Haji Abd Halim Pardede

Haji Abd Halim Pardede
Senin, 23 September 2013

HUKUM PERNIKAHAN BEDA AGAMA  

0 komentar

Memilih pasangan hidup makin tak mungkin dibatasi sekatgeografis, etnis, warna kulit, bahkan agama. Jika dahulu orang-orang diIndonesia menikah dengan orang yang paling jauh beda kabupaten, sekarang sudahkerap dengan orang beda provinsi bahkan negara. Dahulu, biasanya orang menikahdengan yang satu etnis, kini menikah dengan yang beda etnis sudah jamakterjadi. Orang Jawa tak masalah menikah dengan orang Minang. Orang Sunda pun takpantang menikah dengan orang Bugis. Tak sedikit orang berkulit sawo matangmenikah dengan yang berkulit putih, juga hitam. Orang Arab menikah dengan yangnon-Arab. Bule Amerika menikah dengan perempuan Batak.

Pernikahan beda agama pun tak terhindarkan. Globalisasimeniscayakan perjumpaan tak hanya terjadi antar orang-orang yang satu agama,melainkan juga yang beda agama. Tunas cinta bisa bersemi di kantor-kantormodern yang dihuni para karyawan beragam agama. Ruang-ruang publik sepertimall, kafe, dan lain-lain membuat perjumpaan kian tak tersekat agama. Sekatprimordial agama terus lumer dan luluh diterjang media sosial seperti facebookdan twitter. Orang tua tak mungkin membatasi agar anaknya hanya bergaul denganyang segama.

Mengahadapi kenyataan itu, para agamawan memiliki pandanganberbeda. Ada yang bersikukuh bahwa pernikahan beda agama tak diretusi Tuhan.Sebab, agama dirinya adalah terang, sementara agama orang lain adalah gelap.Terang dan gelap tak mungkin dipersatukan dalam satu ikatan perkawinan. Para agamawan yang galau ini coba menepiskan fakta, dan terus merujuk Sabdabahwa nikah beda agama adalah haram. Menurut mereka, bukan hukum Tuhan yangharus disesuaikan dengan kenyataan, tapi kenyataan lah yang harus ditundukkanpada kehendak harafiah teks Qur’an. Analogi yang sering disampaikan, bukankepala yang harus dicocokkan dengan ukuran kopyah, tapi peci lah yang mestimengikuti besar-kecilnya kepala.

Ada juga agamawan yang pasrah pada kenyataan. Menurut mereka,nikah beda agama tak mungkin untuk dilawan. Agama tak boleh mengharamkan begitusaja. Sebab manusia bebas dalam memilih agama, maka ia juga bebas menentukanpilihan pasangan dalam keluarga. ”Dalam dunia yang terus mengarah padakesederajatan agama-agama, kita tak mungkin memandang agama orang lain sebagaigelap”, tandas mereka. Dengan demikian, menurut mereka, agama harus terusditafsirkan untuk diadaptasikan dengan kondisi zaman yang selalu berubah.
Agumen Teologis Islam

Tentang nikah beda agama, para ulama Islam terbelah ke dalamtiga kelompok. Pertama, ulama yang mengharamkan secara mutlak. Dasarnya adalahal-Qur’an (al-Baqarah [2]: 221) yang mengharamkan orang Islam menikah denganlaki-laki dan perempuan musyrik. Juga, QS al-Mumtahanah [60]: 10 yang melarangorang Islam menikah dengan orang kafir. Sementara QS, al-Ma’idah ayat 5 yangmembolehkan laki-laki Muslim menikah dengan perempuan Ahli Kitab, menurutkelompok ini, sudah dibatalkan dua ayat sebelumnya itu. Secara statistik,menurut mereka, tak mungkin dua ayat yang mengharamkan bisa dikalahkan olehsatu ayat yang menghalalkan nikah beda agama. Bagi mereka, kata ”musyrik”,”kafir” dan ”Ahli Kitab” adalah sinonim (satu makna), sehingga yang satu bisamembatalkan yang lain.

Ulama pertama ini pun mengacu pada tindakan Umar ibn Khattab.Ibn Katsir menceritakan bahwa ketika QS, al-Mumtahanah: 10 turun, Umar ibnKhattab langsung menceraikan dua isterinya yang masih kafir, yaitu Binti AbiUmayyah ibn Mughirah dari Bani Makhzum dan Ummu Kultsum binti Amr bin Jarwaldari Khuza’ah.  Umar pernah hendak mencambuk orang yang menikah denganAhli Kitab. Umar marah karena ia khawatir tindakan beberapa orang yang menikahiperempuan-perempuan Ahli Kitab itu akan diikuti umat Islam lain, sehingga perempuan-perempuanIslam tak menjadi pilihan laki-laki Islam. Namun, kemarahan Umar  takmengubah pendirian sebagian Sahabat Nabi yang tetap menikahi perempuan AhliKitab. Dikisahkan, Umar pernah berkirim surat pada Khudzaifah agar yangbersangkutan menceraikan istrinya yang Ahli Kitab itu. Khudzaifah bertanyakepada Umar, ”apakah anda menyangka bahwa pernikahan dengan perempuan AhliKitab haram?”. Umar menjawab, ”tidak. Saya hanya khawatir”. Menurut saya,jawaban Umar ini menunjukkan bahwa ketidak-setujuan Umar itu tak didasarkansecara sungguh-sungguh pada teks al-Qur’an, melainkan pada kehati-hatian dankewaspadaan.

Kedua, ulama yangberpendapat bahwa keharaman menikahi orang Musyrik dan Kafir sudah dibatalkanQS, al-Maidah [5]: 5 yang membolehkan laki-laki Muslim menikahi perempuan AhliKitab. Para ulama berpendapat bahwa tiga ayat tersebut memang sama-sama turundi Madinah. Akan tetapi, ayat pertama (al-Mumtahanah ayat 10 dan al-Baqarahayat 221) lebih awal turun, sehingga dimungkinkan untuk dianulir ayat ketiga(al-Ma'idah ayat 5). Ibn Katsir mengutip pernyataan Ibnu Abbas melalui Ali binAbi Thalhah berkata bahwa perempuan-perempuan Ahli Kitab dikecualikan darial-Baqarah ayat 221. Dengan perkataan lain, keharaman menikahi orang musyrikdan orang kafir seperti tertera dalam al-Baaqarah: 221 dan al-Mumtahanah: 10telah ditakhshish (dispesifikasi) oleh al-Maidah:5.

Pendapat ini juga didukung oleh Mujahid, Ikrimah, Said binJubair, Makhul, al-Hasan, al-Dhahhak, Zaid bin Aslam, dan Rabi’ bin Anas.Thabathabai berpendirian bahwa pengharaman itu hanya terbatas pada orang-orangWatsani (para penyembah berhala), dan tidak termasuk di dalamnya orang-orangAhli Kitab. Beberapa buku tarikh mendaftar para sahabat Nabi yang melakukannikah beda agama, di antaranya adalah Utsman bin ‘Affan, Thalhah bin Abdullah,Khudzaifah ibn Yaman, Sa’ad ibn Abi Waqash, dan sebagainya. Menurut IbnuQudamah, Hudzaifah menikah dengan perempuan Majusi. Sementara menurut MuhammadRasyid Ridla, Khudzaifah menikah bukan dengan perempuan Majusi, melainkandengan perempuan Yahudi

Ketiga, ulama yangmembolehkan secara mutlak. Ulama terakhir ini melanjutkan argumen ulama keduayang tak tuntas. Jika ulama kedua hanya membolehkan laki-laki Muslim menikahdengan perempuan Ahli Kitab, maka ulama terakhir ini membolehkan hukum sebaliknya; perempuan muslim menikah dengan laki-laki Ahli Kitab. Bagi mereka,tak ada beda antara pernikahan laki-laki muslim-perempuan Ahli Kitab danpernikahan perempuan muslimah-laki-laki Ahli Kitab.  Menurut kelompok terakhirini, tak ada teks dalam al-Qur’an yang secara eksplisit melarang pernikahanperempuan muslimah dengan laki-laki Ahli Kitab. Bagi mereka, tidak adanyalarangan itu adalah dalil bagi bolehnya pernikahan perempuaan muslimah denganlaki-laki Ahli Kitab.

Kekhawatiran sebagian pihak bahwa pernikahan perempuan muslimahdengan laki-laki Ahli Kitab hanya akan melahirkan generasi non-muslim takterbukti dalam kenyataan. Berbagai penelitian tentang pasangan nikah beda agamajustru menunjukkan bahwa jika seorang ibu beragama Islam, 70 % lebih agama anakmengikuti agama si ibu. Temuan penelitian ini tak mengejutkan bagi saya. Sebab,peranan ibu dalam keluarga memang amat sentral, termasuk dalam soal agama.Tentang agama apa yang dianut oleh seorang anak biasanya tak jauh dari agama siibu, bukan agama si ayah. Dengan demikian, tak keliru sebuah pepatah Arabberkata, ”ibu adalah sekolah pertama” (al-umm hiya al-madrasah al-ula).

Apa yang dikemukakan ulama ketiga itu biasanya diacukan padaalasan kesejarahan. Alkisah, Zainab binti Muhammad SAW menikah dengan Abual-Ash. Pernikahan tak dilakukan berdasarkan syariat Islam karena iadilangsungkan sebelum Islam. Namun, yang menarik, setelah Nabi Muhammaddiangkat menjadi nabi, Abu al-Ash pun tak segera masuk Islam. Ia tetap memilihmenjadi orang musyrik, seperti umumnya penduduk Mekah saat itu. Bahkan, ketikaNabi Muhammad dan umat Islam lain hijrah ke Madinah, Abu al-Ash bersama sangistri (Zainab puteri Nabi) masih bertahan di Mekah. Alih-alih ikut hijrah, Abual-Ash justru bersekongkol dengan orang-orang kafir Musyrik Mekah memeperangiumat Islam.
Dikisahkan bahwa Abu al-Ash pernah ditangkap di Madinah atasketerlibatannya dalam perang Badar dan Uhud. Ia kemudian diminta uang tebusandan Nabi meminta agar Zainab dihijrahkan ke Madinah.

Berbagai buku sejarah menceritakan bahwa dengan hijrahnya itu,Zainab hidup terpisah dengan Abu al-Ash selama bertahun-tahun. Mereka kembali hidup serumah, setelah Abu al-Ash masuk Islam. Ibn Katsir menuturkan bahwa kembalinya Abu al-Ash ke pangkuan Zainab binti Muhammad SAW tak disertai dengan akad nikah baru. Menurut ulama ketiga itu, ini mengisyaratkan bahwa pernikahanZainab dan Abu al-Ash yang dilangsungkan sebelum Islam adalah sah sehingga takperlu ada pernikahan baru. Pernikahan Zainab dengan Abu al-Ash ini melahirkandua orang anak, yaitu Umamah dan Ali. Jika Ali meninggal dalam usia belia, maka Umamah kelak menikah dengan Ali ibn Abi Thalib setelah istrinya (Fathimah bintiMuhammad SAW) meninggal dunia. Ketika Ali ibn Abi Thalib meninggal, Umamah menikah dengan al-Mughirah bin Naufal bin al-Harits ibn Abd al-Muththalib.

Nabi juga pernah mengawinkan anak perempuannya, Ruqayyah dengan Utbah ibn Abi Lahab. Setelah Islam datang, Nabi tak meminta sang puteri untuk berpisah dengan Utbah. Perceraian terjadi bukan atas kehendak Ruqayyah atau Nabi Muhammad, melainkan atas perintah ayahanda Utbah, yaitu Abu Lahab. AbuLahab, musuh bebuyutan Islam, yang keberatan jika anak laki-lakinya menikahdengan Ruqayyah yang beragama Islam. Dengan perkataan lain, seandainya AbuLahab tak menyuruh Utbah menceraikan Ruqayyah, niscaya pernikahan itu akantetap berlangsung sekalipun si suami Musyrik dan si perempuan beragama Islamseperti yang dialami Zainab binti al-Rasul Muhammad SAW.

Bagaimana di Indonesia?

Fakta historis tersebut tampaknya tak mengubah pendiriansejumlah ulama Indonesia untuk melarang pernikahan antara orang Islam dan bukanIslam. Pernikahan beda agama dalam pandangan mereka adalah haram. Per tanggal 1Juni 1980, MUI Pusat mengeluarkan fatwa tentang haramnya pernikahan tersebut.Banyak ulama yang khawatir, seorang istri yang Islam akan tunduk dan ikut agamasi suami yang bukan Islam. Sebagian ulama di Indonesia mewaspadai kemungkinantendensi politis dari kalangan non-Islam untuk menaklukkan umat Islam melaluipernikahan beda agama. Bagi saya, kekhawatiran ini terlampau jauh, karenabanyak pernikahan beda agama yang berlangsung lama dan bertahan dengan agamanyamasing-masing.

Para ulama yang pro-pengharaman nikah beda agama itu mendapatkansokongan dari negara. Melalui Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi HukumIslam (KHI) yang berisi hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan, pemerintahmelarang umat Islam menikah dengan orang yang bukan Islam. Dalam pasal 44 KHI dinyatakan “seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan denganseorang pria yang tidak beragama Islam”. Dalam pasal 40 disebutkan, “dilarangmelangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karenakeadaan tertentu; ….(c) seorang wanita yang tidak beragama Islam”. Dengan duaayat ini tampak jelas bahwa orang Islam, baik laki maupun perempuan, dilarangmelangsungkan pernikahan dengan orang yang tak beragama Islam.

KHI memang bukan Undang-Undang (UU), melainkan sebuah Inpres.Tapi, faktanya, KHI lah yang menjadi rujukan para pegawai KUA dalam menikahkanpara laki-laki dan perempuan Islam di Indonesia. KHI juga dipakai para hakimagama dalam mengatasi persoalan-persoalan perceraian di Indonesia. Dengankenyataan ini, para pelaku nikah beda agama tak mendapatkan payung hukum yangmenjamin dan melindungi pernikahan mereka. Ini karena negara melalui KHI telahikut terlibat dalam penentuan calon pasangan bagi warga negara yang maumenikah. Para aktivis HAM berkata bahwa negara tak boleh mengintervensi dan merampashak privat setiap warga negara, termasuk dalam soal menentukan suami atauistri. Negara hanya memfasilitasi dan mencatatkan suatu pernikahan bukanmenentukan pasangan dalam pernikahan. [..]

What next?

You can also bookmark this post using your favorite bookmarking service:

Related Posts by Categories