan Dasopang mendirikan Kerajaan Kotapinang, dan ia menjadi raja. Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air bangis pada 5 September 1821, sedangkan Tuanku Lelo (Idris Nasution) tewas dipenggal kepalanya dan kemudian tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti, salah satu tawanan yang dijadikan selirnya.
pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga rencana pengIslaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Namun Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya tetap di Tanah Batak, untuk menghadang masuknya tentara Belanda. Ketika keadaan bertambah parah, akhirnya Tuanku Rao melakukan pembangkangan terhadap perintah Tuanku Imam Bonjol, dan memerintahkan sisa pasukannya keluar dari Tanah Batak Utara dan kembali ke Selatan. Enam dari panglima pasukan Paderi asal Batak, yaitu Tuanku Mandailing, Tuanku Asahan, Tuanku Kotapinang, Tuanku Daulat, Tuanku Ali Sakti dan Tuanku Junjungan, tahun 1820 memberontak terhadap penindasan asing dari Bonjol/Minangkabau dan menanggalkan gelar Tuanku yang dipandang sebagai gelar Minangkabau. Bahkan Jatengger Siregar hanya menyandang gelar tersebut selama tiga hari. Mereka sangat marah atas perilaku pasukan Paderi yang merampok dan menguras Tanah Batak yang telah ditaklukkan. Namun hanya karena ingin balas dendam kepada Singamangaraja, Jatengger Siregar menahan diri sampai terlaksananya sumpah Togar Natigor Siregar dan ia behasil membunuh Singamangaraja X. Mansur Marpaung (Tuanku Asahan) dan Alamsyah Dasopang (Tuanku Kota Pinang) dengan tegas menyatakan tidak mau tunduk lagi kepada Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Nan Renceh, dan kemudian mendirikan kesultanan/kerajaan sendiri. Marpaung mendirikan Kesultanan Asahan dan mengangkat dirinya menjadi sultan, sedangkan Dasopang mendirikan Kerajaan Kotapinang, dan ia menjadi raja. Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air bangis pada 5 September 1821, sedangkan Tuanku Lelo (Idris Nasution) tewas dipenggal kepalanya dan kemudian tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti, salah satu tawanan yang dijadikan selirnya.
c. Alasan Masuknya Islam di tanah Batak
Menurut
penulis, setidaknya ada dua alasan mengapa penyerbuan ke Tanah Batak
tersebut dilakukan dengan kekerasan. Selain menyebarkan Islam Mazhab
Hambali di Tanah Batak, penyerbuan itu juga dipicu oleh dendam keturunan
marga Siregar terhadap Raja Oloan Sorba Dibanua, dinasti
Singamangaraja, yang pernah mengusirnya dari Tanah Batak. Togar Natigor
Siregar, pemimpin marga Siregar, pun sampai mengucapkan sumpah yang
diikuti seluruh marga Siregar, akan kembali ke Batak untuk membunuh Raja
Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya.
Agama
Islam Mazhab Hambali yang masuk ke Mandailing dinamakan penduduk
setempat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya
datang dari Bonjol, meski dipimpin orang-orang Batak sendiri, seperti
Pongkinangolngolan Sinambela (Tuanku Rao), Idris Nasution (Tuanku Nelo),
dan Jatengger Siregar (Tuanku Ali Sakti). Dalam silsilah yang terlampir
di buku ini, disebutkan bahwa Pongkinangolngolan adalah anak hasil
hubungan gelap antara Gana Sinambela (putri Singamangaraja IX) dengan
pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela (adik Singamangaraja IX).
Gindoporang dan Singamangaraja IX adalah putra Singamangaraja VIII,
sedangkan Gana Sinambela adalah kakak Singamangaraja X. Walaupun
terlahir sebagai anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat mengasihi
dan memanjakan keponakannya.
Namun
kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh tiga orang Datu (tokoh
spiritual) yang dipimpin Datu Amantagor Manurung. Sesuai hukum adat,
Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati kepada keponakan yang
disayanginya dengan menenggelamkandi Danau Toba. Tapi, bukannya mati
tenggelam, Pongkinangolngolan terselamatkan arus hingga mencapai Sungai
Asahan dan ditolong seorang nelayan bernama Lintong Marpaung. Setelah
bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok, Pongkinangolngolan
memutuskan pergi ke Minangkabau karena takut dikenali sebagai orang yang
telah dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak. Di Minangkabau, pada 1804,
Pongkinangolngolan diislamkan oleh Tuanku Nan Renceh, lalu dikirim ke
Makkah dan Syria serta sempat mengikuti pendidikan kemiliteran pada
pasukan kavaleri Janitsar Turki. Sekembalinya, pada 1815,
Pongkinangolngolan diangkat menjadi perwira tentara Paderi dan mendapat
gelar Tuanku Rao.
Ternyata
Tuanku Nan Renceh menjalankan politik divide et impera seperti Belanda,
yaitu menggunakan orang Batak untuk menyerang Tanah Batak. Penyerbuan
ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadan 1231 H (1816 M) terhadap benteng
Muarasipongi yang dipertahankan Marga Lubis. Muarasipongi berhasil
diluluhlantakkan dan seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakan
seorang pun. Kekejaman ini sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk
menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan penaklukan guna
penyebaran agama Islam Mazhab Hambali. Setelah itu, penyerbuan terhadap
Singamangaraja X di Benteng Bakkara dilaksanakan 1819. Orang-orang
Siregar Salak dari Sipirok dipimpin Jatengger Siregar ikut dalam pasukan
penyerang untuk memenuhi sumpah Togar Natigor Siregar dan membalas
dendam kepada keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, yaitu Singamangaraja
X. Jatengger Siregar menantang Singamangaraja untuk melakukan perang
tanding satu lawan satu. Singamangaraja kalah dan kepalanya dipenggal
pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah dendam yang tersimpan selama
26 generasi.
Penyerbuan
pasukan Paderi terhenti pada 1820, karena berjangkitnya penyakit kolera
dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara Paderi yang
memasuki Tanah Batak pada 1818, hanya tersisa sekitar 30.000orang.
Sebagian terbesar bukan tewas di medan pertempuran, melainkan mati
karena berbagai penyakit. Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, pada 1820
Tuanku Rao bermaksud menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak
Utara, sehingga rencana pengislaman seluruh Tanah Batak tak dapat
diteruskan. Sementara itu, Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku
Rao bersama pasukannya tetap di Tanah Batak untuk menghadang masuknya
tentara Belanda. Akhirnya, Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air
Bangis pada 5 September 1821, sedangkan Tuanku Lelo tewas dipenggal
kepalanya, sedangkan tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti, salah
satu tawanan yang dijadikan selirnya.
d. Adanya perbedaan Tapanuli Selatan dengan Tapanuli Utara yang menyebabkan Islam sulit berkembang di Tapanuli Utara
Berdasarkan
disertasi Dr Lance Castles yang berjudul ”Tapanuli: Kehidupan Politik
Suatu Keresidenan di Sumatera,” menurut Prof Pelly bisa menjelaskan
mengapa terjadi perbedaan yang tajam antara masyarakat Taput dengan
Tapsel. Dalam penelitiannya itu, sosiolog asal Belanda ini
mengungkapkan, saat menduduki Tapanuli (1915–1942), Belanda menetapkan
Taput sebagai daerah penyangga (penyekat) antara Aceh dan Minangkabau.
Untuk menyekat kedua wilayah Islam ini, Belanda melancarkan strategi
Kristenisasi dan penguasaan politik di Taput. Belanda berkeyakinan,
hanya dengan dikristenkan, masyarakat Taput bisa menjadi ’benteng’
meluasnya pengaruh Islam dari Aceh dan Minang. Selain itu, Jika Aceh dan
Minang bersatu, secara geostrategi, akan menyulitkan posisi Belanda
(hlm 20–21).
Selanjutnya,
Prof Pelly yang juga menjadi Staf Ahli Gubernur Sumatera Utara ini,
menjelaskan proses ”pencerai-beraian” rumpun budaya Tapanuli oleh
Belanda yang ditulis Castles. Pertama, sebagai bekas daerah pendudukan
Kaum Paderi dari Sumatera Barat, Tapsel mengenal Islam dalam situasi
perang. Belanda berusaha keras menyebarkan Kristen di wilayah ini, tapi
gagal. Sampai pendudukan Belanda berakhir, misionaris Kristen hanya
merekrut 4.000 penganut. Sedangkan Islam dianut oleh 16.000 penduduk
Tapsel.
Kepala-Kepala
Kuria (Kepala Adat) yang diangkat Belanda, agar masuk Kristen dan mau
membantu kegiatan misionaris, ternyata tetap keukeuh memegang Islam.
Bahkan, hingga akhir abad ke 19, semua Kepala Kuria di Tapsel, berbalik
melawan misionaris dan melindungi Islam (hlm 21).
Berdasarkan
perhitungan Castles, untuk memisahkan Aceh dan Minang, sebenarnya tak
perlu mengkristenkan Taput. Cukup dengan mendukung agama asli orang
Batak Toba. Tapi, Belanda berkeras, hanya dengan cara dikristenkan,
masyakarakat Taput bisa dimanfaatkan untuk menghalangi masuknya Islam di
kawasan ini. Pada tahun 1873 Sebuah mesjid di Tarutung, Silindung,
dirombak oleh Belanda. Haji-haji dan orang-orang Islam, kebanyakan, dari
marga Hutagalung, diusir dari tanah leluhur dan pusaka mereka di Lembah
Silindung. Belanda melakukan pembersihan etnis, terhadap muslim Batak.
Akibat
Kristenisasi, Belanda harus berhadapan dengan Sisingamangaraja ke-XII.
Setidaknya, terdapat dua kali pertempuran besar antara pasukan
Sisingamangaraja dengan Belanda. Yakni pada tahun 1878 di pantai Selatan
Danau Toba dan tahun 1883 di Tanggbatu (sekarang Balige, ibukota
Kabupaten Toba Samosir).
Setelah
pertempuran, Belanda memperlambat gerak maju menguasai Samosir dan
Dairi. Apalagi, Belanda harus menghadapi pertempuran di Aceh melawan
pasukan Islam. Meski begitu, misionaris Kristen terus disusupkan Belanda
memasuki wilayah-wilayah pedalaman, hingga hampir 100% penduduknya
mengimani Kristen.
Prof
Pelly menjelaskan, serangkaian proses penaklukan di atas menyebabkan
satu rumpun budaya yang sama, kini tercerai-berai. Belanda menggunakan
agama Kristen untuk memisahkan keduanya dari pengaruh Islam di Aceh dan
Minang. ”Tapi, di luar dugaan ahli antropologi, Tapsel justru muncul
menjadi perpanjangan kekuatan Islam Minangkabau di Tapanuli. Sedangkan
Taput, tumbuh menjadi Kristen yang berfungsi menyekat pengaruh Islam
dari Aceh dan Minang,” lanjutnya.
Proses
politisasi Islam dan Kristen di Tapanuli, melahirkan identitas politik
pada masing-masing kelompok. Menurut Erickson (1989: 182), identitas
politik ini adalah suatu bentuk penyadaran yang tajam akan keberadaan
diri sendiri dan kelompoknya. Selain itu, identitas ini merupakan satu
kesatuan unik untuk memelihara masa lampaunya sendiri, baik bagi dirinya
maupun orang lain.
Karenanya,
ujar Pally, jika masyarakat Taput ingin memelihara masa lalunya dengan
mendirikan Provinsi Tapanuli, maka pembentukan provinsi ini bisa dilihat
sebagai usaha untuk memelihara identitas politiknya yang khas. Yaitu,
identitas politik yang terbentuk karena proses Kristenisasi, pemisahan
budaya dan politik dari saudaranya serumpun di selatan. Hal yang sama,
juga berlaku bagi masyarakat Tapsel. Penolakan mereka bergabung dalam
satu provinsi merupakan manifestasi kesadaran politik, budaya dan
keberagamaan masyarakat Tapsel. Mereka merasa memiliki identitas politik
yang khas sebagai manifestasi identitas politik Islam yang berbeda
dengan saudaranya di Taput yang Kristen.
Perkembangan
islam di Tapanuli sangatlah sulit karena di dalam kehidupan Tapanuli
Utara telah mempercayai kekristenanlah yang menjadi agama mereka.
Penyebaran islam di Tapanuli Utara itu kebanyakan dilator belakangi dari
tindakan pemerintah khususnya pemerintah Suharto yang memasukkan
orang-orang dari pulau jawa ke tanah batak dengan alasan transmigrasi.
Namun perkembangan islam tersebut belum begitu pesat dan itu dapat kita
lihat pada sekarang ini. Perkembangan islam di tapanuli Utara itu juga
dilakukan oleh para pedagang muslim yang datang dari pulau jawa atau
luar sumatera dan menikah dengan orang batak (perempuan atau laki
batak).
III. Kesimpulan
Dari
sajian ini penulis dapat menyimpulkan bahwa masuknya kekristenan di
dalam Tapanuli Utara, itu dilatarbelakangi adanya perang padri yang
menyerbu tanah batak yang dipimpin oleh Tuanku Rao karena Tuanku Rao
adalah orang batak yang sudah lama tinggal di Minang Kabau. Atau dengan
kata lain hal ini terjadi demi pemanfaatan yang dilakukan oleh Tuanku
Imam Bonjol dan Tuanku Nanrenceh yang menyuruh mereka untuk menyerang
tanah Batak. Penghambatan di islamisasi di Tapanuli utara juga
dipengaruhi oleh adanya colonial Belanda yang menyebarkanb agama Kristen
di tapanuli Utara untuk menghambat penyebaran Islam. Dalam hal ini bisa
kita rasakan begitu banyaknya gereja-gereja yang ada di Tapanuli Utara,
namun yang menjadi perhatian kita saat ini adalah apabila kita tidak
bersatu atau berpecah belah maka islam yang ada di Tapanuli Utara
tersebut akan berusaha untuk mengambil kesempatan karena pemerintah
menyebarkan Islam di Tapanuli Utara dengan pembangunan masjid-masjid
ditiap-tiap daerah.